Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Buku: Wathathitha karya Sosiawan Leak.

Buku: Wathathitha karya Sosiawan Leak.


Kumpulan Puisi: Wathathitha
Karya: Sosiawan Leak
Penerbit: Basabasi
Cetakan Kedua: 2018
Isi: 90 judulpuisi dalam 9 subtema
Harga: Rp 48.000.
Pemesanan: 0813 1632 0671 (Wawan) / 0812 2580 1375 (Sosiawan Leak)

Puitika Wathathitha
Pada pakeliran wayang kulit di Jawa (khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta) para dalang mafhum bahwa beberapa tokoh dalam cerita pewayangan, baik yang berasal dari babon Ramayana maupun Mahabarata, mempunyai idiolek serta idiom (ungkapan khusus) milik masing-masing tokoh yang khas dan sangat mempribadi. Ditambah dengan pola ucap stereotip berikut karakter vokal dan antawecana yang ajeg, ungkapan itu menjadi penanda bagi tokoh tertentu yang diugemi para dalang sebagai bagian dari pakem pakeliran, disamping diamini oleh masyarakat penonton (utamanya yang fasih dan fanatik terhadap wayang). Terlepas, apakah ungkapan itu mengandung arti tertentu serta tercantum di dalam kamus atau tidak.
Maka ketika idiom “lae-lae”, diucapkan sang dalang dalam nada tinggi, dengan suara agak melengking, dan tempo lambat, sudah dapat diduga tokoh yang sedang berbicara adalah Semar. Ditambah dengan frasa “mbegegeg ugeg-ugeg mel-mel sadhulita” (lewat suara dalang yang dalam dan berat), sesekali mendahului kalimat yang bakal diucapkan, makin bisa dipastikan bahwa yang sedang berdialog adalah sang tetua punakawan dalam cerita Mahabarata versi Sunan Kalijaga.

Demikian pula jika terdengar sang dalang mengucapkan “wrekencong-wrekencong waru doyong” dengan karakter suara pipih, ringan, dinamis, dan kocak (biasa disambung dengan parikan, yakni jenis karya sastra Jawa yang mirip pantun namun hanya terdiri dari dua baris/kalimat; sampiran dan isi), sudah bisa dipastikan bahwa tokoh yang sedang berbicara adalah Narada. Pun kemunculan tokoh yang pada awal dialognya kerap mulai dengan suara mengerang (namun tak kesakitan), bernada rendah, berkarakter vokal berat, dan menggemakan suara berbunyi “heemmm...”, bisa diidentifikasi bahwa ia adalah Sang Bima.

Dalam suasana jiwa yang berbeda-beda, kebiasaan menyuarakan ungkapan atau mengucapkan kata tertentu (entah ada artinya atau tidak) dari masing-masing tokoh itu, senantiasa muncul saat pakeliran wayang digelar. Namun uniknya pengucapan atau penyuaraan atas ungkapan dan kata tertentu itu oleh para tokohnya senantiasa sama, terlebih jika ditranskrip ke dalam teks (melalui huruf).

Itu pula yang terjadi pada ungkapan “wathathitha” yang identik menjadi ucapan khas Rahwana (Raja Alengka dalam kisah Ramayana) manakala hendak berbicara. Jika kelewat gembira ia akan mengawali dialognya dengan mengucapkan “wathathitha” dalam nada tawa dan suara yang lepas (acap kali disusul dengan kalimat “bandhaku ya donyaku”). Demikian pula saat berada di puncak kemarahan, raksasa berkepala 10 itu akan meneriakkan ungkapan tersebut sebagai bentakan yang kuat, menghentak dengan karakter vokal kasar dan lepas, mendahului dialog yang akan diucapkannya. Sebaliknya kala terlalu kehilangan dan sedih hati tak terperikan, ia akan mengucapkan ungkapan itu dengan tertahan nyaris sesenggukan, dalam suasana duka dan frustasi, bahkan terkadang hingga histeri. Namun kesemuanya itu, jika dituliskan dalam huruf dan ejaan tertentu, tetap saja akan tereja sebagai “wathathitha” (ejaan Jawa) atau “watatita” (ejaan Indonesia). Uniknya, ungkapan itu tak tercantum sebagai bagian dari kosa kata resmi bahasa Jawa, tak ada dalam percakapan sehari-hari, serta tak ada dalam kamus (yang dengan demikian tak ada artinya).

Jadi, boleh saja para tokoh pewayangan semacam Semar, Narada, Bima, Rahwana, dan lain-lain mengalami beragam suasana batin dan kondisi kejiwaan yang berbeda-beda, namun idiom, ungkapan, dan ucapan stereotip yang melekat pada masing-masing tokoh dipastikan bakal ajeg, mempribadi, dan mewakili karakter mereka yang khas. Sedang makna sebenarnya dari ungkapan dan ucapan itu baru dapat ditafsir mengikuti kondisi batin, suasana jiwa, serta kadar emosi sang tokoh pada saat mengucapkannya.

Dalam khasanah kebudayaan lokal yang berpengaruh pada ekspresi komunikasi dan mewarnai pola pengucapan bahasa daerah dari berbagai komunitas dan masyarakat tertentu di sejumlah wilayah di Indonesia, munculnya idiom, ungkapan, dan ucapan yang khas serta stereotip semacam itu juga kerap menampakkan gejalanya. Hanya saja, jika di dunia pewayangan (pakeliran gagrak Jawa) hal itu menjadi milik pribadi para tokoh, maka dalam khasanah kebudayaan kita hal itu bisa dianggap merupakan representasi dari pola ujaran komunitas, masyarakat, atau suku tertentu.

Lewat pengertian yang lebih longgar, namun memanfaatkan paradigma yang relatif tak jauh berbeda dengan gejala munculnya ungkapan dan ucapan tertentu, sebagaimana yang terjadi di dunia pakeliran wayang (Jawa) maupun dalam khasanah bahasa lokal kita, proses kreatif menulis puisi pun tak menutup kemungkinan bisa dilakukan bersandar atas hal-hal tersebut. Terlebih jika merujuk pada tuntutan, bahwa setiap puisi yang lahir sebaiknya merupakan pengucapan yang khas serta mewakili ekspresi berbahasa dari masing-masing penyair.

Bisa saja semua penyair membidik tema yang sama, namun (bahkan secara serampangan) dijamin pola pengucapan berikut berbagai ungkapan yang diproduksi oleh setiap penyair akan berbeda. Begitu pula (bahkan), boleh saja setiap penyair menguliti beragam tema berikut keanekaragaman suasana serta situasi batin yang mengikuti proses kelahiran puisi-puisinya, namun (tetap saja) lewat pola ungkap dan pola ucap tertentu, sang penyair mesti terdeteksi hadir dalam puisinya. Sebab, beberapa kalangan kadung percaya, bahwa kerja kepenyairan terkait erat dengan bagaimana memanfaatkan pola ungkap dan pola ucap yang ajeg dalam meramu berbagai puisi dengan beragam tema dan situasi batin yang berbeda-beda. (Sosiawan Leak)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.