Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Doa untuk Buku Puisi

Doa untuk Buku Puisi

Oleh : Shiny elpoesya*
DOA- setiap epilog, semestinya berisi setengah doa. Entah doa yang ditujukan bagi masa depan yang amat begitu jauh, atau doa-doa kecil yang sebenarnya amat dekat sekali dengan rusi-rusi di pori kulit kita. Tetapi, bagaimana jika kita diminta menulis sebuah epilog, dari sebuah kumpulan puisi yang di dalamnya terdapat berbagai doa? Apakah perlu, untuk menulis doa kembali? Untuk apa? Untuk apa, banya doa disampaikan, kemudian disusul dengan doa kembali? Oleh karenanya di sini saya hanya akan “bercerita” saja.
Chairil Anwar menulis Doa, dalam kumpulan puisinya, meskipun tak semua. Amir Hamzah menulis Doa, dalam puisinya, meskipun ta semua. Ronggowarsito menulis Doa, dalam puisinya, meskipun tak semua. Bahkan jika kita gelar seluruh manuskrip yang ada dalam perjalanan kesusastraan Nusantara—dan Indonesia modern, kita akan menemukan berbagai ‘suara’ baik yang kencang, terdengar remat, hingga yang setengah marah-marah yang berisi doa. Dari setiap itu, kita bisa melihat berbagai macam doa yang pernah muncul dari dalam batin kesusastraan kita. Kita menemukan jejak yang seringkali eksil—dari ruangnya, seringkali subtil—dari kebertubuhannya, seringkali juga cukup dengancermin yang sentimentil. Doa, dengan kepala catatan yang berbeda-beda, berisi kegelisahan-kegelisahan yang dipermenungkan oleh banyak dari penyair kita, ta jarang juga sebagai sebuah aufgeben.
Chairil Anwar pernah menulis dalam “doa”. “CayaMu panas suci/ tinggal kerlip lilin dikelam sunyi// Tuhanku// au hilang bentuk/ remuk//Tuhanku// au mengembara di negeri asing/ Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ au tida bisa berpaling.” Saja ini selain menggambarkan sifat “keterputusan tradisi” dari batin Chairil atas tradisi kesusastraan sebelumnya, ia juga seakan menggambarkan aufgaben itu. Dengann nada yang lebih ironik, ia pun pernah memedihkan sebuah kata-kata, (Hei!—pen) “Mampus kau! Dikoya-koya sepi!” kepada para kawan penyairnya yang tengah memasuki awal “modernisme” dalam bangsa dan kesusatraan. Ya, sebagaimana disitir oleh Goenawan Mohammad dalam kumpulan esainya di sekitar sajak, bahwa (hidup adalah nasib, dan menurut Chairil, nasib adalah kesepian masing-masing).
Tetapi, permasalahannya, kita telah sama-sama dihadapkan tida hanya dengan sebuah perjalanan nasib seorang manusia yang terlahir dari ruang yang sunyi-sepi. Kita juga tida sedang berhadapan hanya dengan sebuah doa dan pengharapan=pengharapan, tetapi juga dengan sebuah perungkapan karya seni, yang bisa jadi, karena melalui perungkapan keindahannya itulah, alam semesta yang gelap raya pun bisa tersentuh.
Dalam tradisi agama monotheis misalnya, dalam Taurat, dikisahkan Ayyub bin Amush ditimpa kemalangan penyakit yang ta dapat disembuhkan. Dari kai hingga kepalanya keluar sebuah penyait menular sehingga ia dijauhi oleh seluruh umat manusia, ta terkecuali istrinya yang merasa sudah tida siap lagi tinggal dalam kemalangan yang menimpa suaminya. Lantas sebab doa yang yang ia ungkapkan—sekali lagi, doa yang ia ungkapkan, Ayyub bin Amush disembuhkan dalam sebuah rahmat dan dikisahkan seluruh keluarga, kerabat tak terkecuali istrinya kembali setelah kesembuhan dan kekayaan Ayyub bin Amush pulih.
Sebab doa yang ia ungkapkan itu, pula, Ayyub bin Amush (1540-1420 SM) menjadi salah satu rasul yang membuat Tuhan amat begitu memujinya [QS. Shaad : 44]. “ “Rabbi Anni Massaniyadh-Dhurru wa Anta, Arhamar-Rahimin....  Ya Tuhanku, sesungguhnya au telah ditimpa penyakit dan engkau adalah Tuhan Maha Penyayang di antara semua Penyayang,” gumam Ayyub bin Amush dalam kesendirian setelah ditinggal istri tercintanya (Nabi-nabi: 83). Sebuah doa yang bahkan lebih menunjukan sikap “penyerahan” ketimbang hanya suara harapan-harapan belaka yang terkatakan [dan bisa dirumuskan]—oleh karenanya bersifat “duniawi” dan segera “lisut”.
Ya, doa—haikatnya, adalah sebuah pengungkapan, di mana makna, pengertian dan sebuah haikat telah menjelma ke dalam sebuah rasa sehingga menyaput di dalamnya penglaman aesthetic. Dari situlah kemudian, doa akan mungkin menjadi berbeda, menjadi lebih puitis ketimbang dari sebuah dadih yamg keluar dari seekor lembu, atau setetes air susu dari seekor domba.
*Penulis manuskrip 50.000 Ma’(w)ar---, Kota Cinta, Algorhyme; 0.1., penulis cerpen Matahari [ES 158] dan lubang gelap.
Jakarta, 23 September 2017

Catatan:
Judul dibuat redaksi.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.