Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi Bahasa Kebangsaan Jiwa - Sofyan RH. Zaid

Puisi Bahasa Kebangsaan Jiwa - Sofyan RH. Zaid

Puisi Bahasa Kebangsaan Jiwa
oleh Sofyan RH. Zaid



Sofyan RH. Zaid

“Puisi tidak sekadar gagasan intelektual atau bentuk estetika semata, melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia.”

-Sir Muhammad Iqbal

KAWACA.COM ~ Membaca dan memilih puisi dari sejumlah penyair dalam buku ini bukanlah perkara mudah. Membutuhkan waktu dan ruang khusus: di mana hanya ada saya dan puisi, berhadap-hadapan, bertatap-tatapan, kadang berpeluk-cium, kadang bergulat-belut. Saya sadar sepenuhnya, bahwa apa yang akan saya pilih adalah puisi, bukan penyairnya. Meski saya kenal sebagian nama dalam buku ini dan sebagian lagi tidak, namun itu tidak mempengaruhi saya dalam memilih puisi-puisinya.

Menulis puisi dengan tema kebangsaan, sangatlah sulit. Saya merasakan bagaimana perjuangan para penyair dalam buku ini menuliskan puisinya. Oleh sebab itu, perlu saya tekankan bahwa apa yang telah saya pilih, tidak serta merta mencerminkan puisi tersebut punya kualitas yang bagus, bisa jadi malah sebaliknya. Akan tetapi saya memilih puisi-puisi dalam buku ini berdasarkan sifat puisi itu sendiri. Sifat dasar puisi bukanlah ‘apa yang disampaikan’, melainkan ‘bagaimana cara menyampaikan’. Menurut Maman S Mahayana, tema apa pun dalam puisi – termasuk kebangsaan- tidaklah penting, sebab yang utama adalah bagaimana menyajikan, mengemas, dan mengolahnya menjadi bagian integral dengan keseluruhan teks puisi.

Puisi -bagi Robert Frost (1874-1963)- adalah ketika emosi telah menemukan pemikirannya, dan pemikiran kemudian menemukan kata-kata. Pendapat Frost tersebut menyiratkan bahwa puisi pada hakekatnya adalah komposisi terbaik antara emosi, pikiran, dan kata-kata. Apa yang lahir dari perkawinan emosi dan pikiran adalah sesuatu abstrak (ide), penyair harus menemukan kata-kata yang tepat untuk menjadikannya konkret (puisi). Pada proses inilah terkadang penyair mengalami masalah. Itu sebabnya “ide yang besar belum tentu menjadi puisi yang besar,” kata Sutardji Calzoum Bachri.

Adakalanya seorang penyair merasa memiliki ide yang luar biasa untuk dituliskan jadi puisi. Namun ketika ide tersebut menjadi puisi, justru biasa-biasa saja. Bagaimana cara menuliskan ide besar menjadi puisi yang besar juga? Pertanyaan ini yang harusnya memaksa para penyair untuk terus membaca, berlatih menulis puisi, dan membanding-tandingkan karyanya dengan penyair lain. Hanya dengan cara itulah para penyair akan menemukan jawabannya sendiri. Percayalah, kalau tidak ada penyair yang lahir ke bumi seketika menjadi penyair.

Saya telah memilih sejumlah puisi dalam buku ini, entah penyairnya berkenan atau tidak. Namun secara maknawi, puisi bagi saya mempunyai empat tingkatan, yakni:

Pertama adalah ekspresif, yaitu lebih pada gambaran perasaan atau emosi. Puisi ekspresif merupakan puisi yang ditulis berdasarkan perasaan semata. Puisi-puisi melankolis, ratapan, pemujaan, pernyataan cinta, dan hujatan, termasuk dalam tingkat pertama ini. Tidak ada yang bisa ditawarkan puisi semacam ini selain isi perasaan semata. Bagi pembaca yang -kebetulan- mempunyai perasaan yang sama, puisi ekspresif akan sangat menyentuh, namun terasa menggelikan bagi pembaca yang tidak -sedang- sama frekuensi perasaannya.

Kedua adalah reflektif, yaitu lebih pada perenungan atau pemikiran. Puisi reflektif adalah puisi yang ditulis berdasarkan pikiran semata. Puisi-puisi yang masuk pada tingkat kedua ini adalah puisi yang ‘berat ke tema’, atau puisi yang dijadikan ‘alat’ untuk menyampaikan sesuatu. Puisi semacam ini biasanya jatuh pada puisi yang kering, alias tidak punya sisi emosi, seperti ‘berkendara di jalan yang gersang’.

Ketiga adalah filosofis, yaitu lebih pada kedalaman atau ‘cinta kebijaksanaan’ sebagaimana definisi filsafat secara bahasa. ‘Cinta’ lahir dari kuatnya perasaan, sedangkan ‘kebijaksanaan’ lahir dari dalamnya pemikiran. Puisi filosofis adalah puisi yang ditulis berdasarkan perasaan (ekspresif) dan pikiran (reflektif) secara harmonis. Puisi-puisi yang masuk pada tingkat ketiga ini adalah puisi yang memiliki makna secara mendalam dan universal tanpa kehilangan sisi ekspresif dan reflektifnya. Dalam puisi filosofis, hadirnya perasaan adalah perasaan yang sublim, dan adanya pemikiran adalah pemikiran yang murni.

Keempat adalah futuristik, yaitu lebih pada padangan masa depan atau visioner. Puisi futuristik adalah puisi yang ditulis berdasarkan pengetahuan, baik pengetahuan ‘fisik’ maupun ‘batin’. Puisi futuristik kadang disebut dengan istilah profetik atau kenabian ketika sumbernya berasal dari ‘pengetahuan batin’. Puisi-puisi yang termasuk dalam tingkat ini adalah puisi yang menyimpan ‘kenyataan sebelum terjadi’ atau semacam ‘suara dari masa depan’. Puisi futuristik secara sederhana bisa disebut sebagai puisi yang ‘meramalkan kejadian yang akan datang’.

Keempat tingkatan puisi secara maknawi tersebut merupakan serangkaian inti proses kreatif kepenyairan dalam menulis puisi. Seorang penyair tetap perlu mempunyai pengalaman menulis puisi ekspresif, reflektif, filosofis, sebelum dia sampai pada puisi futuristik. Proses kreatif sendiri adalah alur yang harus dilalui secara tertib, tanpa perlu merasa harus ‘memotong tingkat’ atau ‘tidak sabar dalam mengantre’. Penyair harus “teguh pada prinsip, setia pada proses, tidak tergesa-gesa,  tapi juga sadar untuk tidak terlambat”.

Terlepas dari keempat tingkat tersebut, saya percaya pada Iqbal sebagai penyair yang setia menyuarakan nilai-nilai kebangsaan -sebagaimana puisi-puisi dalam buku ini-, bahwa penyair adalah manusia pencipta bukan peniru, adalah manusia pemburu bukan mangsa. Puisi yang dihasilkan penyair harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan memburu ‘apa yang belum ada’, bukan sekadar menggambarkan ‘apa yang ada’. Puisi yang ditulis penyair harus mampu hidup di tengah masyarakat dan setidaknya sanggup menjadi alasan kegembiraan, semangat hidup, ilham bagi umat manusia, atau sesuatu yang baru untuk kehidupan.

Sampai di sini, pada tingkat berapakah puisi-puisi kebangsaan dalam buku ini berdiri? Saya kira hanya penyairnya yang tahu secara jujur. Sekali lagi, membaca dan memilih puisi dari sejumlah penyair dalam buku ini bukanlah perkara mudah, namun saya sangat menikmatinya. Saya pun akhirnya mengerti bahwa puisi adalah bahasa kebangsaan jiwa. Selamat membaca.

Bekasi, 02 Maret 2018

*Pengantar Kurator untuk Buku Celoteh di Bawah Bendera (Rumah Seni Asnur, 2018)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.