Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Gregor Sampah

Gregor Sampah

oleh Sigit Susanto
Kawaca.Com - Memasuki pesawat Qatar yang akan melesat dari bandara Ngurah Rai ke Doha pada 10 Juni 2018, aku sengaja menyelipkan buku terjemahan Mas An Ismanto berjudul The Complete Short Stories Volume 1 – Franz Kafka.
Buku bersampul biru itu aku buka khusus pada cerita Metamorfosis. Baru beberapa halaman kubaca, lampu pesawat dipadamkan, hingga aku harus menyalakan lampu khusus yang menempel di dinding atas. Novelet yang terdiri atas 3 bab itu, belum bab 1 selesai, datanglah pramugari menyodorkan makan malam.
Tubuh ini terasa capek mengingat hari terakhir meninggalkan tanah air, banyak yang dipersiapkan. Makanan di alas meja depanku sudah aku makan. Kenyang menggerayang. Menyadari sebelahku ada kursi kosong, maka aku buka selimut sambil kepalaku menempel di kursi istriku. Kupaksakan tidur dengan posisi kepala lebih rendah dari tubuh. Lelap melahap malam.
Tak kusangka, cairan makanan dan minuman dari perut turun ke tenggorokan. Akibatnya napasku tersumbat dan bangkit. Di pertigaan hidung terasa tersumbat rasa anyir yang tak sedap. Aku duduk dan sesekali minum air putih. Makanan yang segar tadi terasa sudah menjadi basi di saluran hidung. Samsa terus melaju, ia mulai memiliki kebiasaan baru, yakni tak mau menyentuh susu dan keju segar yang sudah disiapkan oleh adiknya, si Grete. Sayuran segarpun terhindarkan. Tak sampai di situ, ketika kepala kepegawaian mendatangi apartemen keluarga Samsa, suara Samsa sudah berubah tak lagi seperti layaknya suara manusia.
Pesawat berhenti di bandara Doha, Metamorfosis aku lanjutkan baca. Pesawat lanjutan turun pelan di langit Zürich, bacaanku selesai. Aku temukan nama Gregory, 3 kali. Mungkin ini lupa diedit, versi Inggris mungkin Gregory, sedang versi Jerman, aslinya Gregor. Di rumah aku baca ulang terjemahanku yang sudah diterbitkan oleh penerbit Baca milik Mas Anton Kurnia dengan judul Metamorfosa Samsa.
Memasuki deskripsi kamar Samsa, yang berisi berbagai barang rongsokan, termasuk tempat sampah tertumpuk di kamar kecil ini. Keluarga Samsa sering membeli perabot dan barang-barang, ujung-ujungnya semua benda itu masuk ke kamar Samsa. Grete sudah bermaksud memindahkan benda-benda itu agar, gerak Samsa lebih bebas karena mulai punya hobi baru merangkak di dinding atau menggantung di langit-langit dengan permainan akrobatik, kaki-kaki kecilnya digantungkan.
Ibu melarang Grete untuk merapikan kamar Samsa, dengan harapan, jika Samsa pergi dan kembali lagi masih ingat dengan barang-barang di kamarnya. Sungguh kamar Samsa ibarat gudang barang rongsokan. Aku teringat pengalaman di kampungku. Aku memergoki beberapa anak muda berlenggang membawa bungkusan plastik. Akan dibawa ke mana Mas?
Pemuda yang datang membawa motor dan setumpuk sampah dalam bagor putih itu menjawab, akan dibuang di pinggir kali. Pagi itu aku halau dia pulang dan aku ancam akan aku foto. Pemuda itu balik arah, ketika motor belum berbunyi, datang perempuan muda dan seorang ibu juga membawa sampah plastik akan dibuang ke kali. Mereka aku ingatkan dan berbalik arah. Aku minta mereka membakar di halaman belakang rumahnya saja.
Kampungku dengan kali alami yang airnya semakin surut dan ikannya semakin sedikit, masih akan dicemari dengan sampah keluarga. Sepertinya kepala desa tak bisa sendirian mengatasinya. Ketua RT kampungku memberi tahu ada petugas mengambil sampah 2 kali seminggu dan warga dikenakan biaya Rp.12.000. Iya, iya, warga di RT itu memang rajin dan taat tidak membuang sampah ke kali, tetapi warga RT lain, yang tak ada tukang angkut sampah?
Tidak di Jawa tidak di Lombok. Pantai Senggigi yang kami datangi, ribuan bungkus plastik menghuni di bawah bangunan pedagang minuman dan makanan. Nyaris plastik dan plastik di mana-mana. Problem nasional anak muda ke depan harus membereskan sampah pastik.
Kembali ke Samsa, sama dengan kembali ke Sampah. Samsa menganggap banyaknya perabot dan barang tak berguna di kamarnya seperti gua yang bisa dipakai bermain-main. Kafka sedang mengkritik manusia modern yang tak becus mengurus barang-barangnya. Kamar yang harusnya untuk tidur nyenyak, berubah menjadi gudang barang bekas. Layaknya lanskap kali kampungku yang indah dan panorama pantai Senggigi, dikotori sampah-sampah plastik.
Samsa tulang punggung keluarga. Pedagang kain keliling yang terlambat bangun untuk naik kereta api. Ia pegawai loyal dan tanggung jawab. Ia yang mencarikan apartemen besar untuk keluarganya. Ia pembayar utang ayahnya dari kantornya.
Ketiga penyewa kamar di apartemen keluarga Samsa menyukai musik biola yang dimainkan Grete. Begitu mereka melihat Samsa, mereka merasa lebih terhibur daripada permainan biola. Tubuh Samsa yang berlelehan lendir cokelat, sisasisa makanan tersangkut di punggungnya termasuk benang dan rambut, sungguh menjijikkan.
Atas dasar jijik itu lah ketiga penyewa kamar angkat kaki dan tak mau membayar sewa. Tetapi Samsa mencatat pengamatannya, ketika ketiga pria penyewa itu makan, yang lebih terdengar justru gesekan gigi-gigi mereka. Samsa menganggap ketiga pria itu sengaja menyindir dirinya yang ompong. Sebab itu betapa Samsa menderita saat membukakan pintu kamarnya dengan memutar kunci dengan mulutnya yang ompong. Ia lupa sudah tak memiliki gigi seperti sebelumnya.
Tiga cidera menimpa Samsa hingga ajal menjemput. Pertama, jatuhnya pecahan botol obat yang mengenai wajahnya. Bau obat yang menyengat tak tertahankan. Kedua, ayah Samsa yang menaruh banyak apel merah kecil hingga menjatuhi punggung atau panser Samsa. Anehnya, apel itu tetap menancap berhari-hari dan busuk. Ketiga, Samsa terjatuh dan nafsu makan yang semakin berkurang. Lebih dari sebulan usia Samsa menjadi serangga.
Kafka menciptakan adegan plastis, ketika pembantu datang langsung membuka kamar Samsa, mendapati Samsa tersungkur. Ia pikir Samsa pura-pura, maka ia gebuk dengan sapu. Setelah tak ada reaksi setelahnya, ia berteriak, Samsa sudah meninggal. Ibu Samsa berterima kasih kepada Tuhan atas meninggalnya Samsa.
Sepertinya terjadi perubahan sikap dari Grete. Pada awalnya Grete menyayangi Samsa dengan bahasa yang halus dan ringan tangan karena menyediakan makanan. Namun menjelang kematiannya, Grete lah yang punya inisiasif akan membawa keluar kakak kandungnya, tetapi tak mau menyebut sebagai monster. Pada akhirnya keluarga Samsa perlu mencari apartemen yang lebih kecil dan murah.Grete sadari sebagai pelayan sebuah warung, ibunya sebagai tukang cuci dan bapaknya sebagai petugas yang melayani makan pegawai bank.
Banyak kejadian pada Metamorfosis ini yang berupa adegan teatrikal. Grete yang memainkan biola, pembantu yang memukul Samsa dengan sapu, Samsa yang mulai merubah ritme gerak dari manusia ke serangga, Samsa yang suka menggantung di langit-langit, ayah Samsa yang lebih suka tiduran di kursi sebelum dipapah oleh anak dan istrinya ke kamar tidur. Seragam kerja ayah Samsa yang selalu dipakai sampai jelang tidur, seolah ia selalu siap bertugas.
Kafka sering menciptakan adegan yang sama pada tokoh yang berbeda, termasuk pada novel Proses. Pada Metamorfosis ini antara lain, pertama: Ia berhenti bicara dan memandang lurus ke depan seolah menunggu sesuatu. Kedua: “Nah, sekarang apa yang harus kita keluarkan” kata Grete sambil mengamati sekeliling. Ketiga: “Sekarang bagaimana?” tanya Gregor kepada diri sendiri sambil memandang sekeliling ruangan yang gelap. Keempat: “Kemarilah, Grete, ikutlah kami sebentar,“ kata Nyonya Samsa sambil tersenyum sedih, dan sambil menoleh ke belakang untuk melihat mayat itu.
Gregor Sampah, Gregor bermetamorfosis menjadi sampah di masyarakat, dibuang dan tak layak dilihat. Metamorsamsa. Kecoak yang lebih suka hidup di tempat yang banyak kotorannya.
Zug, 13 Juni 2018.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.