Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sepantasnya Mati Saja Rasaku - Qoiro Basyir

Sepantasnya Mati Saja Rasaku - Qoiro Basyir

Sepantasnya Mati Saja Rasaku
oleh Qoiro Basyir

KAWACA.COM | Hari yang melelahkan. Aku menatap nanar tangga asrama mahasiswa di depanku. Tidak ada lift di sini. Menyesal tadi tak membeli balon gas –di sepanjang jalan gedung pertemuan kampusku-- sebanyak-banyaknya untuk mengangkat tubuhku sampai ke lantai tiga asrama.

Argh, gontai aku menaikinya, tak kuasa mengulum senyum walau sebelah. Hari yang berat, pikiranku, juga batinku, gundah. Teman-teman seangkatanku telah mendapat gelar sarjananya hari ini, termasuk dia, gadis yang terang masih mencintaiku hingga kini. Untuk awalnya, entahlah, intinya waktu itu kita masih ABK (anak bau kencur). Dan, akulah dalangnya.

Saat itu kita baru akan duduk di bangku kelas VIII SMP, dia menyodorkan sepucuk surat untukku dari sepupunya yang tidak satu sekolah dengan kita –surat cinta. Kubilang: baiklah aku akan menemuinya. Entah apa yang membuatku berkata demikian.
Sore hari itu juga, aku menemuinya di halaman belakang rumahnya. Hal aneh tiba-tiba menjangkiti akal sehatku. Aku menolak pernyataan cinta sepupunya –menunduk, lalu lari meninggalkan kita berdua. Dia menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Lalu luluh seketika setelah kubilang: mari berpacaran, aku menyukaimu. Terserah kalian menilaiku bagaimana. Hari itu benar-benar aneh, dan kita masihlah anak-anak. Ini tidak sesuai niat awal. Tapi aku senang, dia menerimaku.

Gadis itu, kusebut saja si cantik -begitulah arti namanya-, tetaplah cantik, tapi kini aku sudah memiliki kekasih yang tak boleh kusakiti –fisik, maupun batinnya-. Ya, aku memutuskan hubunganku dengan si cantik setelah kita masuk jenjang sekolah selanjutnya dan kita beda sekolah. Karena aku memulainya dengan keanehan, maka aku putuskan juga dengan keanehan pula. Kubilang: putus ya. Setelah itu aku memutuskan seluruh kontak dengannya. Aku jahat, terimakasih telah memujiku.

Langsung kuhempaskan tubuhku di kasur setelah sampai di kamar. Lengang. Hanya ada aku di sini. Kedua sahabatku sudah pulang kampung setelah diwisuda, meninggalkanku yang sengaja menunda kelulusan demi tugas yang belum usai –seorang presiden mahasiswa. Tidak keren, aku hanya merasa berutang budi pada kampus ini, tidak siap meninggalkannya, juga kekasihku yang selalu butuh bantuanku, termasuk mengikatkan tali sepatunya.

Pikiranku melanglang buana. Kekasihku menghubungiku berkali-kali; via whatsapp, messenger, BBM, imo, hingga telepon seluler. Begitulah kebiasaannya. Awal-awal aku menganggapnya lucu saja, sekarang ia hanya membuatku geram. Kubiarkan ia, Paling-paling ia hanya akan bercerita tentang salah satu bonekanya yang bertatapan beda dari biasanya. Jika geleng-geleng kepala dapat membuat kepala putus, mungkin kepalaku sudah tak di sini. Aku masih ingin terus memusatkan pikiranku pada satu titik, si cantik, kekasihku beberapa tahun lalu.

Empat tahun lalu kita dipertemukan lagi di kampus ini. Si cantik tidak pernah menggelandangkan perasaannya untukku, ternyata, malah ia merawatnya seperti anak sendiri. Ups, iklan. Aku terkejut sekali, iapun. Aku memilih tak banyak menghiraukannya untuk hal-hal yang kurang urgen. Bahkan, aku tidak meng-save nomor teleponnya, juga media sosial lainnya. Aku takut. Aku tidak suka rasa bersalah dan penyesalan.

Aku membiarkan ia mencari tahu sendiri tentang diriku saat ini, juga kekasihku. Beruntung, ia bukan perempuan agresif yang akan terang-terangan menyukaiku di depan banyak orang, dan menjambak rambut kekasihku. Aku tahu dia, bahkan ia lebih bersahaja dan mengertiku dari kekasihku, juga tidak suka merepotkan, termasuk untuk membuatku repot dengan tumpukan perasaannya. Satu lagi, dia tidak berkekasih demi perasaannya untukku.

Tadi setelah pengesahan wisudawan-wisudawati, aku sempat berfoto dengannya, juga keluarganya –meski aku sedang sibuk. Aku sengaja mendekat, aku dikenal keluarganya sebagai teman SMP si cantik. Kusalami bapaknya, entah mengapa terasa damai bila demikian. Dan senyumnya....

Dia perempuan yang perfeksionis, mandiri, dan sederhana. 180° dari kekasihku. Argh, kubiarkan pikiranku berkelana sendiri. Sibuk membanding-bandingkan keduanya. Tidak lelah, tidak jera.

Waktu telah mematuk pukul lima sore, waktunya mandi. Tanpa terasa tiga jam waktuku habis di fokus itu; si cantik. Malas sekali aku membangkitkan diri dari pembaringanku. Belum habis berpikir. Dengan lesu, aku beranjak menuju kamar mandi. Lupa menyampirkan handuk. Sudahlah. Hm, seperti tak terkontrol, hatiku dengan sendirinya berniat mandi sebelum shalat jenazah saat basuhan pertama sampai pada tubuhku. Yah, kubiarkan saja.

Belum selesai mandi, kudengar ponselku berdering lagi. Kusangka itu kekasihku. Kulanjutkan mandi.
Selesai mandi, kutatap ponsel yang terus berdering. Ternyata bukan kekasihku. Firman, tetangga satu gangnya. Kuangkat telepon darinya, berusaha meramah-ramahkan suara. Sesungguhnya malas.
“Kemana saja? Pacarmu kecelakaan dalam perjalanan menuju rumahmu,” katanya membentak.
“Aku baru mandi. Naik apa dia?” kataku santai.
“Dia naik motor sendiri,” jawabnya semakin galak.
“Oh,”
“Ya Tuhan... Kau tak cemas? Oke langsung kubilang, dia meninggal, Ga,”
Kuputus sambungan telepon sepihak. Memakai baju seadanya, mengambil topi, bergegas keluar dari gedung asrama, berniat langsung menemui kekasihku, mengendarai motor dengan tatapan kosong. Aku tidak tahu apa yang kurasakan, yang jelas aku tidak sedih-sedih amat. 
Jalanan macet, membuatku semakin lunglai. Penyanyi-penyanyi jalanan seperti mengejekku. Kualihkan pandangan mataku dari mereka, menunduk. Seketika aku lupa tujuan awalku. 

Setelah berhasil melewati kemacetan, aku membelok laju motorku ke arah rumah si cantik. Lebih tepatnya rumah kosnya. Aku yakin si cantik tidak langsung pulang kampung. Benar saja, dia masih di sana. Menatapku bingung, aku menatapnya sumringah. Setelah turun dari motor, aku minta izin pemilik kos untuk menemuinya. Kubilang: mari menikah. Dia menjawab ajakanku sama dengan jawabannya saat aku memintanya jadi pacarku. Dia bertanya bagaimana tugas-tugasku, kujawab: tetaplah bersamaku. 

Tentang Penulis
Qoiro Basyir, nama pena dari Umdatul Khairot. Lahir di Sumenep dengan tanggal dan bulan yang sama dengan Dewi Sartika. Mahasiswa Ushuluddin INSTIKA. Aktif di Teater Al-Fatihah, Forum Literasi Santri (FRASA), Aliansi Jurnalis Muda IKSAPUTRA (AJMI), Sanggar Anak IKSAPUTRA Dalam Sastra (AIDS), kader PMII komisariat Guluk-guluk. Dapat ditemui di surel qoirobasyir@gmail.com

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.