Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi Pahala Keseharian - Sofyan RH. Zaid

Puisi Pahala Keseharian - Sofyan RH. Zaid


Puisi Pahala Keseharian
oleh Sofyan RH. Zaid

Sofyan RH. Zaid

“Bagi para penyair, benda-benda dan fenomena alam itu adalah berkah yang takkan pernah habis untuk dimanfaatkan bagi sajak-sajak, ribuan sajak, jutaan sajak,  yang hendak mereka tulis.”
Ahmadun Yosi Herfanda

I/
Ilham sering menjadi kambing hitam dalam dunia kepenulisan sastra, khususnya puisi. Penyair yang tidak produktif menulis puisi, umumnya berujar “belum ada ilham,” entah itu alasan yang jujur atau hanya apologi semata. Apa itu ilham? Charles Baudelaire dalam Sajak-Sajak Modern Perancis dalam Dua Bahasa (1975) terjemahan Wing Kardjo mengartikan ilham sebagai pahala dari usaha keseharian, bukan sesuatu yang mendadak jatuh dari langit. Dalam sejumlah agama, manusia memperoleh ilham melalui dua cara, yakni (1) datang sendiri secara sukarela dan (2) memohon pada Tuhan melalui doa, tapa, dan lainnya.

Pandangan Baudelaire di atas masuk pada cara yang kedua sebagai pengertian paling logis dalam konteks penulisan puisi. Selain itu, secara lughawi, ilham berarti “menelan” dari kata alhama - yulhimu ilhaman. Semacam menelan buah (phala) dari usaha keseharian. Lantas apa hubungan ilham dengan Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan? Buku Sajak Sajak Sunyi ini merupakan kumpulan “pahala dari usaha keseharian” Budhi yang kebanyakan sunyi dalam wujud puisi.

Dalam mukadimah bukunya Budhi sendiri mengakui jika Sajak Sajak Sunyi dibuat “bukan merupakan hal yang khusus, apalagi sakral. Akan tetapi dapat dikatakan ada usaha serius dari penulis dan pihak yang terkait untuk belajar memberikan apresiasi terhadap apa-apa yang telah dilakukan dalam mengisi perjalanan waktu...Buku ini memuat puisi yang saya anggap satu tema atau berdekatan, sehingga diharapkan tidak meloncat jauh ragam penerimaan tafsir dan memudahkan untuk menyusun arus kenyamanan dalam membacanya.... Banyak puisi yang berasal dari keseharian saja...”.

II/
Kata “sunyi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki empat pengertian. Namun arti yang paling menarik terdapat pada pengertian keempat, yaitu sunyi berarti “bebas (lepas, lekang, terhindar)”, misalnya: “tiada manusia yang -sunyi- dari kesalahan. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kata sunyi memang sudah puitis sejak dalam kandungan kamus. Bagaimana sunyi dalam buku Sajak Sajak Sunyi? Ada 32 “sunyi” sebagai kata di luar judul serta keterangan lainnya, dan terdapat 3 jenis sunyi sebagai konsep:

1.       Sunyi sebagai sunyi sebagaimana Soekoso DM dalam “Mendedah Buku Puisi ‘Sajak Sajak Sunyi’ Karya Budhi Setyawan” yang menyebutkan: “Buset telah mencoba mengangkrabi sunyi sedemikian rupa khusuknya, hingga kontemplasinya tentang sunyi membuahkan puisi-puisi ‘sunyi’  yang beragam bentuk tuangannya, namun dengan tema sentral yang nyaris sama, ialah sunyi atau kesunyian. Penjelajahan benaknya terhadap makna ‘sunyi’ memunculkan kegelisahan panjang, pengembaraan batin penuh dengan pertanyaan klasik: ‘dari mana datangnya  kehidupan dan bakal ke mana perginya?’”.

2.      Sunyi sebagai suara” sebagaimana yang dirasakan Dedy Tri Riyadi dalam “Petualangan ke Sebalik Ritual: Resensi Buku Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan” bahwa: “Sunyi dalam Sajak-Sajak Sunyi justru sunyi yang begitu gemuruh. Sunyi yang menggerakkan kita masuk dan menemu ceruk, ruang, dan tempat yang bisa memberi nikmat. Sunyi yang membawa pada petualangan yang tidak perlu jauh-jauh dari sekitar kita. Sunyi yang menghadirkan diri kita sendiri, pada akhirnya.”

3.      Sunyi sebagai perasaan keagamaan” yang memuat kedekatan, kenikmatan, dan kekhusyukan sebagaimana Khudori Husnan dalam “Sajak-Sajak Sunyi Budhi Setyawan Ingin “Beriman” dengan Bersahaja” menulis: “...pada 1978  silam S. Takdir Alisjahbana  (STA) menerangkan tentang adanya dua jenis “puisi yang menjelmakan perasaan keagamaan. Pertama,  perasaan seseorang yang berhubungan dengan agama yang dipeluknya dan kedua perasaan yang terdapat dalam kalbu tiap-tiap manusia, meskipun ia tiada memeluk sesuatu agama yang tertentu sekalipun yaitu yang berhubungan dengan das Heilige, Kekudusan, yang suci dan sakti, het gansch andere, yang lain sekali. Puisi agama jenis pertama seorang penyair  berangkat dari keyakinan  teguh pada agama yang dipeluknya. Puisi-puisi yang terucap adalah bentuk lain dari  “puja-puji” kepada Tuhan...Sebaliknya, puisi agama jenis kedua, penyair bertolak dari sebuah laku penghayatan nilai-nilai keagamaan tertentu tanpa mengumbar istilah-istilah keagamaan dalam puisi-puisinya...”. Khudori secara tersurat memasukkan puisi-puisi Budhi ke dalam puisi keagamaan jenis yang pertama.

III/
Budhi Setyawan merupakan ‘pribadi yang sunyi’ dalam artian tenang, pendiam, dan -katanya- juga pemalu. Budhi lahir 9 Agustus 1969 di sebuah kota kecil Purworejo, Jawa Tengah. Puisi-puisinya tersebar di sejumlah media massa dan buku puisi bersama. Kini Budhi masih bekerja sebagai pegawai negeri di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan di Jakarta. Di tengah kesibukannya tersebut, dia masih bergiat dalam Pasar Malam-Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, dan sebagai Ketua Forum Sastra Bekasi (FSB). Buku puisi tunggalnya yang telah terbit: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007), dan Sajak Sajak Sunyi (2017).

Puisi-puisi Budhi dalam sejumlah buku bersama dan tunggalnya senantiasa memiliki ‘kedalaman batin’ yang terus menguat dari waktu ke waktu. Barangkali karena ‘kedalaman batin’ inilah, sampai Umbu Landu Paranggi -yang misterius itu- menaruh perhatian khusus padanya, mulai dari menelpon hingga bersedia ditemui. Pada buku Sajak Sajak Sunyi, ‘kedalaman batin’ tersebut salah satunya bisa kita selami pada puisi:

Aku Belum Mengenalmu

aku belum mengenalmu, ketika subuh meluruh pelan
dari kuncup waktu. embun masih bertengger di  dedaun
mimpi. sisa kesunyian masih tersangkut di dahan
dingin. lalu pagi mulai mengangsur rabaannya ke
lingkar penjuru, berulang menyusupkan partikel  partikel
yang mencetuskan awal tarian yang menderu.

aku belum banyak mengenalmu, tatkala siang 
mengangkut hari ke puncak terik. telah terlewati 
beberapa alinea penempuhan, namun masih saja 
belum kuasa untuk menceritakan, segala kesan dan 
makna yang mekar di jalan. entah mesti berapa kali 
mengeja agar dapat terhisap segala yang suar dan 
mengirimkan debar.

aku belum sepenuhnya mengenalmu, saat  lautan 
seperti kian meluas, mewadahi ombak yang terus 
melafalkan zikir pengagungan. pun senja kian masak, 
dengan matahari yang lindap ke ceruk persembunyian. 
ada semacam sutra bisikan untuk kembali mencipta 
repetisi penelusuran, lebih hening dan dalam, sebelum 
yang terang benar benar tenggelam.

Jakarta, 2014 

Budhi juga dikenal sebagai penyair yang tekun dalam berkarya dan rajin mengirimkan karya ke media, dan buku bersama sebagai bentuk ‘silaturrahmi kreatif’. Budhi seperti tidak pernah kehabisan ilham dan energi untuk berkarya dengan tema apapun. Apa yang dikatakan Latief S. Nugraha dalam “Sunyi itu Bernama Ruang dan Waktu” menjadi benar: “...bahwa Budhi Setyawan benar-benar seorang penyair yang mampu mendayagunakan setiap momen puitis menjadi puisi... Budhi Setyawan mempunyai ketahanan yang luar biasa.... Saya kira ini hanya sebagian kecil dari puisi-puisi yang ditulisnya.... Tentu masih ada puisi-puisi yang barangkali berada di luar tema kesunyian dalam antologi ini... [Namun] hal yang perlu disadari bersama, puisi adalah pokok, inti sari dari semesta pengetahuan di dunia ini. Oleh karenanya, hendaklah puisi itu mengongkretkan sesuatu hal yang abstrak, bukan malah mengabstrakkan hal-hal yang sudah konkret.”

            IV/
Apakah buku Sajak Sajak Sunyi ini tanpa cacat? Tidak ada yang sempurna di bawah matahari. Catatan Novi Indrastuti dalam Sajak-Sajak Sunyi Karya Budhi Setyawan: Puisi Kontemplatif yang Merambati Nadi Rasa” layak diperhatikan: Tema yang dicanangkan akan lebih baik apabila tidak  terlalu sempit. Tema yang terlalu sempit bisa menyebabkan  terjadinya pengulangan-pengulangan topik yang disampaikan dengan kata-kata, cara, dan gaya yang berbeda, tetapi pada intinya pesan yang disampaikan hampir sama.  Hal tersebut bisa menimbulkan kebosanan atau kejenuhan dalam diri pembaca karena topik-topik yang disajikan hanya berputar-putar serupa pengulangan.  Kemungkinan akan lebih baik apabila tema diperluas atau tema besar yang terefleksi dalam judul di-breakdown atau diperinci lagi ke dalam beberapa bab.  Masing-masing bab dengan topik yang berbeda meski masih berkaitan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya antisipatif terhadap terjadinya pengulangan. Dua bab yang disajikan dalam antologi puisi ini, yakni “Ruang Sunyi” dan “Waktu Sunyi” batas pembedanya sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya ketumpangtindihan.”

Lepas dari apapun tentang buku ini, menarik apa yang disampaikan Dimas Arika Mihardja dalam “Di Atas Kata Budhi Setyawan”  bahwa “Puisi-puisi Budhi Setyawan (Buset) dalam buku ini menyediakan nutrisi yang berarti bagi santapan ruhani. Kini sunyi merupakan sesuatu yang mahal, sebab lingkungan telah menjadi bising, riuh, semrawut seperti lalu lintas yang sulit diatur. Kita memerlukan ruang sunyi dan waktu sunyi untuk dengan khusuk membaca puisi sebagai santapan ruhani.”

Dalam sejumlah kesempatan, Budhi selalu berbisik: “puisi-puisi terbaik saya masih akan ditulis...”. Sebagai penutup, berikut salah satu puisinya yang paling mewakili kesunyian buku Sajak Sajak Sunyi  ini:

Buah Sunyi

teruslah berjalan, masuk ke gua
telinga sampai masa di pucuk malam
sampai segala bunyi lenyap
dan yang tinggal hanya senyap

tatap aku dalam pejam matamu
lalu petiklah aku
petiklah
yang terlekap 
di ceruk napasmu

kupas, kupaslah aku
sampai habis hijabku
sampai purna telanjangku
hingga di kedalamannya yang pasi
akan kautemui dirimu
sendiri
piatu, termangu

 Bekasi, 2014

Membaca puisi-puisi Budhi dalam buku ini, kita layak bertanya: Apa hubungan antara ilham dengan sunyi? Di tengah hidup yang semakin bising dan asing, sunyi -dalam segala pengertiannya- bisa menjadi jalan penyair mendapatkan ilham untuk menulis puisi, atau hidup yang lebih puitis. Karena penyair merupakan makhluk yang hidup di dua alam: puisi dan dunia keseharian. Seorang penyair bisa saja telah mati, tapi ia akan tetap hidup di dalam puisi-puisinya.

Bekasi, 25 November 2017

(Esai ini disampaikan pada acara Diskusi Buku Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan di Roti Bakar 88, Tangerang, 26 November 2017

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.