Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Soempah WTS F. Rahardi dan Dongeng dari Awan Rilke

Soempah WTS F. Rahardi dan Dongeng dari Awan Rilke



Zug: Kamis, 12 Juli 2018.

Suatu hari Mas F. Rahardi memberi beberapa buku puisi tipis. Salah satu buku itu berjudul Soempah WTS. Semua buku pemberian Mas Rahardi itu selalu aku taruh di rumput bersama puluhan buku puisi lain, setiap acara tahunan Jemuran Poesie di pinggir danau Zug, Swiss.

Kali ini Mbak Maria asal Surabaya hendak membaca puisi itu, mungkin terpikat dengan judul bukunya, Soempah WTS. Musik berkumandang dan suara Mbak Maria menyusup di antara serbuan angin danau.

Soempah WTS
*F. Rahardi

Satu: kami bangsa tempe, bersurga satu, surga dunia.
Dua: kami bangsa tahu, bergincu batu, berbantal pantat
Tiga: kami bangsa tokek, bertarget satu, menggaet tuhan jadi langganan.

1983

0o0

Siang menuju senja. Kursi-kursi terisi pantat penat yang kepalanya dahaga mencari nyanyian alam. Pemuda tinggi berlari gelinding dengan dibalut sepatu beroda mengayun ke sana, kemari, masuk arena.
Meja mungil dengan kursi menyunggi Alex, nama yang ia ulurkan. Sekali-kali ia menarawang awan dan banyak kali ia tergeletak bersama rumput ringkih yang setiap saat tiarap. Istirahat, katanya pendek. Bangkit lagi, goresan puisi merangkak tegak, setegak tiang lampu di seberang kiri. Alex berdiri dengan kertas berisi puisi buatannya sendiri.

Rollerskates und Bier
*Alex

Die freuen mir,
Freude und see
Irgendwann vergessen gehen.
Was bleibt ewigkeit

Solidarität mehr gibt es nicht
Jede Stimme ein Lied(1)
Das hier für Dich schrieb
Ich bin wir
Desshalb bleib ich hier
(1)Die für sich spricht

0o0

Alex keluar arena berayun di atas roda dan kembali lagi hendak membaca buku warna oranye yang ia pegang dan halamannya dibuka berkali-kali. “Ingin baca puisi lagi?“ tanyaku. Ia berdiri, menunjuk judul puisi PERAJIN RINDU.

Sontak senja bergelimpang tawa. Ia yang tak paham bahasa Indonesia, karena warga Swiss membaca puisi bahasa Indonesia karya Djoko Saryono dari Malang.

PERAJIN RINDU

Kau tahu, kata perempuan itu, ternyata dia seorang lelaki perajin rindu. Temu demi temu dia taburi gerimis kata-kata memesona yang menjelma hamparan sajak-sajak asmara. Ruang demi ruang pun dia penuhi gatra-gatra begitu menyentakkan dada yang kemudian menjelma dunia cinta. Maka para perempuan suka karena serasa berada di taman cinta yang selalu wangi kenanga. Lambat laun mereka menjadi perindu yang senantiasi menunggu: lelaki datang dengan kata-kata dan gatra-gatra yang menggelorakan asmara dan mengekalkan cinta. Tapi, kata perempuan itu, tunggu tinggal tunggu, lantaran lelaki seperti angin tak sudi disarangkan di dalam kalbu: dia hanya kabar semu! Maka perempuan-perempuan pilu menanti di taman perindu: sang perajin rindu lindap tanpa ada yang tahu. Mungkin, kata perempuan itu, lelaki sang perajin rindu bingung terkepung banyak perempuan yang semua menanti rindu: juga menagih pilihan yang satu.

0o0

Ia terkapar di rerumputan lagi. Begitulah kadang kami kedatangan orang yang lewat tanpa syarat, siapa pun bisa datang dan pergi.

Anita Schorno, penyair Swiss datang lagi dengan suaminya, Martin. Ia membaca karyanya sendiri beberapa kali. Suaranya lirih, musik menyesuaikan mengalun sangat pelan.
Dari pinggir danau, seorang ibu muda cantik memangku bocah lelaki, sementara ia sendiri duduk di kursi roda. Wajahnya riang berkaca mata. Seorang lelaki juga muda mendorong kursi roda itu. Mereka tersandung puisi di benang yang melambai. Si lelaki asyik membaca puisi satu ke yang lain.


Ia memungut satu puisi karya Anita dan diberikan ibu muda di kursi roda, katanya puisi itu cocok untuknya. Menyaksikan pemandangan seperti itu, buru-buru aku melompat memberitahu Anita. Ia kuminta kasih tanda tangan di balik potongan kertas puisi.
Selang beberapa saat ia tak hanya mendatangi ibu pemakai kursi roda, tapi juga memberi tanda tangan sekaligus membacakan dengan suara pelan, khusus bagi pemetik puisi.
Ini puisi itu dalam bahasa Jerman dialeks Swiss alias Schweizedutsch,

Bitte blyb

*Anita Schorno

Wenn Sturmwind
a mys Feischter chlopft,
wenn Weemuet
vo de Dächer tropft,
blyb hie.

Wenns Glück
mich fescht i d Aarme nyd,
my Seel uf rosa Wulche lyd,
blyb glych.

I helle
und I fyschtere Stund,
was seli ooni dich?

0o0


Senja bercampur angin manja. Enam kaki bertepuk saling mendahului. Mendengar celotehan mereka bahasanya Dante, maka aku langsung mencabut puisi karya Wayan Sunarta yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Italia berjudul Luna e Gatto Bianco (Bulan dan Kucing Putih)

Pemuda Italia itu aku ajak masuk di depan para pemain musik dan ia baca puisi itu dengan lancar. Sementara dua temannya duduk di bangku menyimak dengan tekun. Usai baca puisinya, aku coba baca versi aslinya bahasa Indonesia. Pemuda Italia itu aku ajak ke meja dan kukasih bakwan goreng. Ia coba makan dan suka, sambil ngeluyur menuju 2 temannya yang sudah duduk, seolah dia dapat bonus.

Buku puisi karya Syarkawi Manap, eksil lulusan Kuba yang bermukim di Swedia, judul Kisah Cinta, dibaca oleh Usep dengan lantang. Musik mengayun lembut membasahi butiran kata. Berselang beberapa saat Maria tampil dengan memegang alat musik di tangan kiri dan tangan kanan membaca puisi Diaspora Laba-Laba karya Pak Guru di Sukabumi (Earth Love) bernama Ujianto Sadewa. Seorang penyair beraliran gelap.

Berapa lagu mengudara dan membius pejalan yang dahaga. Musik mencari jejak bersetubuh dengan angin.

Aku berdiri menyambar buku Hikayat Sebatang Pensil karya anak-anak kampung Pagelaran., Cianjur Selatan. Raka mencipta puisi berjudul Desaku:

Desaku
*Raka

sinar mentari yang memberi
kehangatan pagi di sebuah desa

disaksikan orang-orang
gugusan kabut berwarna cerah

matahari bersinar
Pagi itu orang-orang desa
berangkat ke sungai mengambil air
Untuk minum dan mandi

0o0

Ada lelaki melankolis yang selalu hadir pada acara ini sejak beberapa tahun sebelumnya. Beat Wild, namanya, warga setempat. Meskipun ia sering datang, tapi dia lebih sering pasif, menikmati orang lain baca puisi. Baru kali ini ia memilih buku Rilke berjudul Mit Rilke durch das alte Prag (Dengan Rilke membelah kota tua Praha). Pada judul Das Märchen von der Wolke (Dongeng dari Awan).

Das Märchen von der Wolke
*Rilke

Der Tag ging aus mit mildem Tone,
so wie ein Hammerschlag verklang.
Wie eine gelbe Goldmelone
lag gross der Mond im Kraut am Hang.

Ein Wölkchen wollte davon naschen,
und es gelang ihm, ein paar Zoll
des hellen Rundes zu erhaschen,
rasch kaut es sich die Bäckchen voll.

Es hielt sich lange auf der Flucht auf
und sog sich ganz mit Lichte an;-
da hob die Nacht die goldne Frucht auf:
Schwarz ward die Wolke und zerrann.

0o0

Sore memayung begitu rendah. Beberapa puisi telah dipungut para pejalan. Benang putih masih menggantung berlapis dua atas bawah keliling taman.

Sebelum acara ini dimulai, dua polisi berseragam biru menghampiriku, di saat aku mengikat benang di pohon. Dengan sopan ia menyalami dulu, selamat sore dan dia tanya surat izinnya. Aku tenang saja karena selain aku sudah mengantongi surat izin dari polsek setempat, juga didatangi polisi bukan yang pertama, ini ketiga kalinya selama 8 tahun.

Dari ransel merahku aku keluarkan amplop, pertama aku ulurkan ke polisi sebelah kanan berupa kopian koran minggu lalu, bahwa kegiatan ini dimuat koran setempat. Aku susulkan surat izin untuk polisi sebelah kiri. Akhirnya polisi yang baca surat izin itu menoleh ke jam tangannya, masih jam 17.01, tepat bahwa waktu itulah secara resmi acara dimulai.

Polisi berkulit putih itu tak kusangka bilang, Rama, Romeo Yuliet? Aku tertegun dia tahu nama Rama sambil menunjuk deretan wayang kulit yang aku tancapkan di tengah rerumputan. Ternyata polisi itu mengaku pernah menonton wayang kulit di Jakarta.
“Semoga acaranya nikmat,“ kata polisi yang pernah ke Jakarta itu.

Para musikus dari dua kota hadir ikut meramaikan. Usep dan Niti dari St Gallen dan Elviera dari Winterthur. Meita asal Manado datang menaruh bakmi goreng, Atik asal Babel membawa dawet, Maria membawa makanan khas Malaysia.

Setelah pukul 21.00 semua potongan kertas puisi dan peralatan dikembalikan ke gudang, gedung sebelah. Kini giliran makan sekenyangnya. Seperti pesta kecil makanan Indonesia bercecer di atas bangku kayu. Bakwan gorengku dan nasi kuning buatanku ikut menyodok perut-perut.

Sepedaku melaju pelan mengangkut peralatan makan dan satu tas besar berisi ratusan puisi. Terima kasih kepada semua teman yang menyokong acara ini. (Sigit Susanto)




Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.