Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Remy Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kesalahan Logika

Remy Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kesalahan Logika


oleh Denny JA

 #KAWACA.COM ~ Tulisan yang enak dibaca. Tulisan yang sebenarnya hanya punya satu kesalahan saja. Tapi itu kesalahan logika. Ibarat istana, logika itu fondasi yang dapat merontok keseluruhan bangunan. Itulah kesan saya terhadap tulisan Remy Sylado.
Seorang kawan melalui japri mengirimkan tulisan Remy Sylado: Ilusi Denny JA Menyangkut “Puisi Esai.” Satu saja yang saya perhatikan. Bagaimana cara Remy menarik kesimpulan dan membangun argumen. Ternyata, ia mengulangi kesalahan elementer yang sama. 
Remy sekali lagi melakukan kesalahan seorang pemula dalam menarik kesimpulan yang sahih. Seperti tulisannya yang pertama, ia kembali melakukan logical fallacy: false generalization!
Mari saya tunjukkan argumen dan contohnya.

-000-

Saya mulai dulu dengan latar belakang. Pada tulisan terdahulu, saya sebenarnya hanya merespon tuduhan Remy yang dimuat media. Ia menyatakan Denny JA dalam program puisi esainya memperalat penyair.
Bagi saya pribadi tak ada masalah dengan tuduhan memperalat penyair sejauh itu datang dari kesimpulan yang sahih.
Ada sekitar 250 penyair yang sudah menulis puisi esai, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 40 buku puisi esai yang sudah terbit. Akan ditambah pula akan terbit tambahan 34 buku puisi esai dari 34 provinsi.
Ingin saya tahu bagaimanakah Remy mengambil sampel untuk sampai pada kesimpulan itu. Metodelogi riset sebenarnya  tersedia bagi mereka yang memang serius membuat kesimpulan, apalagi jika kesimpulan itu menyerang.
Ternyata kesimpulan yang Remy buat hanya berdasarkan beberapa kasus yang ia temui. Remy melakukan kesalahan elementer yang disebut false generalization. Dari kasus kecil, ia nekad saja mengambil kesimpulan untuk keseluruhan.

Saya sudah mencontohkannya tentang kisah kacang di pesawat. Seorang Ayah mendapati anaknya alergi makan kacang di pesawat. Hanya karena kasus anaknya, ia berjuang agar kacang dilarang disajikan dalam pesawat. Ia mengira kasus yang menimpa seorang anaknya relevan untuk digenaralisasi untuk semua penumpang pesawat.
Remy melakukan kesalahan logika yang sama dengan Ayah di kasus kacang itu.

-000-

Dalam tulisannya yang kedua, yang merespon tulisan saya, Remy tak membahas sedikitpun kritik saya soal kesalahan logika itu.
Remy malah menghabiskan banyak kata menunjukan aneka penghargaan yang ia terima. Tak pula saya tahu apa relevansinya. Apalagi itu penghargaan dalam hal karya sastra. Tak ada satupun kata dalam tulisan saya yang membahas karyanya, atau meragukan jumlah penghargaannya.
Yang saya kritik bukan karyanya, tapi kesalahan elementer dalam tertib berpikir, dalam metodelogi riset, dalam mengambil kesimpulan yang sahih.
Dari situ saja responnya sudah salah arah. Mereka yang ahli berenang tak otomatis juga pandai bernyanyi. Hal yang sama soal karya. Mereka yang terlatih menulis novel atau puisi, juga tak otomatis menguasai metodelogi riset untuk menarik kesimpulan yang sahih. 
Remypun membuat kesimpulan berikutnya.  Ujar Remy: kontrak di dunia sastra akan menurunkan kualitas sastra. Dalam bahasanya sendiri: 
“Dengan mengiming-imingi duit sebagai upah lewat kontrak, saya anggap Denny JA telah meletakkan derajat sastra bukan sebagai postulat dorongan-dorongan rohani, tapi semata-mata hanya menjadi kegandrungan-kegandrungan badani, kedagingan, urusan perut. Primitif sekali. 
Uang memang penting, tapi jauh lebih penting kehormatan. Menulis puisi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan – yang memberi kekayaan spiritual dan kekayaan intelektual tersebut – adalah suatu kehormatan yang tidak bisa diukur dengan uang.”
Remy juga menulis: 

“Oleh karena itu, bagi saya, kontrak dalam kekaryaan sastra, bukannya untuk meninggikan harkat pesastra dengan mengimingkan uang yang sebenarnya hanya seharga upah kuli tukang tembok, seperti ilusi Denny JA, tapi malah memelorotkan makna sastra...”
Kembali yang ingin saya periksa bagaimana cara Remy membangun kesimpulan. Apa yang membuatnya yakin kontrak itu akan melorotkan makna sastra.
Juga tak ada keterangan apa kasus yang ia jadikan pedoman? Seberapa banyak kasus yang membangun kesimpulan itu? Bagaimana cara ia menarik sampel? Kesimpulan itu ia nyatakan berdasarkan persepsi dan seleranya pribadi saja.
Semakin yakin saya memang Remy punya problem dengan tertib berpikir. Kembali ia melakukan logical fallacy, kesalahan logika, yang disebut false generalization. Ia mengira seleranya pribadi dapat digeneralisasi untuk semua.
Padahal Om Google sudah menyediakan fasilitas bagi mereka yang sedikit ingin berpikir serius, melakukan riset. Dunia karya, termasuk sastra, bukan saja sudah terbiasa dengan kontrak. Bahkan kini dunia industri melangkah lebih jauh dengan istilah Book Advance.
Istilah ini merujuk kepada penulis yang bukan saja berkontrak untuk menulis karya. Bahkan ia bisa mengambil dana di muka. Dana itu nanti akan diperhitungkan dalam pembayaran rolyalti. Begitu banyak informasi mengenai novel yang ditulis dengan sistem ini: kontrak dan book advance.
Jika dikatakan kontrak itu atau book advance itu akan melorotkan karya sastra, sudahkah Remy meneliti? 
Tak ada yang meragukan,  misalnya, Charles Dickens. Karyanya acap dimasukkan ke dalam list 100 karya sastra terbesar dalam sejarah. Tentu saja dalam list itu tak ada karya Remy Sylado.
Apa yang terjadi dengan Charles Dickens?  Ia pun terlibat dalam kontrak penulisan buku. Film tentang Charles Dickens dibuat di tahun 2017: The Man Who Invented Christmast.  Hubungan Dickens soal kontak dengan penerbitnya cukup pula ikut mewarnai renungannya.
Kontrak soal karya mulai dari film hingga sastra menjadi hal yang justru melindungi penulis. Tak ada hubungan antara ada atau tidak adanya kontrak dengan kualitas karya.

Jika semata soal kontrak dapat memerosotkan kualitas, itu sudah menunjukkan labilnya sang kreator. Masalah kontrak saja mampu mengganggunya.
Ditulisan Remy yang pertama, saya menyatakan Remy tak terlatih menarik kesimpulan yang sahih. Dalam tulisan Remy yang kedua, kesalahan itu masih diulangi. Ditambah lagi satu kemungkinan: Remy sudah tak lagi mengikuti zaman yang sudah berubah.
Dunia industri sudah tiba. Ingin tahu lebih jauh: tanya Om Google.
Saya tak tahu apakah Remy akan membalas lagi tulisan ini. Tentu hak itu ada padanya. Saran saya jika Remy masih ingin menyerang lagi, ada baik membaca dulu buku pengantar metodelogi riset, dan aneka jenis kesalahan logika.
Jika tidak, semakin banyak Remy menulis, semakin nampak betapa ia asing dalam dunia “tertib berpikir” dan “menarik kesimpulan secara sahih.”
Demikianlah serangan Remy sudah saya jawab “secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya.” Tak lupa saya haturkan terima kasih banyak “berbalas pantun,” apalagi menjelang sahur.***

2 Juni 2018 


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.