Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Merangkum Dimensi Kemanusiaan yang Terserak - Syaf Anton Wr

Merangkum Dimensi Kemanusiaan yang Terserak - Syaf Anton Wr

 Oleh: Syaf Anton Wr
Sastrawan, budayawan, tinggal di Sumenep



                
Puisi, seberapapun kentalnya bahasa yang digunakan, memiliki pengetahuan yang dipahami sebagai wacana. Dalam hal ini, puisi merupakan ekspresi puitik seorang penyair yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan.
                Kenyataannya puisi mengandung nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia sebagai pencipta puisi itu juga akan selalu berdampingan dengan nilai-nilai kemanusian. Dalam konteks ini puisi (sastra) kerap disebut dan memiliki multi dimensi. Sedang manusia (penyair) adalah mahluk yang juga memiliki kekayaan dimensi yang luar biasa.  Kekayaan manusia dalam dimensi-dimensinya menjadi kajian berbagai ilmu untuk menyelesaikan sejumlah problematika manusia yang secara eksistensial merupakan makhluk problematika atau makhluk penuh persoalan dan masalah. Sejumlah problematika manusia mengakibatkan manusia yang hidup di atas bumi ini memiliki sejarah, tampilan lahiriah (esensi), tingkatan yang menyangkut nilai kebudayaan maupun religi yang berhubungan langsung dengan Sang Khalik.
                Jadi sastra (puisi) tidak hanya memuat dimensi imajinatif penulisnya, tetapi juga memuat kasunyatan yang disentuh, dilihat, ataupun digulati dan dijalani penulis dan komunitas tertentu. Kadar kasunyatan ini bisa kasar bisa juga halus terselimuti simbol-simbol yang secara sengaja atau tidak terungkapkan. Masih ada banyak dimensi lain, misalnya, dimensi kejiwaan penulisnya atau dimensi psiko-sosialnya. Itulah di antaranya yang saya baca dalam pergerakan puisi yang ditulis Meisya Zahida
                Kekayaan dimensi dalam puisi justru merupakan kekuatannya, yakni kekuatan yang menangkap obyek sederhana, namun menjadi kekayaan yang begitu berharga. Ia mampu mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan, sebab dalam dunia kreatifitas penyair tidak bisa hidup dengan sendirinya, ia hidup dengan dunia di luarnya dalam usaha penciptaan dunia baru, meneruskan penciptaan itu, dan menyempurnakannya. Ada sebuah pernyataan yang cukup memberi kesan dalam; //"Aku akan selalu di sini, mengawali/kemuning mentari, sampai terang/menguntumi bumi"// seperti puisi dibawah ini:

KOSONG DARI NYATA

Kulihat kau di perempatan itu
sebuah arah yang berlawanan
juga remang pagi
menggambar tragedi
kita bicara dalam gumaman
"Aku akan selalu di sini, mengawali
kemuning mentari, sampai terang
menguntumi bumi"
kau bercakap pada rekah melati
ketika baru berputik dan membaui
kupu-kupu; meneteskan madu




Serasa ada yang pergi
dalam liang ingatan teramat sepi
sedang kita tak pernah bicara
kibasan angin mendesir gelisah
dan ranting-ranting meluruh; pasrah
hari telah terik, kita bertahan
untuk tak saling menyapa
hanya batin meremuk oleh luka
entah karena siapa
inilah hidup, stasiun jumpa kadang
kosong dari nyata
sekadar membangun kenang
tapi sering kekal di pikiran

Madura, 09012017

                Dimensi ketuhanan tampaknya memang cukup mendominasi dalam kumpulan puisi ini, hal ini lantaran penyairnya hidup dan berkembang dalam sebuah lingkungan, di mana harus menempatkan diri sesuai dengan posisinya, yakni sebagai hamba yang tawadhu’. Posisi inilah yang mengentalkan tautan diri sehingga puisi-puisi yang ditulisnya juga menautkan pada nilai keillahiyahan. Bila dalam puisinya menyebut kata “Tuhan” atau sinonim lainnya, tentu berorientasi  pada sebuah keyakinan yaitu nilai yang menjadi pegangan hidup dalam segala gerak-gerik kehidupan penyairnya. Tidak jarang lantunan puji-pujian dengan nama Tuhan atau berbagai macam cara disematkan untukNya yang memiliki otoritas tertinggi sebagai pemilik alam semesta ini.





TUHAN (1)

Tuhan,
Dalam seribu kata
Tak cukup aku meminta
Seluruhku, nikmat penuh rindu

Tuhan,
Aku tenggelam
Dalam biduk pencarian
Lelah yang penuh noktah
Aku melarung dosa

Tuhan,
Hujan ini begitu biasa
Luruh di kantung mata
Samudra piluku bertamasya
Langit tanpa udara
Bumi, rel-rel patah
Tiada ujung
Aku hilang, tiada dalam ada

Tuhan,
Bagaimana aku memulangkan jiwa
kepada cinta yang mencintai-Mu
Kepada rindu yang menunggu-Mu
Kepada diriku yang memanggil nama-Mu

Tuhan,
Dalam diriku
Adakah bening kasih-Mu?

Catatan, 29 Februari 2016



Bertukar sepi dengan malam
Bukuku tak lagi berisi tulisan,
Saat tak bisa eja huruf Tuhan

          (DENGAR NYANYIANKU, DIEN)



(2)
Tuhan, aku bermimpi
Sedang mengubur nyeri.

          (SEBELUM MATAHARI)


Hanya aku, kekasihku
Hunian jiwa tak pernah lupa menandai lara
Hingga pelayaran tak berbandang
Mendekap nyeri dipeluk gelombang
Menasbih namamu lewat kalam-kalam Tuhan

          (KIDUNG SUNYI)

atau dalam puisi berjudul “LORONG WAKTU”, “SURATMU (2)”, “SUATU NAMA”, “JIWA YANG FANA”,”DUKA”, “DALAM NAMAMU”, “TUHAN”, “PADA-MU” dan lainnya.
                Dalam hidup tak sedikit ditemukan kegetiran yang menghadirkan kegalauan yang sangat. Kegetiran itu bisa berupa kekeringan akan makna hidup yang subtil. Bisa berupa ketaksadaran pada eksistensi diri atau faktor lainnya. Hal itu, karena dalam hidup memberikan ruang yang lebar pada materi untuk menjadi apa saja.         Kita mungkin banyak mengalami itu dalam dunia yang modern saat ini. Selain itu, tidak sedikit pula kita melarikan diri dengan melupakannya dalam bentuk menyibukkan diri dalam keseharian, atau bila salah menerjemahkan nilai dalam kehidupan, maka bisa mungkin penyelesainnya dengan cara yang salah.

TUBUHMU

Adalah satu bukit yang hijau
Bertaburan biru rumputan
Ilalang dan segenap desir
Semesta selalu membawaku
Pada hamparan berburu temu
Seluruh malam purnama
Berlompatan dari jendela
Mencari ruang paling rindang
Dalam pelukan.
               
                Semua tentang hidup yang getir itu, pun terkadang kita anggap sebagai suatu yang biasa-biasa saja dan tak perlu untuk mempersoalkanya. Albert Camus, seorang eksistensialis punya rekaman tentang kegetiran hidup itu. Baginya, bahwa hidup memang adalah sebuah lakon yang tak selesai. Manusia memang tak mampu untuk menjawab semua problem di dalamnya. Menurutnya, pilihan yang tepat dalam hidup yang demikian adalah bunuh diri.
                Seorang penyair tentu mempunyai banyak jenis pengalaman kejiwaan. Pengalaman tertinggi adalah pengalaman kefalsafahan. Pangalaman ini tentu saja tidak dicapai dengan serampangan, tetapi dengan cara kontemplasi lewat media yang dibenarkan melalui ajaran (agama) serta merenungi hakikat kehidupan secara intensif. Hasilnya (antara lain) adalah puisi yang mengedapankan hubungan manusia dengan Tuhan. Betapa lemahnya manusia di tengah alam ciptaanNya. Kepasrahan itulah yang menjadi jalan terbaik.


SEBELUM MATAHARI

 (1)
Diam-diam aku diam
Sebentar lagi fajar datang

(2)
Tuhan, aku bermimpi
Sedang mengubur nyeri.

Catatan, 03 April 2016

                Pada dasarnya, puisi merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya puisi yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyarakat yang digambarkannya, seperti digambar pada puisi ini.

CERMIN

Dalam pantulan bayang
menyapu segala pandang
menerjemahkan kedipan




hidup, monumen perjalanan
menghayati ribuan peran
lakon dan takdir, dituliskan

Catatan 29 maret 2016

                Sastra (puisi) ditulis semata-mata bukan untuk dibaca sendiri, melainkan karena ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca, dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat mengembangkan kebudayaan. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan sosial budaya. Hal itu terjadi, karena penyair juga mengalami pengaruh lingkungan dan zamannya dalam menciptakan karya.

PUISIMU

Buih di lautan lepas
Menjelma kabut-kabut
di jantungmu
Mengakari karang
Tajam bagai pedang

Pantai dan hutan bakau
Tersapu gelombang

Kita berlarian
Mengejar yang di depan
Di belakang
Rindu tenggelam

atau perhatikan puisi ini,

NYANYIAN DAUN-DAUN

Hanya desir angin mengusik diam
Memanggil burung-burung kembali ke sarang
Sepanjang siang berkelana, mengintip petani di ladang
Paruhnya menyimpan bijian untuk anaknya yang keletihan

Aku cemburu pada hujan
Mematahkan pucukku sekali kibasan
Saat kemarau menghampiri, ia biarkan rantingku lapuk
Rontok, batang terengah menahan panas dan kesakitan

Aku ingin tinggal di rumah buatan
Pagi-pagi tubuhku dimandikan
Segala macam perawatan dihadiahkan
Seelok putri yang tinggal di istana gedongan

Tapi aku hanya tetumbuhan
Daun rindang tempat meneduhkan orang-orang
Hijau tubuh makanan segar hewan-hewan
Bukankah ini juga kemuliaan
Yang sering terlupakan

Catatan, 20052016

                Puisi hadir membawa keindahan dalam kehidupan dan kesenangan manusia. Keindahan yang dimaksud melingkupi segala aspek pengalaman kehidupan, misalnya kesedihan, kesenangan, kematian, dan penderitaan juga kebahagiaan yang diwujudkan dalam kata-kata yang indah. Puisi dapat pula dipandang sebagai perwujudan pengalaman penulisnya, sehingga dapat mewakili apa yang dirasakannya dan apa yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
                Keindahan dalam arti artistik bersifat subyektif, karena keindahan tidak bisa dijelaskan seutuhnya dalam bentuk benda, karena keindahan itu sendiri adalah dinamis. Maka menurut saya keindahan dalam arti artistik merupakan hasil hubungan antara pikiran dengan obyek yang diamati yang selalu berubah kesannya sesuai tempat dan jamannya. Keindahan itu abstrak karena berupa suatu konsep yang dapat diartikan sulit untuk dipahami, tetapi bukan berarti tidak bisa untuk dimengerti.

ADA RINDU

Ada rindu mendayu-dayu,
semacam kemalangan
yang diacuhkan
berlarian di pikiran
lalu berputar di pandangan
engkaukah di ujung jalan
atau seorang pejalan
mencari arah pulang?

Ada rindu terngiang-ngiang
memenuhi segala ruang
serupa bunyi petasan
saling menyusul
seakan mau perang
kenapa kau menghilang
kuterbiar; kebingungan

Ada rindu menggebu-gebu
tak hirau waktu
terus menunggu
walau musim telah berlalu
janji tersemat di lubuk kalbu
sampai langit membuka pintu
kamu kan jadi takdirku

Catatan, 21032017
       
Atau

RINDU INI

Aku sampaikan rindu ini, padamu
Setelah derap bebunyian menjadi fitur maha suara; meniadakan segala gema

Bukan dingin angin yang kerap bercerita
Bukan gugur ranting yang riang menyapa
Burung-burung kita titipi doa
Pesona malam menawarkan surga
Menjadi irama sunyi
Saat hati bertaut jemari

Aku akan terus merindu
Dalam gairah
Juga senyap di segala tunggu
Cahaya adalah bias paling bulan
Ketika purnama masih wajahmu
Yang lalu




Akankah rindu masih deritamu
Mengucilkan faktamu atasku
Kota-kota menggambar peta
Dari pelarianku menghapus tapak luka

Ini dukaku, kekasih
Tak pernah bisa menyeru cinta
Karena rindumu
laharkan semesta

Catatan, 31072017

                Pilihan diksi dalam kumpulan puisi ini cukup memberikan cahaya baru dibanding puisi-puisi dalam buku sebelumnya, yang terkesan eksploitatif dan terjebak pada romantisme remaja. Karena sebuah keinginan dan ketulusan yang diangkat dari sebuah penghayatan terhadap nilai yang ada di sekitarnya akan membangun nilai pada puisi yang ditulisnya. Menurut saya dalam puisi-puisi dalam buku ini semakin bernas dan bernyawa. Realitas ini tidak bisa dipungkiri, karena perjalanan hidup manusia akan selalu dinamis. Kedinamisan inilah sang penyair semakin mengenal jati dirinya yang kemudian membentuk watak dalam karya-karyanya.
                Karya puisi tidak luput dari nuansa, yaitu yang  bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya puisi. Reaksi atau tanggapan dapat bersifat positif atau negatif. Reaksi akan bersifat positif apabila pembaca memberikan tindakan dan sikap pada karya puisi dengan perasaan senang, bangga, dan sebagainya. Reaksi yang bersifat negatif tidak akan mendapatkan tanggapan sikap yang membangun dari puisi yang dibacanya.
                Karya puisi memiliki objek yang berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam kata yang diciptakan penyairnya berdasarkan realitas sosial dan pengalamannya, secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan kehidupannya. Penyair sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh dalam proses penciptaan puisi.


BICARALAH BIM

Kalau kepergian menjadi ritual damai
Saat kau menggenapi sepi
Aku rela meratapi kehilangan
Meski tangisku telah terkunci

Biarlah mata hati ini
Pejam dalam tidur panjang
Denyar-denyar kenang tak kan hilang
Seperti namamu lekat dalam bisikan

Bim, ini november kedua
Setelah cerita menutup sua
Mengapa tak pernah lagi
kau mengingatnya?

Aku terpasung dalam sekat kehilangan
Menyulam hari tanpa arti
Sedih dan perih menindih memori
Hanya ilusi menabir segenap mimpi
Bicaralah, Bim.
Dalam diammu; tak kumengerti
Sebab waktu sudah kunikahi
Dan aku, masih merapal janji

Catatan, 121117

                Kehidupan pribadi yang berataut dengan lingkungan akan terdapat berbagai polemik yang terjadi tidak menutup kemungkinan untuk dituangkan kedalam karya-karya puisi sehingga menjadi  cerminan dari sebuah realitas kehidupan manusia. Untuk itulah peran imajinasi sangat dominan untuk mengelaborasi polemik tersebut dalam bentuk bahasa. Dengan kata lain imajinasi terjalin benang merah dalam proses membangun pencitraan mental dan ide, kemampuan daya pikir untuk membayangkan sesuatu, mengembangkan khayalan serta menciptakan gambar-gambar mental berdasarkan kejadian atau kenyataan yang sebenarnya. Untuk itulah karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya.
                Bahwa puisi lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi penyairnya serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi puisi tidak hadir dalam kekosongan budaya, karena karya puisi (sastra) dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra (puisi) dengan situasi sosial tempat dilahirkannya.
                Bagaimanapun Meisya Zahida telah berusaha masuk ke wilayah itu, selanjutnya tergantung pembaca untuk mencermatinya, menafsirkannya dan memahami secara utuh sehingga puisi yang ditulisnya ini mampu membangun gairah dalam kehidupan nyata.


BILA PAGI TIBA

Kusunting mawar dalam dekapan
Wangi yang menggoda
Aroma dahsyat menjeratku tanpa ucap
Mungkinkah aku terpikat?

Pagi akan tiba
Berikan aku rangkaian embun
Bulir jernihnya kan kuminum
Setelah semalam kau dahagakan aku
Sedang musim masih kemarau; tak tersentuh hujan

Pagi telah tiba
Sudahkah kau membasuh muka?
Kereta akan pergi seusai janji
Yang kau tulis dengan kata sandi
Dan, aku gelisah menghitung hari

Catatan, 081117

                Demikian hantaran yang saya sampaikan, mudah-mudahan menjadi bagian dari catatan meski terserak dari sebuah keinginan besar.  Salam.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.