Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Cerpen (BONTZYE BISU - I.L. Peretz) Terjemahan Dwi Pranoto

Cerpen (BONTZYE BISU - I.L. Peretz) Terjemahan Dwi Pranoto

BONTZYE BISU
Cerpen: I.L. Peretz
Penerjemah: Dwi Pranoto


#kawaca,com - Turun di sini, di dunia ini, kematian Bontzye Bisu tak memberi kesan sama sekali. Tanyalah pada setiap orang semaumu, tanyalah siapa Bontzye itu, bagaimana hidupnya, dan apa yang membuatnya mati; apakah gagal jantung, atau apakah kecapaian, atau apakah punggungnya remuk menanggung beban panggul yang berat, dan mereka tidak akan tahu. Barangkali, bagaimanapuun, ia mati kelaparan.

Jika seekor kuda delman jatuh mati, akan menjadi kegemparan. Kejadian itu akan diberitakan di koran-koran, dan ratusan orang akan berkerumum melihat binatang mati itu – pun lokasi dimana peristiwa itu terjadi.

Tapi kuda delman akan kurang mendapat perhatian jika kuda sebanyak manusia – ribuan juta.

Bontzye hidup dengan diam dan mati dengan diam. Ia melintasi dunia kita bak bayangan.

Tak ada anggur diminum di hari sunatan Bontzye, tidak ada sulang untuk kesehatan, dan ia tak bikin pidato indah saat dikukuhkan. Ia hidup seperti sebutir kecil pasir coklat keabuan di pesisir laut, di tengah-tengah jutaan sejenisnya; dan manakala angin menerbangkan dan menghembus hempaskan ke sisi lain laut, tak seorangpun  memperhatikannya.

Semasa ia hidup, lumpur di jalanan  menempel begitu saja di kakinya; setelah kematiannya angin  menjungkirkan papan kecil di atas kuburnya. Istri penggali kubur menemukannya jauh dari tempat itu, dan merebus sepanci penuh kentang dengan papan itu. Tiga hari setelahnya, penggali kubur telah lupa di mana ia telah menguburkannya.

Jika Bontzye diberi batu nisan, maka, pada ratusan tahun atau lebih, seorang penggemar barang antik mungkin menemukannya, dan nama “Bontzye Bisu” akan menggema sekali lagi di udara kita. 
Sebuah bayangan! Gambaranya tetap saja tak terpotret dalam otak seorangpun, dalam hati seorangpun; tak sejejak dirinya tinggal.

 “Tak ada kawan, tak ada kerabat!” Ia hidup dan mati sendiri!

Kalau bukan karena kegaduhan manusia, seseorang mungkin mendengar tulang belakang Bontzye yang berderak di bawah beban panggulannya; kalau dunia tidak sibuk, seseorang mungkin berkomentar bahwa Bontzye (juga seorang manusia) lalu-lalang dengan sepasang mata padam dan sepasang pipi berelung menakutkan; bahkan saat ia tak ada panggulan di pundak-pundaknya, kepalanya seolah terkulai ke tanah, ketika masih hidup, ia mencari-cari kuburnya. Apakah ada lelaki seperti kuda-kuda delman, seseorang mungkin bertanya: Apa yang terjadi pada Bontzye?     

Ketika mereka membawa Bontzye ke rumah sakit, ruang bawah tanah tempat ia diletakan segera penuh – ada sepuluh yang tak beda dengannya menunggu, dan mereka menaruhnya untuk  melelang diantara mereka. Ketika mereka membawanya dari kasur rumah sakit ke kamar mayat, ada dua puluh orang sakit yang melarat mengantri kasurnya. Ketika ia dikeluarkan dari kamar mayat, mereka memasukan dua puluh jenazah dari sebuah bangunan yang rubuh. Siapa yang tahu berapa lama ia berbaring di kuburnya? Siapa yang tahu berapa banyak yang mengantri untuk liang kecil tanah?

Suatu kelahiran yang diam, kehidupan yang diam, kematian yang diam, dan penguburan yang diam.
Tapi tidak begitu halnya di akhirat. Kematian Bontzye ada bikin kesan yang sangat.

Lengkingan Sangkakala Pembebasan akbar terdengar di sepenjuru tujuh suwarga: Bontzye Bisu telah meninggalkan dunia! Para malaikat paling besar dengan sayap-sayap terlebar terbang berputar-putar dan saling mencakapkan: Bontzye Bisu mengambil tempat duduknya di Akademi Surga! Di Taman Suwarga ada kegaduhan dan hiruk-pikuk kegembiraan: Bontzye Bisu! Kemewahan! Bontzye Bisu!

Para malaikat anak-anak dengan sepasang mata berbinar, sayap-sayap bersulamkan benang emas, dan sandal-sandal perak, berlari girang menemuinya. Kesiur sayap, tap-tap sandal-sandal kecil, dan gelak girang yang segar, mulut-mulut bak mawar, memenuhi semua surga dan menjangkau Singgasana Kemuliaan, dan Tuhan Sendiri tahu bahwa Bontzye Bisu tiba.

Abraham, bapak kita, berdiri di gerbang, tangan kanannya merentang dengan sambutan hangat, dan  sesimpul senyum manis menyalakan wajah tuanya.

Apa yang mereka dorong melintas surga?

Dua malaikat sedang mendorong sebuah kursi-berlengan emas untuk Bontzye Bisu.

Apa yang berkilat sangat terang?

Mereka sedang membawa sebuah mahkota kencana masa silam yang bertahtakan batu-batu manikam – semua untuk Bontzye Bisu.

 “Sebelum keputusan Pengadilan Surga ditetapkan?” tanya para santo,  diiringi rasa cemburu.

 “O” sahut para malaikat, “itu akan menjadi sekedar formalitas. Bahkan jaksa tidak akan mengatakan sepatah kata menentang Bontzye Bisu. Kasusnya tidak akan lebih dari lima menit”.

Perhatikanlah: Bontzye Bisu!
———
Manakala para malaikat kecil menemui Bontzye di tengah angkasa dan memainkannya sebuah nada; manakala Abraham, bapak kita, menjabatnya dengan tangan seperti kawan lama; manakala ia mendengar bahwa sebuah kursi terpacak menunggunya di Taman Surga, bahwa sebuah mahkota tersedia siap untuk kepalanya; dan bahwa tak sepatah kata akan terlontar untuk kasusnya dipenjelang Pengadilan Surga – Bontzye, sama seperti di dunia, terlalu takut untuk bicara. Jantungnya tenggelam dalam kengerian. Ia yakin ini semua mimpi, atau pun kekeliruan belaka.

Ia terbiasa dengan keduanya. Kerap ia mimpi, di dunia, ia memungut uang dari lantai – semua tumpukan uang – dan lalu ia bangun mendapati dirinya semelarat sebelumnya; dan lebih dari sekali seseorang tersenyum padanya dan menyapanya akrab dan kemudian berbalik dan meludah.

 “Ini keberuntunganku”, ia membenak. Dan sekarang tertantang ia tak membuka mata, jangan sampai mimpinya lenyap, jangan sampai ia bakal bangun dalam selubang gua penuh ular dan kadal. Ia takut untuk bicara, takut untuk bergerak, jangan sampai ia bakal ditemu dan dicemplungkan ke dalam neraka.
Ia gemetaran dan tidak mendengar madah para malaikat, tak melihat bagaimana mereka menari-mari memutarinya, tak menjawab salam Abraham, bapak kita, dan – ketika ia diarahkan ke hadapan Pengadilan Surgawi, ia bahkan tidak memberi salam “selamat pagi!”

Ia berdampingan sendirinya bersama kengerian, dan ketakutanya meningkat manakala ia mendapati lantai Gedung Pengadilan Surgawi; ini semua pualam bertahtakan berlian. “Dan kakiku berdiri di atasnya!” Ia lumpuh. “Entah sekaya apa orang ini, rabi macam apa, santo macam apa yang mereka pertemukan padaku– ia akan tiba – dan itu akan menjadi akhir buatku!”

Kengeriannya seperti itu, ia bahkan tidak mendengar pemimpin sidang menyeru: “ Kasus Bontzye Bisu!” lalu, saat ia menerima berkas untuk pengacara, “Baca, tapi segeralah!”

Seluruh aula berputar-putar dalam sepasang mata Bontzye, ada kebergegasan dalam telinganya. Dan melalui kebergegasan itu ia mendengar makin dan makin jelas suara pengacara, berbicara dengan lembut seperti biola.

 “Namanya”, ia mendengar, “pas untuknya seperti pakaian yang dibikin untuk sesosok lampai oleh seorang penjahit-seniman”.

 “Apa yang ia katakan?” bertanya-tanya Bontzye, dan ia mendengar suara tak sabaran memecah:
 “Harap jangan berumpama!”

 “Ia tidak pernah”, lanjut sang pengacara, “terdengar mengeluhkan baik Tuhan pun manusia; tidak pernah mengilaskan kebencian di matanya; ia tidak pernah menyombongkannya demi surga”.

Tetap saja Bontzye tak paham, dan sekali lagi suara keras menyela: “Harap jangan beretorika!”

" “Pekerjaan yang dilakukannya – yang ini lebih malang – “

 “Fakta, fakta nyata!”

 “Saat ia umur seminggu, ia disunat . . .”

 “Kami mau jangan realisme!”

 “Calak yang menyunatnya tak  mahir – “

 “Terus, terus!”

 “Dan ia tetap diam”, lanjut sang pengacara, “bahkan saat ibunya meninggal, dan ia mendapat ibu tiri pada usia tiga belas tahun – seekor ular, seekor rubah betina”.

 “Apakah semua yang mereka bicarakan itu aku?” pikir Bontzye.

 “Jangan menyindir pihak ketiga!” kata pemimpin sidang dengan marah.

 “Perempuan itu mendengkinya tiap-tiap suap – basi, roti bulukan, otot alih-alih daging – dan perempuan itu minum kopi dengan krim”.

 “Terus pada topik”, perintah pemimpin sidang.

 “Perempuan itu mendengkinya untuk apapun kecuali kuku-kuku jarinya, dan tubuhnya yang hitam dan biru yang tampak melalui lubang-lubang  pakaiannya yang koyak dan apak. Waktu musim dingin, saat kebekuan paling parah, ia harus membelah kayu untuknya, telanjang kaki, di halaman, dan tangan-tangannya terlalu muda dan terlalu lemah, gelondongan-gelondongan terlalu tebal, kapaknya terlalu majal. Lebih dari sekali ia nyaris bikin terkilir pergelangan tangannya; lebih dari sekali kaki-kakinya nyaris kena radang dingin, tapi ia tetap diam, bahkan pada ayahnya”.

 “Karena pemabuk?” gelak  pendakwa, dan Bontzye merasa kedinginan di setiap anggota tubuhnya.

 “Ia tidak pernah mengeluhkan pada ayahnya”, pungkas sang pengacara.

 “Dan selalu sendiri”, ia melanjutkan, “Tidak punya kawan bermain, tidak sekolah, tak diajari apapun – tak pernah bermuslihat – tak pernah punya waktu luang”.

 “Fakta, mohon!” pemimpin sidang memperingatkan.

 “Ia tetap diam bahkan sekemudian, ketika ayahnya yang dalam keadaan mabuk berat merenggut rambutnya, dan mencampakannya di jalanan pada malam musim dingin bersalju. Dengan diam ia mengangkat dirinya sendiri dari salju dan lari ke mana kaki-kaki membawanya.

 “Ia terus diam sepanjang waktu – betapapun lapar ia mungkin, ia hanya memohon dengan sepasang matanya.

 “Ini suatu kebiadaban, malam basah pada musim semi, ketika ia sampai kota besar; ia jatuh seperti tenggelam ke dalam lautan, dan ternyata ia melalui malam yang sama itu sebagai tahanan. Ia tetap diam dan tidak pernah bertanya mengapa, untuk apa. Ia dikeluarkan, dan mencari-cari pekerjaan paling berat. Dan ia tetap diam. Lebih berat dari pekerjaan itu sendiri adalah mendapatkannya – dan ia tetap diam.

 “Bermandikan keringat dingin, remuk redam di bawah panggulan-panggulan berat, perut kosongnya melilit lapar – ia tetap diam.

 “Berlumur lumpur, ludah, didorong oleh panggulannya di atas trotoar dan ke jalanan di antara delman-delman, pedati-pedati, dan trem-trem, menatap kematian di dalam sepasang matanya setiap waktu – ia tetap diam.

Ia tidak pernah menghitung berapa pon yang dipanggulnya untuk sekeping koin senilai sekitar dua sen, berapa kali ia harus menjalani tugas untuk tiga orang, berapa kali ia terengah-engah sekarat nyaris setelah menerima upahnya; ia tidak pernah memperhitungkan perbedaan antara nasib orang lain dan dirinya – ia tetap diam.

 “Dan ia tidak pernah ngotot menagih bayarannya; ia berdiri di ambang pintu seperti seorang pengemis, dengan sepasang mata memohon seibarat anjing – Datang lagi nanti! dan ia enyah seperti bayangan untuk datang lagi nanti, dan memohon upahnya dengan lebih rendah hati dari sebelumnya.

 “Ia tetap diam bahkan ketika mereka menipu bagiannya, atau melempar kepadanya sekeping koin palsu. 
Ia menerima segala hal dengan diam”

 “Bagaimanapun yang mereka maksud aku”, pikir Bontzye.

———

 “Suatu kali”, lanjut sang pengacara, setelah menyeruput air, “suatu perubahan datang dalam hidupnya: tiba-tiba terbang kereta beroda karet yang dihela oleh dua ekor kuda larat. Saisnya telah terkapar agak jauh di atas trotoar dengan tengkorak rekah. Kuda-kuda yang ketakutan bermembusa mulutnya, api memercik dari kuku-kuku kakinya, matanya bersinar bak obor pada malam musim dingin – dan di dalam kereta, berpeluang mati daripada hidup, duduk seorang lelaki.

 “Dan Bontzye menghentikan kuda-kuda itu. Dan lelaki yang ia selamatkan adalah seorang Yahudi murah hati, yang bukan tak tahu terimakasih.

 “Ia letakan cambuk orang mati itu ke tangan Bontzye, dan Bontzye menjadi kusir. Lebih dari itu – ia memberinya seorang istri, dan terlebih lagi – beserta seorang anak. 

 “Dan Bontzye tetap diam!”

 “Aku, yang mereka maksud aku!” Bontzye meyakinkan dirinya lagi, tapi belum berani mengilaskan pandang ke Sidang Surgawi.

Ia menyimak sang pengacara lebih lanjut:

 “Ia tetap diam pun ketika pelindungnya jatuh bangkrut dan tidak membayar upahnya.

 “Ia tetap diam ketika istrinya lari darinya, meninggalkan padanya seorang anak yang masih menyusu.

 “Ia tetap diam pun lima belas tahun kemudian, manakala anak itu dewasa dan cukup kuat untuk mencampakannya keluar rumah”.

 “Aku, yang mereka maksud aku!”, Sekarang ia yakin.

———

 “Ia tetap diam bahkan”, sekali lagi malaikat pengacara memulai dengan suara yang lembut dan pilu, “ketika dermawan pelindungnya membayar semua pemiutangnya yang jatuh tempo kecuali dirinya – dan bahkan ketika (sekali lagi naik dalam sebuah kereta beroda karet dan kuda-kuda jalang) ia memukul jatuh Bontzye dan mencampakannya”.  

 “Ia tetap diam. Ia bahkan tidak mengatakan pada polisi siapa yang telah melakukan”.

———
 “Ia tetap diam bahkan di rumah sakit, di mana orang akan menjerit.

 “Ia tetap diam ketika dokter tidak akan mendatangi pinggir ranjangnya tanpa membayar lima belas kopek, dan ketika petugas meminta lima kopek lagi – untuk mengganti spreinya.

 “Ia tetap diam dalam sakaratul maut – diam dalam kematian.

 “Tak sepatah kata menentang Tuhan; tak sepatah kata menentang manusia!

 “Tuntas sudah yang harus kukatakan!”

———
Sekali lagi Bontzye gemetaran, ia tahu bahwa setelah sang pengacara tibalah giliran jaksa. Siapa yang tahu apa yang ia akan katakan?

Bontzye sendiri sama sekali tak ingat kehidupannya.

Bahkan di dunia ia lupa setiap momen apa yang telah terjadi sebelumnya. Pengacara telah mengingatkan segala hal pada benaknya. Siapa yang tahu apakah jaksa tidak akan mengingatnya?

 “Tuan-tuan”, jaksa memulai, dengan suara getir masam bak cuka – tapi ia tercekat.

 “Tuan-tuan”, ia memulai lagi, tapi suaranya lebih lembut, dan untuk kedua kalinya ia tercekat.

Lalu, keluar dari kerongkong yang sama, terdengar suara yang lemah-lembut nyaris:

 “Tuan-tuan! Ia diam! Aku akan diam juga!”

Tenang keheningan menyusup – dan terdengar suara lain mengaju, lembut dan bergetar:

 “Bontzye, anakku”, sapaan yang seperti harpa, “Bontzye anakku sayang!”

Dan hati Bontzye meleleh karena sapaan itu. Kini ia akan mengangkat sepasang matanya, tapi seduanya dibutakan oleh airmata; ia tidak pernah merasakan gejolak hati yang manis seperti ini sebelumnya.

 “Anakku!” 

“Bontzyeku!” – tak seorang pun, sejak ibunya meninggal, menyapanya dengan kata-kata semacam itu dengan suara semacam itu.

 “Anakku”, lanjut hakim ketua, “Kamu telah menderita dan tetap diam; di sini seluruh anggota tubuhmu tidak ada, tidak ada tulang-belulang dalam tubuhmu, tanpa codet, tanpa luka, tak seutas serat jiwamu yang belum berdarah – dan kau tetap diam.  

 “Di sana mereka tidak mengerti. Mungkin diri sendirimu tak tahu kalau kau mungkin menjerit, dengan jeritmu dinding-dinding Jericho akan berguncang dan runtuh. Kau sendirimu tak tahu apapun tentang kekuatan tersembunyimu.  

 “Di dunia keberdiamanmu tak dimengerti, tapi itu dunia khayalan; Dalam dunia kebenaran kau akan menerima ganjaranmu.

 “Pengadilan Surgawi tak akan menghakimimu; Pengadilan Surgawi tak akan menjatuhkan hukuman padamu; mereka tidak akan membatasi ganjaranmu. Ambil apa yang kamu mau! Semua milikmu!”

Bontzye menatap untuk pertama kali. Ia silau; segala apa bersinar dan berkilat serta membinarkan cahaya.
 “Begitu?” ia bertanya malu-malu.

 “Ya, sungguh! jawab hakim ketua seraya memutuskan; “sungguh, aku bilang padamu, semua milikmu; semua di surga kepunyaanmu. Karena semua yang bersinar dan berkilauan hanyalah pancaran kebajikanmu yang tersembunyi, seberkas pancaran jiwamu. Kau hanya mengambil apa yang menjadi milikmu”.

 “Begitu?” tanya Bontzye lagi, kali ini dengan suara lebih tandas.

 “Begitu! begitu! begitu!” mereka menjawabnya dari segala penjuru.

 “Nah, jika demikian”, Bontzye tersenyum, “Aku mau setiap hari punya, untuk sarapan, sepotong roti gulung dengan mentega segar”.

Pengadilan dan para malaikat menunduk, agak merasa malu; sang jaksa tergelak.

________________________________
(Cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dwi Pranoto dari “Bontzye Shweig” dalam Stories and Pictures yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Yiddish oleh Helena Frank, The Jewish Publication Society of America, Philadelphia, 1906)

Isaac Leib (atau Loeb) Peretz atau Yitskhak Leybush Peretz lahir 18 Mei 1852 (meninggal di Warsawa, 3 April 1915) di Polandia Timur, Zamosc, saat angin Renaisance yang bertiup dari Italia menginspirasi keharmonisan kehidupan budaya dan agama yang majemuk di kota itu. Meski awalnya sulit mengungkapkan ekspresi sastranya dalam bahasa Yiddish, bersama Sholom Aleichem, I.L. Peretz menjadi penulis generasi Haskalah yang menggunakan bahasa pergaulanYahudi Eropa Timur itu dalam karya-karyanya. Puisi-puisi dan cerpen-cerpen Peretz tidak hanya berhasil menggali kekuatan sastrawi bahasa jelata yang sebelumnya diremehkan. Lebih dari itu, karya-karya Peretz menjadi kekuatan yang menginspirasi bagi pejuiang bawah tanah melawan rezim Czarist.  

Dwi Pranoto lahir di Banyuwangi. Puisinya dimuat antara lain di antologi bersama Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, 1994), dan Lelaki Kecil di Terowongan Maling (Melati Press, 2013). Buku puisi tunggalnya Hantu, Api, Butiran Abu (Gress, 2011). Karya terjemahannya Piramid (Marjin Kiri, 2011), novel karya Ismail Kadare.  

 Baca Juga:



                                                    

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.