Gado-Gado Bapak - Muhtadi.ZL
Gado-Gado Bapak
oleh Muhtadi.ZL*
KAWACA.COM | Tiga hari sudah Kiki bertanya pada neneknya tentang gado-gado oleh-oleh bapaknya. Perempuan senja itu selalu mengelak bila mendapati pertanyaan sama dari cucunya.
“Bapakmu akan segera berkumpul dengan kita,”jawaban ini sudah Kiki dengar dua hari lalu.
“Emang, bapak kemana, Nek?”dengan mimik culunnya Kiki bertanya lagi. Dalam hati neneknya tidak ingin menjawab pertanyaan cucunya, namun karena iba, ia menjawabnya mengada-ada saja.
“Kan, bapak Kiki sedang mencari uang,”balas neneknya datar.
“Bapak tidak akan lupa dengan pesanan Kiki kan, Nek,”
“Iya, kata bapak, Kiki mau dibelikan gado-gado yang banyak,”untuk pertanyaan ini Kiki sudah mendengar ketika ia hendak tidur malam tadi. Sontak senyum bapaknya terbesit dalam benaknya, Kiki yang melotot menatap neneknya menyunggigkan senyum.
Satu minggu berlalu Kiki masih memikirkan gado-gado bapaknya. Ia takut gado-gadonya tidak hangat, Kiki khawatir karena tidak bertemu bapaknya. Satu minggu ini, Kiki dibalut rindu, rindu gado-gado dan suara serak bapaknya.
Bila senja menuju peraduan, hati Kiki cemas, darahnya mengalir deras, suhu tubuhnya kian memanas, lekas-lekas Kiki bertanya pada neneknya yang biasa duduk di teras. Ditemani air gula segelas, sambil menunggu kakek dengan wajah tampak culas akibat sengatan matahari yang panas.
“Nek, Kiki rindu,”ucap Kiki ketika selesai menyeruput air gula.
“Kiki rindu siapa?”tanya neneknya dengan suara seraknya.
“Kiki rindu gado-gado dari bapak,”dengan memasang mimik culun Kiki menjawab.
Bila pertanyaan itu meluncur dari mulut cucunya. Perempuan senja itu selalu kelimpungan untuk mencari alasan. Sebenarnya ia tidak tega jika harus berbohong untuk yang, entah berapa kali. Tapi ini demi kebaikan cucunya, mau tidak mau ia harus lakukan, ibaratnya harapannya berada diujung tanduk.
“Kata kakek malam tadi, bapak Kiki akan pulang dua hari lagi. Kiki sabar, pasti gado-gadonya hangat,”jawab neneknya sambil melihat cucunya yang berbinar-binar.
“Apa itu benar, Nek,?”dengan bahagia yang membuncah Kiki bertanya lagi. Neneknya mengangguk pelan.
Di rumah yang catnya memudar itu, Kiki tinggal dengan kakek dan neneknya. Ibunya meninggal ketika ia berumur dua tahun. Menurut tetangga, kulit Kiki turunan ibunya, sawo matang. Sedang bapaknya pergi ketika Sutri—istrinya meninggal dua tahun lewat. Kiki pun belum hafal betul wajah bapaknya, namun beberapa bulan ini, neneknya kerap kali bercerita gado-gado bapaknya, bahkan ia pernah berkata, kalau gado-gado hangat bapaknya dapat mengundang roh yang telah pisah dengan jasad.
Pernah suatu kali—neneknya bercerita—ibunya datang di tengah-tengah mereka, saat itu Kiki tidur pulas, anak umur lima tahun itu tidak merasakan kehangatan keluarga di waktu itu. Kiki yang khusuk mendengar, tiba-tiba tampak murung, seketika ia menunduk, menguap-uap dan mengantuk.
“Kenapa begitu, Nek?”tanyanya tetap menunduk.
Neneknya mengangguk dengan sungging senyum. “Kata bapakmu, gado-gado yang selalu dibawanya buatan peri-peri pasar. Untuk membeli gado-gadonya hanya orang tertentu saja yang boleh, seperti bapakmu, maksudnya tidak punya istri,”jelas neneknya, sesekali melirik halaman. Kiki mengangguk meski tidak tahu seutuhnya.
Pikirannya buyar, kini benaknya meramu kenangan lalu meski remang-remang, saat bercengkrama di ruang tamu sambil menonton tivi. Dan waktu itu ia masih dalam pelukan ibunya.
Burung-burung berseliweran, lalu hinggap di dahan untuk kembali ke sarang. Desir angin memelan, seja mulai ke peraduan. Pelan malam bertandang, tak lama kakeknya akan datang dengan segumpal resah dan kenangan yang terhidang.
“Apa kakek akan membawa gado-gado, Nek?”tanya Kiki yang duduk di ruang tamu.
“Tidak, Nak. Kakek hanya membawa lesu dan cemas,”
“Kenapa begitu, Nek?”
“Kan kakek pulang dari kerja.”
Malam semakin suntuk, Kiki yang menunggu mulai terkatuk-katuk, sedang kakeknya belum datang meski sekedar berisyarat pintu di ketuk.
“Nek, Kiki, mengantuk,”ujarnya datar.
“Tidurlah ini sudah larut malam,”balas neneknya yang iba melihat mata Kiki memerah.
“Apa Kiki akan bermimpi ibu dan bapak, Nek?”
“Bisa, Kiki banyak berdoa, agar bapak dan ibu diangkat derajatnya,”pungkas neneknya.
Dengan perasaan gembira, Kiki beranjak ke kamarnya. Ia melihat foto bapak dan ibunya yang terpajang di dinding. Semua kenangannya tertuju pada foto-foto itu. Neneknya yang melihat Kiki dari belakang tidak tahu harus berucap apa, sebab kemelut sedih bermuara dalam di ulu hatinya. Dan ia tidak tega bila mengatakan yang sebenarnya kepada cucunya yang masih asyik bermain.
Dalam mimpi Kiki bertemu bapaknya, sedang menunggu di ruang tamu bersama ibunya. Tanpa pikir panjang, Kiki langsung mendatanginya. Ia bercerita banyak tentang kerinduan yang Kiki alami. Ibunya tersenyum, dalam hati ibunya tidak tega melihat anaknya yang masih—sekarang—umur lima tahun harus hidup dengan kakek dan neneknya.
“Gado-gado Kiki, mana Pak?”tanya Kiki yang duduk di pangkuan ibunya.
“Oh iya, sebentar bapak ambil ya.”
“IBU sama bapak pergi kemana selama ini?”
Ibunya diam, ia bingung harus menjawab dengan apa. Sebab bila ia jawab jujur, ia akut Kiki punya pikiran untuk mengakhiri hidupnya pula.
“Ibu sama bapak lagi bekerja, Nak,”sahut ibunya pelan.
Semua hening.
“Kapan ibu dan bapak pulang?”
Ibunya semakin bingung, di usia yang sudah kanak, Kiki sudah bisa merasakan rindu kehangatan keluarga, tidak heran bila pertanyaan yang ia ajuak selalu berujung pertemuan.
Samar-samar bapaknya yang membawa sebungkus gado-gado mendengar pembicaraan Kiki dan ibunya.
“Bapak sama ibu akan pulang besok,”ujarnya lantang.
“Apa itu benar bapak?”sergah Kiki riang.
Bapaknya mengangguk sambil mengulurkan gado-gado. Ibunya tersenyum dan mengambil satu gado-gado untuk di suapin pada anaknya yang hampir sekolah dasar.
Di ambang pintu kakek dan neneknya bahagia melihat Kiki senyam-senyum di atas ranjang tidurnya. Mereka yakin cucunya sedang bermimpi ibu dan bapaknya.
“Makanya, besok Kiki tunggu bapak di teras,”ujar bapaknya sambil memakan gado-gado.
Di malam itu, bahagia pecah bersama kunyahan gado-gado. Kiki yang begitu lahap makan gado-gadonya, ibu dan bapaknya tersenyum sambil sesekali tertawa pelan.
“Gado-gado bapak enak sekali, Buk.”
Di waktu itu kakek dan neneknya bingung, jika dalam waktu dekat Kiki tahu kalau bapaknya sudah meninggal satu bulan setelah 40 hari ibunya. Apa yang akan ia katakan pada cucu semata wayangnya jika bertanya hal itu? Ia sudah sudah merasa banyak salah ketika Kiki bertanya gado-gado dan ia menjawab dengan mengada-ada, meski Kiki percaya. Ia sudah cukup senang walaupun bahagia kemunafikan. Cemas dan khawatir bak kelelawar siang dalam tempurung kepala orang berumur senja itu.
____
*Penulis adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-guluk, Sumenep, Madura dan Pengurus Perpustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis Kreatif (KPK) dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lub-Sel. E-mail azzamdy09@gmail.con .
oleh Muhtadi.ZL*
KAWACA.COM | Tiga hari sudah Kiki bertanya pada neneknya tentang gado-gado oleh-oleh bapaknya. Perempuan senja itu selalu mengelak bila mendapati pertanyaan sama dari cucunya.
“Bapakmu akan segera berkumpul dengan kita,”jawaban ini sudah Kiki dengar dua hari lalu.
“Emang, bapak kemana, Nek?”dengan mimik culunnya Kiki bertanya lagi. Dalam hati neneknya tidak ingin menjawab pertanyaan cucunya, namun karena iba, ia menjawabnya mengada-ada saja.
“Kan, bapak Kiki sedang mencari uang,”balas neneknya datar.
“Bapak tidak akan lupa dengan pesanan Kiki kan, Nek,”
“Iya, kata bapak, Kiki mau dibelikan gado-gado yang banyak,”untuk pertanyaan ini Kiki sudah mendengar ketika ia hendak tidur malam tadi. Sontak senyum bapaknya terbesit dalam benaknya, Kiki yang melotot menatap neneknya menyunggigkan senyum.
Satu minggu berlalu Kiki masih memikirkan gado-gado bapaknya. Ia takut gado-gadonya tidak hangat, Kiki khawatir karena tidak bertemu bapaknya. Satu minggu ini, Kiki dibalut rindu, rindu gado-gado dan suara serak bapaknya.
Bila senja menuju peraduan, hati Kiki cemas, darahnya mengalir deras, suhu tubuhnya kian memanas, lekas-lekas Kiki bertanya pada neneknya yang biasa duduk di teras. Ditemani air gula segelas, sambil menunggu kakek dengan wajah tampak culas akibat sengatan matahari yang panas.
“Nek, Kiki rindu,”ucap Kiki ketika selesai menyeruput air gula.
“Kiki rindu siapa?”tanya neneknya dengan suara seraknya.
“Kiki rindu gado-gado dari bapak,”dengan memasang mimik culun Kiki menjawab.
Bila pertanyaan itu meluncur dari mulut cucunya. Perempuan senja itu selalu kelimpungan untuk mencari alasan. Sebenarnya ia tidak tega jika harus berbohong untuk yang, entah berapa kali. Tapi ini demi kebaikan cucunya, mau tidak mau ia harus lakukan, ibaratnya harapannya berada diujung tanduk.
“Kata kakek malam tadi, bapak Kiki akan pulang dua hari lagi. Kiki sabar, pasti gado-gadonya hangat,”jawab neneknya sambil melihat cucunya yang berbinar-binar.
“Apa itu benar, Nek,?”dengan bahagia yang membuncah Kiki bertanya lagi. Neneknya mengangguk pelan.
Di rumah yang catnya memudar itu, Kiki tinggal dengan kakek dan neneknya. Ibunya meninggal ketika ia berumur dua tahun. Menurut tetangga, kulit Kiki turunan ibunya, sawo matang. Sedang bapaknya pergi ketika Sutri—istrinya meninggal dua tahun lewat. Kiki pun belum hafal betul wajah bapaknya, namun beberapa bulan ini, neneknya kerap kali bercerita gado-gado bapaknya, bahkan ia pernah berkata, kalau gado-gado hangat bapaknya dapat mengundang roh yang telah pisah dengan jasad.
Pernah suatu kali—neneknya bercerita—ibunya datang di tengah-tengah mereka, saat itu Kiki tidur pulas, anak umur lima tahun itu tidak merasakan kehangatan keluarga di waktu itu. Kiki yang khusuk mendengar, tiba-tiba tampak murung, seketika ia menunduk, menguap-uap dan mengantuk.
“Kenapa begitu, Nek?”tanyanya tetap menunduk.
Neneknya mengangguk dengan sungging senyum. “Kata bapakmu, gado-gado yang selalu dibawanya buatan peri-peri pasar. Untuk membeli gado-gadonya hanya orang tertentu saja yang boleh, seperti bapakmu, maksudnya tidak punya istri,”jelas neneknya, sesekali melirik halaman. Kiki mengangguk meski tidak tahu seutuhnya.
Pikirannya buyar, kini benaknya meramu kenangan lalu meski remang-remang, saat bercengkrama di ruang tamu sambil menonton tivi. Dan waktu itu ia masih dalam pelukan ibunya.
Burung-burung berseliweran, lalu hinggap di dahan untuk kembali ke sarang. Desir angin memelan, seja mulai ke peraduan. Pelan malam bertandang, tak lama kakeknya akan datang dengan segumpal resah dan kenangan yang terhidang.
“Apa kakek akan membawa gado-gado, Nek?”tanya Kiki yang duduk di ruang tamu.
“Tidak, Nak. Kakek hanya membawa lesu dan cemas,”
“Kenapa begitu, Nek?”
“Kan kakek pulang dari kerja.”
Malam semakin suntuk, Kiki yang menunggu mulai terkatuk-katuk, sedang kakeknya belum datang meski sekedar berisyarat pintu di ketuk.
“Nek, Kiki, mengantuk,”ujarnya datar.
“Tidurlah ini sudah larut malam,”balas neneknya yang iba melihat mata Kiki memerah.
“Apa Kiki akan bermimpi ibu dan bapak, Nek?”
“Bisa, Kiki banyak berdoa, agar bapak dan ibu diangkat derajatnya,”pungkas neneknya.
Dengan perasaan gembira, Kiki beranjak ke kamarnya. Ia melihat foto bapak dan ibunya yang terpajang di dinding. Semua kenangannya tertuju pada foto-foto itu. Neneknya yang melihat Kiki dari belakang tidak tahu harus berucap apa, sebab kemelut sedih bermuara dalam di ulu hatinya. Dan ia tidak tega bila mengatakan yang sebenarnya kepada cucunya yang masih asyik bermain.
Dalam mimpi Kiki bertemu bapaknya, sedang menunggu di ruang tamu bersama ibunya. Tanpa pikir panjang, Kiki langsung mendatanginya. Ia bercerita banyak tentang kerinduan yang Kiki alami. Ibunya tersenyum, dalam hati ibunya tidak tega melihat anaknya yang masih—sekarang—umur lima tahun harus hidup dengan kakek dan neneknya.
“Gado-gado Kiki, mana Pak?”tanya Kiki yang duduk di pangkuan ibunya.
“Oh iya, sebentar bapak ambil ya.”
“IBU sama bapak pergi kemana selama ini?”
Ibunya diam, ia bingung harus menjawab dengan apa. Sebab bila ia jawab jujur, ia akut Kiki punya pikiran untuk mengakhiri hidupnya pula.
“Ibu sama bapak lagi bekerja, Nak,”sahut ibunya pelan.
Semua hening.
“Kapan ibu dan bapak pulang?”
Ibunya semakin bingung, di usia yang sudah kanak, Kiki sudah bisa merasakan rindu kehangatan keluarga, tidak heran bila pertanyaan yang ia ajuak selalu berujung pertemuan.
Samar-samar bapaknya yang membawa sebungkus gado-gado mendengar pembicaraan Kiki dan ibunya.
“Bapak sama ibu akan pulang besok,”ujarnya lantang.
“Apa itu benar bapak?”sergah Kiki riang.
Bapaknya mengangguk sambil mengulurkan gado-gado. Ibunya tersenyum dan mengambil satu gado-gado untuk di suapin pada anaknya yang hampir sekolah dasar.
Di ambang pintu kakek dan neneknya bahagia melihat Kiki senyam-senyum di atas ranjang tidurnya. Mereka yakin cucunya sedang bermimpi ibu dan bapaknya.
“Makanya, besok Kiki tunggu bapak di teras,”ujar bapaknya sambil memakan gado-gado.
Di malam itu, bahagia pecah bersama kunyahan gado-gado. Kiki yang begitu lahap makan gado-gadonya, ibu dan bapaknya tersenyum sambil sesekali tertawa pelan.
“Gado-gado bapak enak sekali, Buk.”
Di waktu itu kakek dan neneknya bingung, jika dalam waktu dekat Kiki tahu kalau bapaknya sudah meninggal satu bulan setelah 40 hari ibunya. Apa yang akan ia katakan pada cucu semata wayangnya jika bertanya hal itu? Ia sudah sudah merasa banyak salah ketika Kiki bertanya gado-gado dan ia menjawab dengan mengada-ada, meski Kiki percaya. Ia sudah cukup senang walaupun bahagia kemunafikan. Cemas dan khawatir bak kelelawar siang dalam tempurung kepala orang berumur senja itu.
____
*Penulis adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman (INSTIKA) Guluk-guluk, Sumenep, Madura dan Pengurus Perpustakaan PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Penulis Kreatif (KPK) dan Komunitas Cinta Nulis (KCN) Lub-Sel. E-mail azzamdy09@gmail.con .