Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mukadimah: Puisi Nadhaman dalam Tanda Kutip - Sofyan RH. Zaid

Mukadimah: Puisi Nadhaman dalam Tanda Kutip - Sofyan RH. Zaid




I
Nadham (kadang juga disebut nazam) memiliki akar sejarah yang panjang. Zurinah Hassan (2008) menyebut: Perkataan nazam yang digunakan sebagai istilah teknik kepada suatu jenis puisi mulai ditemui dalam Tajus Salatin yang dikarang oleh Bokhari al-Jauhari, kira-kira tahun 1603. Nazam ialah puisi yang berasal dari kesusasteraan Arab-Parsi. Mengikuti Kamus Dewan (1994) “Nazam” ialah perkataan Arab yang bermaksud gubahan puisi, seperti sajak dan syair. Bernazam adalah bercerita dengan lagu, bersajak atau bersyair, manakala menazamkan bermaksud menceritakan dengan lagu atau mengubah dan menyajakkan. Kamus Dewan juga memberikan kata lain yang digunakan untuk nazam yaitu nalam. Mengikuti Kamus At-tullab Arab-Melayu (1994) nazam dalam bahasa Arab berarti merangkai, mengarang, menyusun dan mengatur. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nazam adalah (1) puisi yang berasal dari Parsi, terdiri atas dua belas larik, berima dua-dua atau empat-empat, isinya perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman. (2) karangan; me-na-zam-kan v menyajakkan; mengarang; menggubah.

            Di Indonesia, nadham subur berkembang di pesantren dan memiliki fungsi penting dalam kurikulum pesantren yang otonom untuk mempermudah santri menyerap keilmuan dengan cara melagukan, sehingga mudah menghapal, misalnya kitab Amrithi atau Alfiyah untuk belajar tata bahasa arab. Dari tradisi inilah orang-orang pesantren akrab dengan sastra secara tidak langsung. Kemudian menulis sastra di sela-sela aktivitasnya sebagai santri. Para santri yang menulis sastra dikenal sebagai ‘penyair pesantren’, dan karya-karyanya dianggap sebagai ‘sastra pesantren’. Sastra pesantren lahir sebagai bagian dari sastra Indonesia, meski di satu sisi kehadirannya sampai saat ini masih dianggap sebagai kabar burung semata. Sastra pesantren dipandang belum punya dasar yang kuat untuk berpijak dalam sastra Indonesia. Namun di sisi lain, bukan berarti sastra pesantren tidak ada, saya sepakat dengan Ahmad Baso (2012); Fungsi sosial sastra pesantren ini ditunjukkan dari cara kaum santri melakukan penggubahan, tulis-ulang, atau penambahan dan penyisipan, untuk disesuaikan dengan cita-cita sosial-keagamaan kaum pesantren. Dengan kata lain memberi spirit dan corak pada kesusastraan Indonesia yang telah ada.

II
            Awal tahun 2012 dalam perjalanan pulang menuju Sumenep, saya singgah di Jogja untuk bertemu seorang kawan. Dia menyodorkan Majalah Annida edisi lama yang memuat dua puisi saya, salah satunya berjudul Fajar Bermata Bulan. Sebuah puisi yang saya tulis tahun 2006 di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk sebagai persembahan kepada pengasuh waktu itu; Drs. KH. Abdul Warits Ilyas (Alm). Puisi tersebut adalah puisi pertama yang saya tulis menyerupai nadham dengan tanda pagar (#) pada tiap lariknya sebagai batas dan penanda rima. Kebetulan saat itu saya sedang berada di puncak kebingungan’ mencari bentuk dan karakter perpuisian saya dalam sastra Indonesia. Tanpa berpikir panjang saya putuskan; ‘meninggalkan’ penulisan puisi bebas dan mulai menulis puisi nadhaman sebagai jalan baru perpuisian saya.

            Sebagian orang kecewa dengan keputusan saya, sebagian lagi mendukung sepenuhya; “Sebagai terobosan baru keluar dari ‘kejenuhan dan keseragaman’ puisi Indonesia dewasa ini. Apalagi dalam sejarahnya belum pernah ada puisi berbahasa Indonesia yang menggunakan tanda pagar (#) pada tiap lariknya. Ini pertama,” katanya. Saya lupakan itu semua, saya hanya terus menulis dan menulis. Sepanjang tahun antara 2012-2015 puisi nadhaman saya terbit di sejumlah media dan buku bersama, salah satunya buku Negeri Langit (Dari Negeri Poci V, 2014). Dalam acara pertemuannya di Tegal, saya bertemu seorang kritikus muda berbakat; Dimas Indiana Senja dan kami berbincang banyak soal puisi yang saya tulis. Beberapa minggu kemudian, Dimas menulis esai di Harian Umum Republika  (24/08/14) yang mengangkat dan membahas puisi saya di buku tersebut dengan judul Estetika Nadhaman. ‘Polemik kecil’ pun terjadi, beberapa minggu berikutnya muncul esai-esai lain yang ‘memperdebatkan’ model baru puisi saya dalam sastra Indonesia.

III
Terlepas dari itu semua, dalam Kitab Genesis disebutkan bahwa penciptaan sudah berakhir di hari keenam, selanjutnya hanyalah penemuan-penemuan. Penemuan terbagi dua: menemukan yang sudah ada sebelumnya (to discovery), misal Columbus menemukan Benua Amerika; menemukan yang belum ada sebelumnya (to invent), seperti Al-Khawarizmi menemukan angka nol (0) dalam bilangan. Barangkali puisi saya ini dengan tanda pagar (#) pada tiap lariknya hanyalah bagian dari to discovery dalam puisi berbahasa Indonesia, yakni puisi yang terinspirasi dari nadham di Pesantren. Namun meski demikian, tidak setiap yang serupa adalah sama. Puisi nadhaman saya ini tentu bukan nadham itu sendiri, bukan nadham yang tertulis dalam kitab-kitab Islam klasik yang ketentuan dan penilaiannya diatur secara ketat dalam Ilmu Arud dan Qawafi-nya al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Azdi al-Bashri Syekh Sibawe (100 – 170 H). Puisi yang saya tulis ini adalah puisi nadhaman dalam tanda kutip saja. Kelak barangkali jenis puisi saya ini akan disebut sebagai puisi pagar atau apapun namanya.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan, setidaknya saya sudah mencoba sesuatu yang baru. Namun saya juga sadar, bahwa percobaan dalam puisi memiliki dua kemungkinan; ditolak atau diterima, dicaci atau diikuti. Hanya waktu yang tahu pasti. Saya hanya akan terus menulis sambil mencari dan menemukan ‘kedalaman’, sebab kepenyairan tidak pernah memiliki ‘puncak’. Penyair  yang merasa telah sampai di puncak, sebenarnya telah mati.

IV
            Pagar Kenabian ini menjadi tanda,  14 tahun sudah saya hidup bersama puisi, sejak tahun 2001. Tentu merupakan kurun waktu yang  sangat singkat dalam hitungan proses kreatif. Itulah kenapa sampai saat ini, saya merasa belum memiliki puisi seutuhnya. Saya hanya menjadi teman bagi puisi untuk menuliskan dirinya lewat diri saya. Namun saya bahagia hidup bersama puisi. Puisi telah memberi saya banyak hal berharga yang tidak pernah bisa saya dapatkan dari yang lain.

Akhirnya, kepada TareSI Publisher yang bersedia menerbitkan buku ini. Kepada tempat di mana saya menempa diri: SDN Jenangger, MTs. Miftahul Ulum Batang-batang, Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, MA Annawari Bluto, Universitas Paramadina Jakarta. Kepada tempat  di mana saya menempa hidup: Bengkel Puisi Annuqayah, Sanggar Andalas, Sanggar Basmalah, EKBT, Paramadina Poetry Club, Forum Sastra Bekasi. Kepada nama-nama yang tidak saya sebutkan satu persatu selain dalam doa dan hati. Kepada keluarga, para guru, para wali, sahabat, kritikus dan media yang ‘telah’ dan ‘akan’ membantu dengan tulus; membaca, memberi masukan dan penilaian, saya sampaikan terima kasih yang tak berpagar.

Semoga Allah. Semoga Muhammad. Amin kita. Amin semesta.

Bekasi, 08 Januari 2015
Salam Kenabian


Sofyan RH. Zaid

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.