Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi-Puisi yang Begitu Anggun - Sofyan RH. Zaid

Puisi-Puisi yang Begitu Anggun - Sofyan RH. Zaid

Puisi-Puisi yang Begitu Anggun
oleh Sofyan RH. Zaid

Sofyan RH. Zaid




“Puisi adalah anak yatim dari kesunyian.
Kata-kata tidak akan pernah bisa menyamai pengalaman di belakang mereka.”
Charles Simic

1/
Saya membaca puisi-puisi Arco Transept dalam Didera Deru Kedai Kuala sambil mendengarkan “What We Remember” Anggun C. Sasmi yang dirilis akhir tahun 2017. Pada bulan Februari 2018, single ini masuk 10 besar Charts Billboard Amerika kategori Dance Club Song. Lagu yang paling banyak diputar bersama lagu lain seperti "Consideration" Rihanna, "Finesse" Bruno Mars, "All Falls Down" Alan Walker, "Coping" Toni Braxton, dan "Too Much to Ask" Niall Horan.
Anggun tercatat sebagai penyanyi (berdarah) Indonesia pertama yang mencapai hal itu dalam sejarah musik dunia setelah 20 tahun menunggu sejak "Snow on the Sahara" masuk 20 besar di kategori yang sama. Apa yang menarik dari lagu ini? Ada dua larik –dari lirik yang ditulis Anggun sendiri- yang sangat saya suka, yakni: “No, nothing lasts forever / We only have what we remember (Tidak ada yang berlangsung selamanya / Kita hanya memiliki apa yang kita ingat). Apa hubungan dua larik tersebut dengan puisi-puisi Arco dalam Didera Deru Kedai Kuala?
Arco lahir di Musi Banyuasin, 15 September 1984. Lelaki berdarah ‘janda’ (Jawa Sunda) ini sudah sejak SMA menyukai puisi dan musik.  Arco dikenal sebagai ‘penyair petualang’, pindah-tinggal dari satu kota ke kota, mungkin juga dari satu hati ke hati lainnya. Arco pernah tinggal di sejumlah kota besar di Indonesia, mulai dari Bandung, Yogyakarta, Bali, Malang, Surabaya, Jakarta dan sekitarnya. Dalam petualangannya, puisi dan musik senantiasa menjadi obsesi kreatifnya. Akan tetapi, meski Arco telah bertualang ke sejumlah kota, dia tetap memilih Palembang -kota kelahirannya- yang digali melalui puisi, dan buku Didera Deru Kedai Kuala ini adalah hasilnya. Puisi-puisi dalam buku ini sebagian besar bicara tentang lokalitas tanah kelahirannya itu.
Penyair yang menulis puisi lokalitas sebenarnya dia sedang mempertaruhkan kebebasan kreativitasnya sendiri. Karena puisi semacam ini punya resiko gagal yang lebih tinggi dibanding puisi bertema bebas. Banyak puisi bertema lokalitas terjebak pada ‘pembaca yang terbatas’ atau ‘sekadar pujian atau ratapan tentang suatu tempat’. Sebagai penyair yang terus mencari, Arco menyadari pertaruhan tersebut dalam pengantar bukunya ini:
Didera Deru Kedai Kuala adalah sehimpun puisi yang hampir secara keseluruhan menggunakan imaji lokal. Ketika mendapat ide dalam menggarap tema lokal, saya berpikir bagaimana cara sebuah sajak tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas, atau pembaca lokal yang hanya bisa dipahami oleh pembaca karya sastra, tapi bagaimana cara kerja sajak dengan tema lokal ini menjadi unirversal. Sehimpun Puisi di buku DDKK ini adalah keresahan saya akan zaman yang terus berkembang  dan sebuah kota urban yang diisi oleh berbagai macam watak manusia yang menyelinap di dalam kepala saya hingga menjadi sebuah bahan permenungan saya untuk mengolahnya ke dalam sebuah sajak yang tidak melulu sekedar meratapi kemalangan, atau memuji-muji sebuah tempat atau daerah tempat tinggal.”

2/
Sejarah lokalitas dalam puisi Indonesia dimulai sejak Balai Poestaka, misalnya Muhammad Yamin, berlanjut ke Poejangga Baroe, seperti Amir Hamzah, kemudian sempat padam pada Angkatan 45, masa Charil Anwar, dan menyala kembali pada Angkatan 50, era Ajip Rosidi, dan seterusnya. Namun bila kita cermati lebih jauh, pada Angkatan 45, lokalitas dalam puisi tidak benar-benar padam meski Charil dan kawan-kawan berkiblat pada kebudayaan dunia. Bahkan Chairil sendiri tidak bisa lepas dari lokalitas Melayu, misalnya dari sisi model pantun puisinya. Kita bisa lacak pada puisi:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
(“Nisan”)

 Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
(“Malam di Pegunungan”)

Kemudian model tersebut begitu kentara pada puisi “Derai-derai Cemara”:

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Lokalitas secara umum berkaitan dengan wilayah tertentu dengan bahasa, tradisi, nilai, dan mitos yang terbatas karena dibatasi oleh wilayah lain. Karakteristik lokalitas dalam puisi bisa dibedakan ke dalam enam bagian, yaitu (1) bahasa, sebagian penyair di Indonesia memilih menulis puisi dalam bahasa lokalnya; (2) kearifan, banyak kita temukan local wisdom dalam puisi-puisi Indonesia; (3) pengucapan, walau bagian ini sulit dirumuskan, bukan berarti tidak bisa kita rasakan, misalnya ‘logat’ puisi para penyair yang berasal dari daerah tertentu; (4) sudut pandang, bagaimana penyair menuliskan puisinya menggunakan cara pandang daerahnya terhadap suatu hal; (5) tema, inilah yang paling banyak kita temukan, puisi-puisi yang mengeksplorasi tradisi, tempat, sejarah, bahkan mitos suatu daerah, dan (6) diksi, pada bagian terakhir inilah banyak kita jumpai puisi yang hanya ditempeli diksi-diksi kedaerahan oleh penyairnya.

3/
Lantas bagaimana puisi-puisi Arco dalam buku ini? Saya kira pembaca bisa langsung mendeteksi karakteristik puisi lokalitas Arco. Namun mari kita selami salah satu puisi yang menurut saya paling menarik, yaitu:

Sukma di Tanah Sriwijaya

Sukma dirangkum angin malam yang bercahaya.
Sukma duka dan sukma suka berbaris
seperti lilin makan malam dalam mimpi manis.

Berpuluh tahun angka makin samar di pelipis, sebagian
habis menghitung bintang,
menggambar rasi, dan menulis catatan kaki di tanah yang
dibelah sungai.
Seperti legenda batu di samping klenteng Hok Tjing Rio.

Bulan ke sembilan setiap tahun,
kecemasan selalu mencuat dalam kemasan pagoda.
Mengerucut ritus yang berulang
seperti kisah cinta Siti Fatimah
dan Tan Bun An yang karam.

Sekujur tubuhku adalah bambu-bambu bersembilu.
Tumbuh di pinggir kota dan kolam-kolam
pada dindingnya retak menyimpan masa kanak.
di tebang jadi rel kereta.

Aku membayangkan tak ada lagi
sisa tanah kosong di kota ini.
Segala sisi kota ditaburi uang,
sebulan atau setahun lagi berdiri gedung
yang congkaknya hampir sekeras kepala kami.
Dan pelan-pelan terlupakan.

2016

Puisi di atas sangatlah kompleks karakteristik lokalitasnya, namun secara tersurat Arco sedang menyuarakan kecemasan dan ketakutannya akan perubahan Tanah Sriwijaya yang kian maju dan berkembang. Sebagaimana “revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, perkembangan sebuah daerah juga senantiasa memakan korban, yakni lokalitas itu sendiri. Ada banyak kearifan yang lenyap, tempat-tempat bersejarah yang tergusur, perisiwa-peristiwa penting yang terlupakan, dan masih banyak yang lainnya. Lalu apa yang tersisa dari suatu daerah tersebut? Ingatan! Ingatan yang menjelma ke dalam bentuk cerita, multimedia, dan juga karya sastra.
Itu artinya, penyair –termasuk Arco- yang menulis puisi lokalitas pada hakikatnya adalah berjuang mengabadikan ‘apa yang dia ingat’ tentang daerahnya.  Dia menjadi ‘juru selamat’ lokalitas suatu daerah yang perlahan (akan) terlupakan sebab deru kemajuan. Ketika suatu daerah telah berganti wajah, anak-anak cucu kita masih bisa mengenalinya lewat puisi-puisi tentang lokalitas daerah tersebut. Maka, wajar jika Maman S. Mahayana dalam sebuah diskusi tentang ‘Lokalitas dalam Sastra’ meyakini bahwa “ketika kita kurang mengenal persoalan etnik, sastra sebetulnya dapat menjadi pintu masuk”.
Inilah hubungan antara dua larik “What We Remember” Anggun dengan puisi-puisi Arco dalam buku ini. Selain sebab adanya perkembangan dan kemajuan sehingga lokalitas suatu daerah bisa lenyap, memang “No, nothing lasts forever / We only have what we remember” (Tidak ada yang berlangsung selamanya / Kita hanya memiliki apa yang kita ingat). Ingatan yang sempat diabadikan penyair tentang suatu daerah dalam puisi-puisinya.

4/
Ketika bangsa Indonesia saat ini sedang gencar meneriakkan kembali tentang ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’, ‘NKRI Harga Mati’, dan identitas kedaerahan yang tidak lagi penting dikuatkan sebab ancaman disintegrasi, masih menarikkah buku ini? Arco telah menjawabnya sendiri melalui puisi:

Sajak untuk Sajak-Sajakmu

...............................

Dan aku takkan berhenti mencintai
Sampai luka terobati
Sampai kita, ditaburi rupa-rupa bunga.

Dan aku takkan berhenti merindui
Sampai sepi tak dikenali
Sampai kita, menemu dahan rindang daun-daun

Hingga akhir padanya,
sayap kunang-kunang yang jatuh di jantung sungai.

Kita takkan mati di sajak ini

................................

2016

Sampai di sini, sampai epilog ini selesai ditulis, saya masih mendengarkan “What We Remember” Anggun yang telah berhasil memberikan ‘sentuhan lokalitas’ pada album internasional pertamanya Snow on the Sahara (1997) dengan memasukkan musik etnis Indonesia, seperti Sunda, Bali, dan lainnya. Lalu bagaimana dengan nasib puisi-puisi Arco dalam buku ini? “Nasib adalah kesunyian masing-masing!” tegas Chairil.

Bekasi, 25 Maret 2018

*Epilog untuk buku Didera Deru Kedai Kuala karya Arco Transept (2017)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.