Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Buku: kuberi kau nama: tuan. bukan fulan karya Indra Intisa

Buku: kuberi kau nama: tuan. bukan fulan karya Indra Intisa



kuberi kau nama: tuan. bukan fulan
Seikat sajak: Indra Intisa
Kata Pengantar: Roja Murtadho (Baca: Hermeneutika Ruang dan Waktu)
Penerbit: TareSI Publisher
Cetakan Pertama: April 2018
ISBN 978-602-50225-8-6
Harga: Rp 50.000,-
Pemesenan: TareSI Publisher

----------------

Suatu Pagi (Pagi Ini)

/1/
gerimis di pagi ini
dan anak-anak burung
mengibas-ngibas bulunya
dan ranting bergoyang
—basah
—ujung-ujungnya lapuk.

/2/
lampu di ujung jalan
mengerjap: mati-hidup
tiangnya basah, sebasah lampu
yang masih mengerjap.

/3/
di sebuah gubuk tua
berdiri istana mewah
kaca-kacanya bening
seperti mutiara. memantulkan
wajah gubuk; anak-anak burung
dan lampu masih
mengerjap.

/4/
hari masih gerimis

2015

---------------------
PRAKATA


Alhamdulillah, akhirnya buku kuberi kau nama: tuan bukan fulan terbit juga. Saya sadar, buku ini tidak akan pernah terbit jika bukan karena Allah Swt., sebagai Maha Pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk ide-ide dan pikiran yang seterusnya menjelma menjadi puisi-puisi. Buku ini lahir dan terbit banyak didukung oleh kawan-kawan, seperti Bude Roja Murtadho yang memberikan banyak masukan dan kritik, kemudian kawan-kawan seperti: Shiny, Mang Ted, Dang Rajo dan juga dua sodara muda saya, Esha (si Penyair Merdu), Cak Zhavier (Penyair Sepunuk yang bercita-cita menjadi ketua NU). Senior saya Norham Abdul Wahab, Abinya Umar Abdurrahman, dsb.,  tentu saja juga kawan-kawan lain yang tidak tersebut satu persatu, baik dalam dunia nyata maupun maya. Sebelum itu, dukungan terbesar telah didapat dari keluarga (ayah, ibu, adik) dan istri tercantik. Mereka memberikan dukungan dan masukan yang tak henti-henti kepada saya. Anak-anak adalah bentuk dukungan semangat yang lain dalam menulis buku ini. Terima kasih juga kepada penerbit yang telah bersedia menerbitkan buku sederhana ini.
Buku ini adalah salah satu bentuk ekspresi terbesar saya dalam menulis. Puisi-puisi yang tersusun di dalamnya adalah puisi yang bersambung antara satu dan lainnya—yang berurut—sebagai kisah hidup-mati seseorang. Harapan terbesar saya buku ini dapat bermanfaat dan menginsiprasi siapa pun yang telah membacanya. Betapa kehidupan di dunia adalah pilihan. Masa depan adalah akhirat. Dan akhirat adalah nyata.

Wassalam

Indra Intisa

-------------------------
TESTIMONI

Menelusuri sajak-sajak Indra Intisa—pertemanan Facebook yang tiba-tiba saja seperti menemukan teman bermain—maka tak heran jika menuruti jejak karyanya seperti melihat cermin yang memantulkan segala celah yang terkecuali juga panggung wajah. Tetapi membaca ‘khotbah’ 44 sajak ini, saya seperti disalib dan diarak menuju bukit untuk kemudian disejajarkan dengan sosok yang tersalib di kiri dan di kanan—entah mau disebut sebagai penjaga pintu surga maupun neraka. Refleksi yang menghunjam dalam seakan percakapan yang mengguncangkan iman saya dengan teriakan—inilah wajahku! Dengan guyuh kususuri masa lalu yang makin tidak terang karena rabun mata batin terserimpung rasa terlambat seperti tertera pada sajak Hari Persaksian:

Di hari itu mulutmu terkunci
Lidahmu mati berat bagai besi
Kau tak jawab apa-apa dari tanya
Kau sembunyi kisah-kisah kentara
Diam-diam tanganmu tumbuh
Kaki berjalan bawa tubuh
Telinga dan mata turut menabuh
Kisah-kisah yang mau kau basuh

Saya tak sanggup menatap halaman neraka yang mengikutinya.

(Cunong Nunuk Suraja, Penyuka Literasi, Pernah mengajar Intercultural Communication di FKIP—Universitas Ibn Khadun Bogor hingga 2016)

Buku Indra Intisa ini bukan hanya puisi, tapi bentuk ‘safar rihlah’—perjalanan batin yang akan terjadi pada kita semua. Menegur dengan puisi dalam dongeng yang jenaka, saya larut. Dan terakhir saya sadar, “Saya objeknya”. Sebenarnya Indra Intisa ingin mengajak kita sadar pada ayat ini: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami?” Q.S Al Mu’minun: 115.

(Abdul Wafi Dhimyathi, Santri pengamat puisi).

Membaca puisi-puisi Ompi Indra Intisa dalam kumpulan puisi kuberi kau nama: tuan. bukan fulan membuat kita seakan melakukan perjalanan, mulai dari perjalanan hidup hari ini, hingga hidup setelah mati: kehidupan kampong akhirat yang abadi. Puisi-puisi Ompi ini, secara implisit, mengandung pengingat, teguran, juga ancaman terhadap kehidupan umat manusia, secara umum. Ini dakwah yang molek sekali: menikam namun tidak menggurui. Tak banyak penyair yang siap menyusun rencana sistematis menulis puisi seperti ini. Dulu konsepsi ini dapat ditemui dalam hikayat-hikayat. Namun kini, ternyata ada dalam buku ini—yang tampil betul-betul kekinian dan aduhai.

(Norham Abdul Wahab, Penyair dan Cerpenis).

Puisi di buku ini sudah berulang-ulang dibaca, dan saya tak bosan-bosan untuk menelaah dan mencari makna. Karena begitu dalam makna yang tersembunyi, ibaratkan menyelam ke dasar lautan. Ternyata semakin banyak harta karun di dalamnya. Ikan pun besar-besar. Kesimpulan saya, buku puisi kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini adalah buku yang sangat keren. Saya rekomendasikan kepada teman-teman. Ada banyak nasihat dan pencerahan di dalamnya.

(Abinya Umar Abdurrahman, Penyair)

Bahwa hidup adalah kendaraan menuju alam yang kekal abadi bernama akhirat dan manusia dihadapkan pada pilihan baik-buruk. Demikianlah Indra Intisa teramat piawai mengemas diksi ke dalam puisi religi berantai seakan setiap bagian terhubung satu sama lainnya; buku yang berjudul kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini saya seolah dicekoki dengan tuak ilahiyah, dan alam dunia hanyalah kesementaraan hingga dapat kumafhum sebagai tarikan muhasabah yang semoga menjelma api membakar dada hingga dapat mengantar pembaca menjemput hikmah.

(Julia Asviana, Penikmat Puisi)

Membaca sebuah buku kumpulan puisi Indra Intisa "kuberi kau nama: tuan. bukan fulan." Membuat saya berani mengambil sebuah penilaian, Indra Intisa telah mencapai kemajuan sebagai seorang penulis, sebab indra telah lepas dari "penyakit penyair indonesia" yaitu: puisi sekedar sarana pelepasan, sarana pelampiasan pencarian identitas diri atau masih seputar si aku lirik. "The progres of an artist is continual self-sacrifice, a continual extinction of personality. Kemajuan sang seniman terdiri atas pengorbanan diri dan pemadaman kepribadian yang terus-menerus" (Eliot 1969: 17). Di buku ini, Indra Intisa membuat puisi yang temanya membuat saya ternganga: hidup dan kehidupan, kematian dan kehidupan setelah kematian. Mengungkap isi hati, perasaan, dan keterharuan, rasa sunyi, dalam bentuk puisi adalah kegiatan yang dianggap wajar, tapi jarang penulis puisi yang membukukan puisinya dan saat saya membacanya, berulang-ulang membacanya ada hal yang "menamper: mengendap dalam pikiran sang pembaca (terutama bagi saya)" puisi-puisi di buku ini berhasil melakukan hal itu. Dalam rangkain puisi-puisi ini saya temukan puisi rasa satire nan unik: saya sebagai pembaca merasa tersindir akan cara saya mengisi hidup dan kehidupan tapi anehnya saya mengangguk, mengiyakan apa yang ditulis Sang penulis puisi Indra Intisa. Tidak semua yang membaca puisi di buku ini akan setuju dengan kesaksian saya ini, tapi selaku pembaca, anda akan menemukan hal yang sama dengan saya yaitu: Indra Intisa berhasil menggali apa yang ada di jiwa manusia. TUAN dan FULAN: Satir yang unik.

(Mang Ntèd, Pemerhati Puisi)

Di buku kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini, kau akan mendapati beragam percobaan ekspresi estetis penyairnya, Indra Intisa. Kau tahu, pada tataran bentuk strukturnya, paling tidak ini merupakan upaya memberikan sentuhan baru dalam konversionalitas perpuisian Indonesia. Namun, terlalu sederhana jika kautakan semua itu sekadar inovasi bentuk. Sebab, bagaimanapun, imajinasi dan pikiran adalah keniscayaan lain yang mesti hadir dalam sebuah puisi. Lalu, untuk menangguki kearifannya, kau pun mesti menyelam jauh hingga ke lubuk terdalam medan makna setiap diksi dan metafor yang didedahkannya.

(Jamal T. Suryanata, Sastrawan)


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.