Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Konsep Epistemologi Islam Muhammad Baqir Al-Shadr

Konsep Epistemologi Islam Muhammad Baqir Al-Shadr

Oleh Indra Kusuma

#KAWACA.COM ~ Pembicaraan epistemologi adalah pembicaraan yang penting dalam filsafat, karena epistemologi terkait pada wilayah apa itu pengetahuan, sumber kebenaran, validitas kebenaran dan metodologi, yang dalam bahasa lain epistemologi berbicara pada wilayah theory of knowledge[1] dan merupakan fondasi terhadap ilmu pengetahuan. Wacana epistemologi terus mencari jalan untuk menemukan bentuknya yang tepat, namun epistemologi bisa disebut tidak akan pernah menemukan bentuknya yang tepat karena masing-masing tempat memiliki kekhasan dan objek kajian tersendiri.

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju di suatu negara, karena di dukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tidak akan pernah ada tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.
Dalam tradisi Barat ketika paradigma epistemologi berjalan beriringan dengan perkembangan sejarah pemikiran filsafat di Barat dan ketika sampai di postivisme, Barat menganggap dalam ilmu pengetahuan inilah epistemologi yang tepat sehingga positivisme menjadi ukuran terhadap ilmu pengetahuan. Paradigma positivistik menghendaki segala sesuatu bersifat objektif, dalam arti segala sesuatu mesti bisa diukur dan terukur. Ukuran segala sesuatu tersebut adalah bersifat rasional dan empirik atau dalam bahasa sains hari ini terukur lewat apa yang disebut dengan metodologi ilmiah. Paradigma positivistik menganggap alam hanya sekedar materi tanpa makna dan alam berjalan dengan hukum-hukum mekanik.
Paradigma positivistik ini jika dihadapkan pada umat beragama maka umat beragama tidak akan mengerti dengan agamanya. Dalam Islam, alam bukanlah materi tanpa makna melainkan alam adalah tanda terhadap kehadiran dan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, ilmu bertujuan untuk menghadirkan makna pada jiwa dan jiwa pada makna. Dalam usaha menjawab itu maka para ahli merumuskan epistemologi Islam yang berangkat dari dasar metafisika Islam yang merupakan fondasi dasar epistemologi dalam Islam.
Sebelum kita menjelaskan tentang diskursus epistemologi, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan epistemologi. Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti ilmu. Menurut Harun Nasution, pengertian epistemologi; episteme berarti pengetahuan dan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang a). Apa pengetahuan, b). Bagaimana memperoleh pengetahuan.[2] Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi berarti: ilmu filsafat tentang pengetahuan atau dengan pendek kata, filsafat pengetahuan.[3] Widia Fithri mendefinisikan epistemologi sebagai teori pengetahuan yang benar[4]. Epistemologi juga diartikan cabang studi filsafat yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan[5]. Dari dua pengertian di atas nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi: (1) Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan; (2) Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan; (3) Sistem, yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Diskursus epistemologi dapat dilacak dari sejarah pemikiran para filosof Yunani kuno, yaitu Heraklitos (535-484 SM) yang berpendapat bahwa alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah, sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, dan begitu sebaliknya. Dunia ini selalu bergerak, tidak ada yang tetap, panta rhei, semuanya mengalir. Implikasi pernyataan ini mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap.[6] Sebaliknya Parmenides (304-475 SM) berpendapat bahwa segala yang berasal dari penangkapan indera tidak ada yang layak disebut pengetahuan, dan bahwa satu-satunya pengetahuan sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-konsep.[7]
Plato (427-347 SM) lebih cenderung pada rasionalisme Parmenides. Ia berpendapat bahwa pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya selalu berubah-ubah. Plato tidak mempercayai kebenaran pengamatan inderawi dalam proses pencarian pengetahuan. Ia mengemukakan bahwa di luar wilayah pengamatan inderawi ada “ide”. Dunia “ide” bersifat tetap, tidak berubah-ubah dan kekal.[8] Aristoteles (384-322 SM) menyanggah teori Plato dengan mengatakan bahwa ide-ide bawaan tidak ada. Jika Plato menekankan adanya dunia ‘ide’ yang berada di luar benda- benda empirik, maka Aristoteles tidak mengakui adanya dunia seperti itu. Hukum-hukum dan pemahaman yang bersifat universal bukan hasil bawaan dari sejak lahir, melainkan dari pemahaman yang dicapai lewat proses panjang pengamatan empirik manusia. Aristoteles mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap atau kekal. Tetapi dengan pengamatan dan penyelidikan yang terus menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari benda konkret tersebut.[9] Menurut Aristoteles pengetahuan harus selalu berisi kenyataan yang dapat diindera, yang merangsang budi kita kemudian diolah oleh akal pikir.[10]
Pada era hellenisme Romawi muncul Plotinus (205-270 M) yang berupaya memadukan atau melakukan sintesis antara ajaran Plato dan Aristoteles, tetapi pada prakteknya ia condong kepada Plato.[11] Plotinus berpendapat bahwa Yang Satu adalah pangkal dari segala-galanya. Yang Satu adalah Yang Asal, Yang Sempurna, Yang Menjadi Sebab Pertama dari segala yang ada, dari Yang Satu mengalir menjadi wujud yang beragam melalui proses “emanasi”. Proses pelimpahan dari Yang Satu ini dapat dianalogkan dengan proses pancaran cahaya. Jadi, pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui pancaran langsung dari Yang Satu atau Tuhan. Pemikiran ketiga tokoh filosof di atas (Plato, Aristoteles, dan Plotinus) merupakan representasi pola pemikiran filsafat yang berkembang secara menyeluruh di dunia Islam dalam bingkai ajaran Islam.[12]
Perlu diingat, bahwa dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan, karena setiap ilmu memiliki obyek, metode, sistem, dan tingkat kebenaran yang berbeda-beda, baik dari sudut pandang maupun metode.[13] Dalam wacana pemikiran Islam, secara historis para filosof Muslim telah membahas epistemologi yang diawali dengan membahas sumber-sumber pengetahuan yang berupa realitas. Realitas dalam epistemologi Islam tidak hanya terbatas pada realitas fisik, tetapi juga mengakui adanya realitas yang bersifat nonfisik, baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika murni.[14] Mengenai alat pencapaian pengetahuan, para pemikir Islam secara umum sepakat ada tiga alat epistemologi yang dimiliki manusia untuk mencapai pengetahuan, yaitu; indera, akal, dan hati. Berdasarkan tiga alat tersebut, maka terdapat tiga metode pencapaian pengetahuan, yaitu: a) metode observasi sebagaimana yang dikenal dalam epistemologi Barat, atau juga disebut metode bayāni yang menggunakan indera sebagai pirantinya, b) metode deduksi logis atau demonstratif (burhāni) dengan menggunakan akal, dan c) metode intuitif atau ‘irfāni dengan menggunakan hati.[15]
Miska M. Amien menyatakan, bahwa epistemologi Islam membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya dan juga secara khusus membicarakan wahyu dan ilham, sebagai sumber pengetahuan dalam Islam.[16] Wahyu hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul melalui Malaikat Jibril, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw., penutup para nabi dan rasul.[17] Wahyu hanya khusus untuk para nabi, karena ia merupakan konsekwensi kenabian dan kerasulan.[18] Ilham adalah inspirasi atau pancaran ilahi yang ditiupkan ruh suci ke dalam hati nabi atau wali.[19] Inspirasi atau intuisi pada prinsipnya dapat diterima setiap orang.[20] Oleh sebab itu, di satu sisi epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, tetapi di sisi lain, epistemologi Islam berpusat pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran).
Terkait dengan bahasan epistemologi Islam, Amin Abdullah.[21] menyatakan bahwa dalam wacana filsafat Islam, wilayah metafisika, epistemologi, dan etika menyatu dalam bentuk mistik (mysticism). Aspek yang lebih menarik dikaji lebih dalam dari ketiga ranah tersebut adalah hubungan antara “mistisisme” dan “epistemologi”. Di sinilah urgensi epistemologi Islam, karena menurut laporan sejarah para filosof dan sufi Muslim secara dinamis dari zaman ke zaman telah melakukan upaya pemaduan atau harmonisasi antara mistisisme dan filsafat dalam rangka mencapai pengetahuan hakiki, sehingga muncul berbagai paradigma dalam epistemologi Islam.
Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim Paripatetik memiliki perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi. Filsafat Paripatetik adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak pertama filsafat Islam yang mencapai kematangannya di tangan Ibn Sina. Dalam tradisi pemikiran Islam dikenal dengan massya’i”, yang berarti berjalan, karena Aristoteles dalam menyampaikan ajarannya berjalan-jalan di sekitar gedung olah raga di kota Athena yang bernama paripatos.[22]
Al-Kindi (801-860 M) menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu; pengetahuan inderawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan intuisi. Pertama, pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara langsung ketika orang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu. Kedua, pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Pengetahuan ini menyelidiki sampai pada hakikatnya. Sebagai contoh adalah orang yang mengamati manusia, menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir. Ketiga, pengetahuan ishrāqi yang merupakan pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran nur-Ilahi. Puncak pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan Allah.[23]
Al-Farabi (870-950 M), mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui daya mengindera, menghayal, dan berfikir, di mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu: jism, nafs, dan ‘aql. Pertama, daya mengindera yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan seperti panas dan dingin, yang dengan daya ini manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara, meraba, dan melihat. Kedua, daya menghayal yang memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari hal-hal yang dirasakan setelah obyek tersebut lenyap dari jangkauan indera. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau kombinasi- kombinasi yang beragam, dan hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Ketiga, daya berfikir yang memungkinkan manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta menguasai seni dan ilmu.[24]
Ibn Sina (980-1037 M) mengemukakan teori al-Rūh al- Muqaddas (ruh yang disucikan), yakni jiwa insani yang merupakan fakultas   rasional   yang   dipersiapkan   dari   keterjagaan dan berhubungan dengan akal universal, dan kebutuhannya dicukupi dengan ilhām dan wahyu.[25] Sesuai dengan tradisi filsafat Yunani yang universal, Ibn Sina menyatakan bahwa seluruh pengetahuan adalah sejenis abstraksi untuk memahami bentuk sesuatu yang diketahui. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan satu-satunya sarana yang melaluinya, sehingga kita mampu mencapai kebenaran dan membangun kepribadian.[26]
Ibn Rushd (1126-1198 M) yang populer sebagai “Komentator Aristoteles” berpendapat, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio. Ibn Rushd berpendapat, bahwa hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio yang bisa dianggap sebagai pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat tersebut, sebab masih bisa tertipu oleh bayangannya sendiri.[27] Menurut Ibn Rushd, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Pencipta alam ini hanya dengan penalaran yang benar berdasarkan logika. Logika merupakan sarana untuk mendapatkan hakikat kebenaran meyakinkan, yang disebut dengan “metode burhāni” (demonstratif).[28] Akan tetapi, Ibn Rushd juga berpendapat bahwa jalan untuk menuju kebenaran tidak hanya melalui refleksi filsafat (burhāni), namun ada jalan lain, yakni melalui analisa mendalam terhadap kitab suci.[29]
Berdasarkan uraian ringkas tentang pemikiran epistemologi dari para filosof muslim Paripatetik menunjukkan bahwa akal atau rasiolah yang paling dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode demonstratif (burhāni). Posisi al-Qur’an dan al-hadis bagi mereka adalah hanya sebagai alat legitimasi, sehingga penerapannya dengan cara memberikan takwil yang rasional.
Salah seorang pemikir besar Islam yang ikut dalam perbincangan epistemologi adalah Muhammad Baqir al-Shadr[30]. Nama aslinya adalah Muhammad Baqir al-Shadr Haidar Ibn Ismail al-Shadr yang lahir di Kazimain, Baghdad pada tahun 1350 H / 1931 M. dia adalah seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik yang dibesarkan dalam lingkungan yang religius.[31] Menurut al-Shadr, epistemologi adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari, dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia.[32] Bagi al-Shadr epistemologi adalah bagian penting yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat terutama filsafat modern. Epistemologi terkait kepada bagimana pengetahuan itu muncul di dalam manusia? Bagaimana kehidupan intelektual tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep pemikiran yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini?. Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat berbagai macam pemikiran dan pengetahuan dan tidak diragukan lagi bahwa banyak pengetahuan manusia itu muncul dari pengetahuan lainnya. Karena itu, akan meminta pengetahuan terdahulu (yang sudah dimiliki) untuk menciptakan pengetahuan baru. Permasalahannya adalah bagaimana kita “meletakkan tangan kita” diatas “garis-garis primer” pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan pada umumya.[33]
Al-Shadr menyebutkan bahwa doktrin rasional sajalah yang dapat memecahkan problem pembenaran (justifikasi) pengetahuan dan membuat kriteria dan prinsip-prinsip primer pengetahuan.[34] Pengetahuan primer terjadi pada diri manusia dengan berangsur-angsur, tetapi keberangsuran itu tidak berarti bahwa hal itu terjadi karena pengalaman eksternal, karena kita telah membuktikan bahwa pengalaman eksternal tidak mungkin merupakan sumber pokok bagi pengetahuan. Keberangsuran itu adalah sesuai degan gerak substansial dan perkembangan jiwa manusia. Perkembangan dan jiwa substanial itulah yang membuat jiwa bertambah sempurna dan sadar akan informasi primer dan prinsip-prinsip dasar, sehingga membuka kapasitas-kapasitas dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalamya. Jadi, jiwa manusia itu sendiri secara potensial mengandung pengetahuan primer ini dan dengan gerak substansial, intensitas wujud jiwa bertambah, seihngga apa yang diketahui secara potensial itu menjadi diketahui secara aktual.[35]
Al-Shadr juga menyebutkan bahwa semua teori empirikal dalam ilmu-ilmu alam itu berdasarkan sejumlah pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen, tetapi akal langsung mempercayainya. Pengetahuan-pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen itu ialah: pertama, prinsip kausalitas, dalam arti tidak mungkinnya “kebetulan. Karena, kalau “kebetulan itu mungkin tentu seorang ilmuwan alam tidak dapat menjelaskan secara umum banyak fenomena yang tampak dalam eksperimen-eksperimennya. Kedua, prinsip keselarasan antara sebab dan akibat. Prinsip ini menyatakan bahwa hal-hal yang serupa dalam realitasnya niscaya bergantung pada sebab yang sama. Ketiga, prinsip non-kontradiksi yang menyatakan kemustahilan terjadinya penafian dan penetapan sekaligus.[36] Dari uraian tersebut terlihat bahwa pembuatan kesimpulan ilmiah dari eksperimen selamanya bergantung pada penalaran silogistik yang didalamnya pikiran manusia berangkat dari yang umum ke yang khusus, dan dari yang universal ke yang partikular, persis seperti pendapat doktrin rasional. Jadi menurut Al-Shadr, empirisme tidak bisa lepas dari rasionalitas.
Al-Shadr juga memperlihatkan hubungan yang erat antara filsafat dan ilmu pengetahuan, karena menurutnya ilmu pengetahuan kadang-kadang memberikan fakta-fakta tertentu kepada filsafat agar filsafat dapat menerapkan prinsip-prinsipnya pada fakta-fakta itu. Dengan begitu, ia dapat mengemukakan kesimpulan-kesimpulan filsafat baru. Filsafat juga membantu metode empirikal dalam ilmu pengetahuan dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip rasional yang digunakan seorang ilmuwan untuk melangkah dari pengalaman langsung ke hukum ilmiah umum. Hanya saja, meskipun demikian filsafat terkadang tidak membutuhkan pengalaman inderawi sama sekali, tetapi ia menyimpulkan teori filosofis dari pengetahuan rasional terdahulu. Karena itu kita katakan bahwa tidaklah harus bagi kandungan filsafat itu untuk berubah terus menerus mengikuti pengalaman empirikal, dan tidak harus pula bagi keseluruhan filsafat untuk menyertai prosesi ilmu pengetahuan dalam tahapan perjalanannya.[37]


Bekasi, 9 Agustus 2016




[1] Widia Fithri, S.Ag.M,Hum, Wacana Filsafat Ilmu, (Padang: Azka, 2004), hal. 27.
[2] Harun Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: 1978), hal.10.
[3] Drs. R.B.S. Furdyartanto, Epistemologi, (Yogyakarta, 1978), hal. 8.
[4] Widia Fithri, S.Ag.M,Hum, Wacana Filsafat Ilmu, (Padang: Azka, 2004), hal. 27.
[5] DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Pengantar Epistemologi dan Logika, (Bandung: Remadja Karya CV, 1985), hal. 1.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 41.
[7] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, (Yogyakarta: LIMA dan Faisal Fondation, 2007), hal. 87.
[8] Amroni Drajad, Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 80.
[9] Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, dan Perspektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), hal. 23.
[10] Imam Wahyudi, Pengantar Epistemologi, (Yogyakarta: LIMA dan Faisal Fondation, 2007), hal. 90.
[11] Fu’ad Al-Ahwani, Dirāsat al-Falsafah al-Islāmiyyah, (Mesir: Daar al-Fikr, tt), hal. 85.
[12] Amroni Drajad, Suhrawardi, Kritik Falsafah Paripatetik, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hal. 18.
[13] Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: al-Ruzz Media), hal.118.
[14] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 58.
[15] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 63.
[16] Miska M. Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hal. 10.
[17] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), hal. 312.
[18] Mulla Sadra, Iksir al-‘Arifin (Tokyo: Jami’ah Tokyo, 9184), hal. 914.
[19] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter. Nasrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 1996), hal.112.
[20] Jumantoro dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf (Wonosobo: Amza, 2005), hal. 86.
[21] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 14.
[22] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 79.
[23] Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 104.
[24] Ahmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 77.
[25] Ibn Sina, Ahwāl al-Nafs, ter. M.S. Nasrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hal. 167.
[26] MM Sharif (ed), A history of Muslem Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1998), hal. 159.
[27] Suparman Syukur, Epistemologi dalam Filsafat Ibn Rusyd, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996), hal. 145.
[28] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 84.
[29] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 86.
[30] Selanjutnya disebut al-Shadr.
[31] Fuad Mahbub Siraj, Prinsip Kausalitas Muhamad Baqir al-Shadr, (Jakarta: Jurnal Universitas    Paramadina, No. IV Vol. 7, 2010) hal. 304.
[32] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 25.
[33] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 25.
[34] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 50
[35] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 51
[36] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 47.
[37] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap   Pelbagai Aliran Filsafat Dunia, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991) hal. 63.


Indra Kusumalahir di Jakarta, 19 Maret 1986. Alumni PP Sunan Giri, Pasuruan, dan Falsafah Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Lelaki yang menyebut dirinya sebagai ‘penikmat puisi dan kopi’ ini tinggal di Bekasi sebagai CEO TareSI Publisher.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.