Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Dua Penyair Swiss Dihimpit Hujan - Sigit Susanto

Dua Penyair Swiss Dihimpit Hujan - Sigit Susanto

oleh Sigit Susanto

“Aku datang di Alpenquai pukul 17.00, membawa payung dan teks untuk dibaca.“
Ini (Max Huwyler)

Zug: Kamis, 5 Juli 2018 sebagai awal acara tahunan Jemuran Poesie. Setahun lalu ada kisah unik, yakni seorang ibu memetik puisi karya penyair Anita Schorno. Ibu itu bilang, “Boleh saya bawa pulang puisi ini dan akan saya berikan ke penyairnya. Kebetulan saya kenal secara pribadi, ia tetangga saya di Emensee.“ Tentu saja.
Usai acara saya mencari alamat no telepon penyair Anita Schorno di buku telepon online dan berhasil saya temukan. Adapun perkenalan saya dengan puisi penyair ini berawal dari menemukan bukunya di Brochenhaus, gudang barang rongsokan kota. Mengingat puisinya berbahasa Schweizedutsch (Bahasa Jerman dialeks Swiss), maka sejak awal acara ini dimulai tahun 2010, delapan tahun silam, puisi bahasa Jerman dialeks Swiss selalu saya pajang. Dengan harapan para pejalan kaki di danau yang mayoritas warga Swiss akan ikut menikmati.

Anita ini setahun lalu dalam telepon mengaku belum dapat puisi dari tetangganya. Ia pun berjanji pada acara Jemuran Puisi akan hadir. Merasa Anita bersedia datang, maka saya kirim email dengan paralel ke Max Huwyler, penyair gaek kelahiran tahun 1931 yang sudah beberapa kali datang. Gaung bersambut, Max pun bersedia hadir dan bahkan mereka sepakat akan hadir pada acara Kamis perdana, yakni 5 Juli 2018.

Mengetahui kedua penyair lokal kota Zug sudah positif akan datang, maka saya menghubungi Lisa, panitia lokal dari JAZ (Jugend Animation Zug). Lisa memberitahu saya, untuk menghubungi koran Zuger Zeitung, media terbesar di kota Zug. Barangkali ini peristiwa langka ada dua penyair bertemu, ternyata pihak koran Zuger Zeitung langsung berniat mengirim wartawan dan juru fotonya.

Dag Dig Dug Hujan Turun?
Setelah persiapan sudah matang, semakin dekat ke acara, muncul ramalan cuaca Meteo di TV Swiss, bahwa Kamis, 5 Juli 2018 hujan akan turun. Duh, duh, ini…lalu bagaimana mengantisipasinya, mengingat kegiatan puisi ini berada di mulut danau Zug dengan atap langit langsung.

Sebagai anak negeri tropis, sudah kenyanglah dengan hujan. Maka saya tetap menyiapkan peralatan seperti, kendang Sunda, angklung, wayang, dan bakwan goreng serta nasi kuning. Kamis pagi saya sudah 3 kali membawa buku-buku, peralatan musik ke sebuah rumah dekat lokasi acara. Meskipun demikian, saya mengirim email ke kedua penyair yang menyatakan, bahwa jika hujan turun, maka potongan kertas puisi tidak akan saya pasang, karena risiko basah, tetapi saya tetap berada di lokasi. Email ini saya luncurkan, karena berjaga-jaga jangan sampai mereka kecewa.

Sambil menggoreng bakwan, iseng-iseng saya membuka email dan ternyata Anita meminta konfirmasi, agar pukul 14.00 diberitahu apakah saya tetap akan mengadakan acara puisi. Rupanya Anita mulai ragu, apalagi saat aku menjawab itu kondisi langit mendung dan gerimis.
Untuk lebih efektifnya, saya menelopon langsung ke Max. Di luar dugaan, ia jawab, “Saya tetap akan datang dan hujan itu baik, saya nanti akan tahu di mana Anita berada.“

Wah,…mendapat jawaban maestro poesie seperti itu, saya langsung seperti terkena cambuk. Kenapa saya tak berani menghadapi hujan? Tak lama saya menelepon Anita dan utarakan apa yang diucapkan Max. Anita rupanya berubah pikiran, ia ikut hanyut dengan pernyataan Max. Ia sebut, ”Kalau nanti gerimisnya seperti sekarang, saya tetap akan datang.“
Saya gembira, kedua maestro poesie yang cukup dikenal di kota Zug itu sepakat hujan atau tidak, baca puisi tetap akan diadakan. Saya tambahkan cerita ke Anita, bahwa Neruda juga pernah mengagumi banjir di depan rumahnya seperti kali, karena hujan berhari-hari tak ada henti.

Belakangan setelah acara selesai, saya baru baca email dari Max yang rupanya dikirim setelah saya sudah ke lokasi. Isi email itu adalah

Sigit yang baik,
Saya akan berada di Alpenquai pukul 17.00 dan akan membawa payung dan membaca teks.
Max Huwyler

Max Huwyler

Saya terharu, Max begitu nekat dan bersedia membawa payung dan teks puisi.
Menjelang pukul 15.15 saya genjot sepeda menuju lokasi di pinggir danau di Albenquai. Di dua keranjang besiku di belakang sepeda sudah terisi, nasi kuning, bakwan goreng, dan sekitar 200 kertas puisi dari berbagai bahasa dan generasi penyair lintas bangsa. Termasuk puisi bahasa Indonesia dari teman-teman.

Dalam perjalanan saya saksikan, di sepanjang jalan rumput-rumput basah dan genangan air dimana-mana. Ini kali pertama saya mengadakan acara puisi yang dikepung hujan. Dag dig dug tentu, kalau turun hujan, pasalnya terlanjur 2 penyair siap akan hadir.

Sesampai di lokasi, saya pandang mendung hitam bergerombol di langit. Sementara permukaan air danau bergelombang. Nyali menipis, maka saya hanya mengikat benang ke beberapa pohon secara lurus. Beberapa puisi saya jepit dan sekali-kali saya turunkan lagi, karena gerimis.

Dari arah pelabuhan Krisna datang berlenggang. Tak berapa lagi disusul Max Huwyler berjalan seperti akan roboh sambil membawa payung. Kami bertiga segera merunding, seandainya tak ada hadirin, tetap saja puisi harus dibaca. Lebih-lebih Max cerita, ia pernah membaca puisi di suatu acara dan hadirin cuma 4 orang. Saya ingat juga nasihat Max dulu, bahwa kegiatan puisi, tak boleh diukur dengan banyak atau sedikitnya hadirin.

Tak lama Anita Schorno datang dengan Martin, suaminya. Kami berlima saling membicarakan sekiranya hujan tiba. Max bilang, ”Saya datang, hujan hilang.” Dan benar, sejak Max datang angin di atas danau yang menggetarkan permukaan air luluh. Mendung menjauh dan hujan tiada.

Vanessa, wartawan muda yang cantik dari koran Zuger Zeitung tiba dengan juru fotonya,
Menyaksikan perubahan mendadak itu, Max langsung mengambil buku dan membaca puisinya terbaru dari teks yang sudah disiapkan. Ia santai baca puisi sambil duduk. Dengan spontan Krisna memetik gitar dan saya memainkan harmonika.

Ini puisi Max itu:

zugerplätz

dorfplatz
kolinplatz
gärbiplatz
landsgmäindsplatz
poschtplatz
bahnhofplatz
epaplatz
bundesplatz
arenaplatz
finanzplatz
bouplatz

Max bilang, tadi saya baca sambil menengok ke danau. Mungkin maksudnya alam sebagai gantinya hadirin. Dari puisi baru selesai dibaca, kini gantian Anita pun membacakan puisi dari lembaran kertas yang sudah disiapkan dari rumah.

Sommertanz

Es lyd en Aanig i de Luft,
vo Wermi, Liecht und Glanz,
und myni Träum, die tanzid scho
e liechte Summertanz.

Gsee dich und mich so wyt vo hie,
barfuess und sorgefry,
ghöör üs i Gsprääch mit andre Lüüt
bi guetem, altem Wy.

Gspüür d Sunne,
gspüür am Wind sys Spiil,
im Land, won ich gäärn wär.
Und s Plange macht sich breit i mier,
und s Warte wird mer schwäär. 
Drumm flächti  Poesi dezue,
Und bind mer druus e Chranz.
Und myni Träum, die tanzid scho
e liechte Summertanz.

*Anita Schorno


Max berdiri dan mengeluarkan buku dari tasnya dan dibaca beberapa halaman.
Lisa datang dan disusul dua ibu masuk ke arena. Segera saya tawarkan nasi kuning dan bakwan goreng dengan saus asam manis. Krisna membantu menyiapkan minuman, air putih dan es teh. Seorang ibu itu mengaku tahun lalu berlibur ke Bali.

Anita mungkin penasaran dengan Jemuran Poesie maka ia sengaja berjalan keliling dan kembali ke dalam lokasi sambil membawa dua puisi karya saya. Sebelum dia baca ia sebutkan bahwa kedua puisi itu karya Sigit Susanto.

Kedua puisi bahasa Jerman itu sebagai berukut :

Der Mund kam zu spät nach Hause
*Sigit Susanto

Als ich auf den Balkon trat
Ein weisser Mond hing hinter dem Tannenbaum
Ging ich wieder rein, zu kalt draussen
Der Schnee lag sehr weich am Gras       

Du, der Mond
Warum kam du nach Hause zu spät
Die Welt wechselte andere Geschichten

Der weisse Mond wae fast dünn wie ein Moskitonetz
In meinem Heimatland schwitzte der Mond im ganzem Jahr
Und er kam manchmal wie eine Bauern-Sichel

Zug: 10. August 2014
0o0

Zug

Vielmal hab ich gesehen
Viele Züge waren leer
Entweder keine Passagiere
oder zu viele Züge

Oh mein Land in Fernost
Wenig Züge, aber viel zu viele Menschen
Jeden Tag sassen die Passagiere auf dem Dach des Zuges
Der Gouverneur und Präsident wussten, aber nur Kopfschütteln

Vielmal hab ich gesehen
Ein Passagier sass hier allein
Er verhinderte, dass andere Leute näher sitzen
Das war total das Gegenteil von einem Land

Die Passagiere sitzen nebeneinander
Sie reden gern mit anderen Menschen
Sie sind nicht einsam
Aber sie sind zu müde um zu plaudern

Zug: 17. August 2014.

Saya agak kaget, Anita menemukan dua puisi saya yang digantung di benang serta membacanya. Saya sendiri merasa tak menggantungkan, mungkin teman lain yang membantu. Itu di luar dugaan saya. Seperti biasa usai baca ada tepukan tangan. Max menanyakan, apakah saya menulis puisi? Max mungkin agak lupa, ia tahu kalau saya juga menulis beberapa puisi bahasa Jerman.

Maria, teman asal Surabaya datang dari arah pelabuhan dan disusul suaminya.
Max saat akan baca lagi, dari arah kiri dua orang tua datang. Seorang ibu duduk di kursi roda bernama Nelly, didorong suaminya. Ia bekas tetangga saya di apartemen dan sering datang kalau ada acara puisi. Memang saya yang menelepon suaminya, saat itu suaminya mengaku tidak bisa datang. Entah, mungkin setelah istrinya diberitahu ada 2 penyair maka berubah pikiran, jadi datang.

Beberapa menit kemudian istriku, Claudia datang dengan sepedanya. Ia pulang dari kerja dan sengaja menengok kegiatan saya. Claudia lekas bercengkerama dengan ibu di kursi roda dan suaminya, karena sudah saling kenal sebelumnya.

“Max, ini Nelly, penggemarmu,“ kata saya kepada Max.
Max langsung menyalami ibu di kursi roda itu. Max melanjutkan baca puisi dari bukunya. Cara bacanya seperti penyair Swiss lain, datar dan tenang. Jika dibanding dengan Pak Zawawi Imron. Pak Zawawi lebih menghayati. Max dalam puisinya sering memakai akrobatik bahasa. Ia suka bermain dengan bunyi-bunyian.

Suasana sedikit lengang, masing-masing berbicara dengan orang di sebelahnya. Saya berikan nasi kuning dan bakwan goreng dengan saus asam manis ke Nelly di kursi roda, kemudian saya beri juga suaminya dengan memakai piring yang sama.

Pada gantungan benang, saya menemukan puisi dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Italia. Puisi berjudul Luna e Gatto Bianco (Bulan dan Kucing Putih) karangan Wayan Sunarta itu aku tawarkan ke seorang ibu. Ibu Swiss itu pintar bahasa Italia. Maka ia sepakat membaca versi terjemahan Italianya dan saya akan baca bahasa Indonesia.

Luna e Gatoo Bianco
*Wayan Sunarta

io vedo la luna
nel cavo dell`occhio
di un gatto bianco,
io nato nel sesto mese
dai cicli della luna.

guardami, ballo felice
insieme al dolore, insieme alla luna
insieme al moi gatto bianco,

negli occhi spenti, povero,
io ravvivo la luna,
che la luna sempre sia
nell`occhio di un gatto bianco,
non mangio senza la luna,
che io sia solo e affamato, insieme alla luna.

se muoio
il moi spirito ballerà con la luna
lontano dai fuochi dell`inferno
perché la luna sta nell`occhio
di un gatto bianco.
*Gioia Risatti

0o0

Bulan dan Kucing Hitam
*Wayan Sunarta

Kulihat bulan
Di liang mata
Kucing putih
Aku lahir pada bulan keenam
Dari perjalanan bulan

Lihat, riang aku menari
Bersama duka bersama bulan
Bersama kucing putihku

Pada mata kuyu jelata
Aku hangatkan bulan
Biar bulan tetap ada
Pada mata kucing putih
Aku tak makan tanpa bulan
Biar aku kelaparan bersama bulan

Jika aku mati
Bersama bulan ruhku menari
Jauh dari neraka api
Sebab bulan ada pada mata
Kucing putih

0o0

Ibu itu sambil duduk membaca puisi. Selang beberapa saat memanen tepuk tangan. Giliran saya membaca versi aslinya sambil berdiri. Saya berdeklamasi, dan hadirin tampak hening. Usai membacakan puisi itu, saya bilang Anita, kalau seorang murid sekolah di Indonesia disuruh gurunya membaca puisi, pasti ia akan membaca seperti saya itu. Anita menyesali dengan bilang, “Sayang sekali, cara itu di Swiss sini sudah hilang.“

Medina, gadis asal Uzbekistan datang dan tak begitu lama ia sudah siap melafalkan puisi bahasa Rusia di luar kepala.

Hampir dua jam, tampak kedua penyair itu sibuk menuliskan sesuatu di buku barunya dan baik Max maupun Anita memberikan buku mereka ke saya. Tapi tak hanya saya, teman lain tampak juga dikasih buku.

Coretan Max di bukunya berjudul De Wind hed gcheert untuk saya sebagai berikut,
Untuk Sigit
Saya berterima kasih atas idemu yang bagus itu. Puisi-puisimu di Alpenquai.
Max Huwyler, Zug : 5 Juli 2018.
Adapun coretan dari Anita dari bukunya berjudul Mängisch sind Wörter wie Flügel untuk saya sebagai berikut,
Untuk Sigit
Saya harapkan menikmati banyak puisi yang bagus.
Salam
Anita, 5.7.2018.

Anita Schorno

Saya gembira mendapatkan dua buku baru dari penyair tua yang tentu banyak pengalaman. Saya mengamati gerak-gerik mereka seolah menyatu dengan kata. Ia telah menaklukkan ego sendiri dan memenangkan niat berpuisi. Kafka memberi kategori penyair adalah anggota masyarakat yang kalah.

Maria saya dorong membaca puisi bahasa Indonesia dan dia perlu waktu membaca dalam hati, baru dia beritahu lagi. Kemudian ia mengaku siap baca dan tentu saja gitar Krisna mulai dipetik dan harmonika saya melantun.
Puisi itu berjudul,

Anak yang Pergi
*Nermi Silaban

Aku ditinggalkan rumahmu
sebuah pelukan yang tua.

Air mata yang meluap, sebab kata
dari mulutku, membuatmu berpaling.
Aku menjauh ke kota itu
sederet gerbong dibayangi matahari.

Aku duduk
napas waktu mengembuskan peluit.
Langkahku pelan di lantai peron
mataku sebentar memohon pulang
udara lembap yang lengket.

Aku seret tubuhku masuk
roda-roda melepas keraguanku
Aku hanya bisa memendam
sekantung baju iniulah mimpiku
0o0

Medina membaca puisi karya Eric Fried, penyair Austria.
Max dan Anita serta Martin berkemas dan meninggalkan kerumunan. Saya dan beberapa teman masih bertahan sambil sekali-kali melihat ke atas, apakah langit masih bersahabat.
Menjelang pukul delapan, Lisa memberi peringatan, supaya saya memandang langit dengan teliti dan dia sarankan segera berkemas. Sayang kalau hujan tiba mendadak dan semua potongan kertas puisi akan basah. Saran Lisa diamini Claudia. Namun di saat hendak berkemas-kemas itu, ada seorang ibu sudah memegang kertas puisi karangan Dostojewski. Ia minta izin untuk membawa pulang puisi tersebut dan tentu aku perbolehkan.

Puisi karya Dostojewski itu pendek saja,

Liebe
Fjodor Dostojewsi.

Entscheide dich stets für die Liebe !
Wenn du dich ein für alle Mal
dazu entschlossen hast.
Wirst du die ganze Welt bezwingen.
0o0

Mumpung masih banyak teman di situ, maka lekas saya menggulung benang yang melingkar di bawah pohon. Sementara teman-teman ikut membantu mencabut potongan kertas puisi. Tak sampai setengah jam, semua berarak menuju gudang bangunan sebelah tempat menaruh barang-barang.

Saya pulang bersama Claudia, biasanya ia hanya mampir sebentar. Katanya dia melihat saya kasihan akan hujan. Maka kami pulang berdua dan langit mendung. Ketika sepeda berjalan beberapa meter, hujan turun. Segera jaket hujan kami pakai,

Sesampai di rumah saya puas, setidaknya di tengah hujan dan sebelum acara ada lubang kering tanpa setetes hujan. Sungguh sebuah suasana magis. Setidaknya saya tak mengecewakan dua penyair lokal dan hadirin termasuk wartawan. Dua penyair Swiss bisa membacakan karya mereka, walau dihimpit hujan.

Sabtu, 7 Juli 2018 saya mendapat kabar dari Lisa, bahwa koran Zuger Zeitung hari itu memuat acara kami. Saya lihat ada foto besar, Max duduk membaca puisi di sebelah Krisna dan saya, sementara Anita dan suaminya duduk tampak punggungnya. Mengingat pada berita di koran itu disebut, gagasan awal dipungut dari Wina, maka potongan berita koran itu saya kirim ke penyair Helmut yang biasa menempelkan puisi di bangunan yang sedang direnovasi di Wina. Ini upaya kecil untuk meneguhkan dirinya, yang sudah 30 tahun lakukan dan dikenai pasal vandalisme oleh pengadilan Wina, karena aksinya dianggap mengotori kota.

Terima kasih kepada Krisna dan Maria, dua teman perantau Indonesia yang turut serta. Semoga Kamis ini, 12 Juni 2018 acara serupa makin seru. Satu yang menggembirakan, ramalan cuaca Kamis ini matahari akan menabur cahaya kuningnya.
0o0




Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.