Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Perguruan Tinggi Musikalisasi Puisi dan Lezatnya Puisi Pilihan

Perguruan Tinggi Musikalisasi Puisi dan Lezatnya Puisi Pilihan


#KAWACA.COM – Hujan sore hari tidak menjadi halangan bagi panitia menyiapkan acara Parade Musikalisasi Puisi 2017 yang dibuat KOMPI bersama Sanggar Sastra Balai Pustaka dan  Ruang Musik Sastra di Pelataran TIM, Jakarta (17/11/2017). Acara yang salah satunya disponsori Penggadaian ini berlangsung meriah, puluhan kelompok musikalisasi puisi dari berbagai latar tampil bergilir. Tidak hanya seperti menonton parade musik pada umumnya, ketika menonton parade musikalisasi puisi, ada kelezatan dalam batin sebab mendengar lirik-lirik yang ‘berisi’ dari sejumlah puisi pilihan penyair.

Acara diawali dengan Taufik Ismail dan diakhiri penampilan memukau dari Deavies Sanggar Matahari.  Namun sebelum itu, Fikar W Eda selaku ketua KOMPI memberikan semacam orasi pendek dalam rangka menyapa semua peserta dan penonton sekaligus memberikan penyegaran. Fikar menyampaikan: “Mohon doa restu, tahun depan, kami akan dirikan Perguruan Tinggi Musikalisasi Puisi. Gedung dan para dosen sudah tersedia, tinggal kita wujudkan. Semoga apa yang pernah dicita-citakan Papa Fredie Arsi, dan Bang Ane Matahari sanggup terus kita lanjutkan,” diiringi tepuk tangan penonton yang menyambut kabar baik tersebut.

Sorak dan tepuk tangan terus mengiringi penampilan Devie Matahari bersama Deavies Sanggar Matahari. Sanggar yang berdiri tahun 1990, beranggotakan enam orang bersaudara kandung dan mengkhususkan kegiatan berkeseniannya di bidang musikalisas puisi. Mereka telah tampil dalam banyak acara penting di sejumlah kota di Indonesia sampai mancanegara. Menurut Devie, mereka hanya membawakan puisi-puisi terbaik dari sejumlah penyair demi menjaga kualitas garapan sekaligus membantu memperkenalkan puisi-puisi yang memang bagus kepada masyarakat.

Iya, Devie yang khas dengan sorot mata tajam itu memang tidak lebai, di penutupan acara ini, mereka membawakan tiga puisi keren yang digarap secara ciamik secara berurut, “Inilah Cinta” (Rumi), “Akan Kemanakah Angin” (Ehma Ainun Nadjib), dan “Sajak buat Negaraku” (Kriapur). Penasaran dengan tiga puisi dahsyat tersebut? Berikut teks lengkapnya:

Jalaluddin Rumi
Inilah Cinta

Inilah cinta, membumbung ke langit
Setiap saat mengoyak seratus cadar
Mula-mula, mengingkari hidup
Akhirnya, melangkah tanpa kaki
Menganggap dunia ini tak tampak
Sepi semua yang muncul di benak
”Oh, jiwa,” kataku, ”Semoga kau berbahagia
Memasuki negeri orang-orang tercinta
Memandang daerah yang tak tercapai mata
Menyusup ke dalam lekuk liku dada!
Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa
Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?
Burung, bicaralah dengan bahasa burung
Kutahu artinya yang terselubung
Jiwaku pun menyahut, ”Aku berada di pabrik
Yang sedang mengolah air dan tanah liat
Aku pun melepaskan diri dari sana
Ketika sedang diciptakan
Waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereke menyeretku
Dan menuangku
Sehingga bagaikan bola bentukku.”

Emha Ainun Nadjib
Akan Ke Manakah Angin

akan ke manakah angin melayang
tatkala turun senja nan muram
pada siapa lagu kuangankan
kelam dalam kabut rindu tertahan
datanglah engkau berbaring di sisiku
turun dan berbisik tepat di sampingku
belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku
kuingin menjerit dalam pelukanmu
akan kemanakah berarak awan
bagi siapa mata kupejamkan
pecah bulan dalam ombak lautan
dahan-dahan di hati berguguran

1973

Kriapur
Sajak buat Negaraku

di tubuh semesta tercinta
buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota

di antara gebalau dan keramaian tak bertuan
pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan

pada yang bernama keheningan
semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama

Solo, 1983

Selain itu, mereka juga pernah membawakan puisi-puisi keren lainnya, seperti Gergaji (Slamet Sukirnanto), Nawang Wulan (Subagiyo Sastrowardoyo), Pada Mu Jua (Amir Hamzah), Refleksi Jarak dan Waktu (Ahmadun Yosi Herfanda), Diponegoro (Chairil Anwar), Salju (Wing Karjo), dan lain-lain. (rz)

Baca Juga:


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.