Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Membaca Aura, Melihat yang Kasatmata dari Puisi-Puisi Dharmadi - Dedy Tri Riyadi

Membaca Aura, Melihat yang Kasatmata dari Puisi-Puisi Dharmadi - Dedy Tri Riyadi

Membaca Aura, Melihat yang Kasatmata dari Puisi-Puisi Dharmadi
Oleh Dedy Tri Riyadi

#KAWACA.COM - Aura adalah judul buku kumpulan puisi karya Dharmadi DP yang menampilkan puisi dari tahun 1974 hingga tahun 2010. Dharmadi DP, telah menyair sekitar lima puluh tahun lalu, dalam biografi singkat di sampul belakang buku Aura ini ditulis sajak pertamanya dimuat di media tahun 1970. Aura hanya menyajikan 54 buah puisi. Jumlah yang sangat kurang jika dilihat dari rentang tiga puluh enam tahun penggarapan ini. Namun, bisa jadi ada tahun-tahun yang tidak produktif dari penyair yang sampai sekarang masih aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sastra.
Aura dibuka dengan sebuah puisi dengan judul “di kuburan” sebagai berikut;

di kuburan
hanya bebauandaunan busukdan serak bebatuan

sekitar samar

rumput menggeliat
angin mengaduh

roh siapa yang nyasar di sana
tempurungnya tersampar

di ujung sepatu

1974

Puisi ini berangkat dari hal yang tidak tampak (bebauan) tetapi bisa diindera (dihidu) namun belum bisa dilihat (“sekitar samar”) tapi tiba-tiba terjadi sebuah transformasi sehingga “rumput (bisa terlihat) menggeliat” (dan) “angin (terdengar) mengaduh.” Perubahan itu makin meningkat sehingga apa yang seharusnya tidak terlihat (“roh”) bisa dilihat wujudnya (dia ber-“tempurung”) bahkan tersentuh (“tersampar / di ujung sepatu”). Puisi “di kuburan” ini bukan puisi yang sederhana seperti kelihatannya. Permainan makna ekstrinsik dalam puisi ini tentu saja punya maksud, tidak sekadar ber-klenik-klenik atau memainkan wilayah mistis belaka. Kesadaran bahwa puisi adalah alat untuk membangun kepekaan nurani tentulah salah satu yang hendak disampaikan.

Kesadaran membangun kepekaan dalam puisi jelas ditampakkan kembali pada puisi “candi cetho” yang ditulis demikian;

candi cetho

dalam kediaman batu
menyangga langit
setia mengakarkan
kehidupan-nya
ke bumi

1999

Dalam puisi ini, penyair dengan penuh kesadaran menyatakan bahwa ada yang dilakukan oleh bebatuan candi yaitu menyangga langit dan sekaligus mengakarkan kehidupannya ke (dalam) bumi. Candi dianggap sebagai penyatuan poros mengingat Tuhan (menyangga langit) sekaligus membenamkan sejarah, agama, dan nilai-nilai kebaikan ke dalam sanubari kita semua yang menyaksikannya. Meskipun agak terasa banal, puisi ini menguatkan pendapat mengenai pembangunan kesadaran dan kepekaan terhadap imaji-imaji yang disuguhkan dalam setiap puisi.

Namun tidak hanya soal kepekaan, bagi Dharmadi DP sebagai penyairnya puisi juga merupakan soal pencarian. Dalam puisi “ketika di candi” secara jelas mengungkap betapa ada ikatan antara puisi dia dengan puisi Subagio (Sastrowardjojo) – kekaguman beliau terhadap puisi-puisi Subagio ini juga dikatakan secara langsung – dan juga adanya upaya untuk menggapai puncaknya sendiri. Ada larik yang tegas yaitu “kucari puncaknya” pada akhir puisi ini.

Tahun 2000, diwakili oleh satu puisi berjudul “ingin kulukis di sela kembar payudaramu” Puisi ini memang satu-satunya puisi yang judulnya menyinggung seksualitas, tapi sebenarnya yang ditampilkan adalah suatu kenangan dan keraguan. Kenangan diwakilkan oleh sebaris yang bertuliskan, “tiba-tiba aku begitu rindu” sedangkan keraguan diwakilkan oleh larik “tetapi gemetar tanganku,” dan yang terjadi jika kenangan dan keraguan ditemukan adalah sebuah niat atau posisi diri yaitu “selalu merindukan pertemuan.” Ya, bukankah puisi adalah sebuah pertemuan?

Dharmadi memang benar menyadari puisi adalah upaya menjumpa, mewujudkan suatu pertemuan. Puisi “dalam permainan” terasa benar upaya itu. Biar “telah habis segala” dan “tinggal segumpal jiwa” tetap akan “kuwujudkan wajah-mu.” Karena sebuah upaya, maka yang dipersiapkan pertama kali tak lain dan tak bukan adalah diri sendiri. Maka seperti yang ditampilkan pada puisi “kembali pulang merapat ke bayang” puisi menjadi proses dalam “didengarnya suara detak di kedalaman palung jantung/ diraba-raba tubuh berasa hangat darah/ dipegang denyut nadi, “oh, sang maha hidup.” Juga proses penyadaran diri seperti “sadar tentang diri hanya bagian dari isi waktu” juga sampai “dari tanah kembali ke tanah,” supaya pada akhirnya “jemari hatinya (bisa) membuka/ pagina berikutnya” (puisi “ibu yang kitab”).
Dalam memperlakukan puisi-puisinya, Dharmadi bukan tidak bermaksud untuk menggunakan alat-alat puitika yang dahsyat. Ada kesadaran tersendiri terhadap gaya penulisan puisi-puisinya. Hal ini ditulis dengan jelas pada puisi “tubuh sajak” yang mengandung larik - “tak apa meski nampak naif dan tak lagi trendi.” Karena baginya, puncak berpuisi tak lain hanyalah “sekadar menjalani/ dan memberi” sampai pada “mekar/di kodrat waktu berserah/kembali ke bumi/ dikembalikan segala zat/ yang telah menghidupi” (puisi, “persembahan”).

Sebagai puncak kesadaran, tentunya adalah cinta kasih. Saya kira, puisi “pohon” adalah puisi yang bisa merangkum sekelumit perjalanan kepenyairan Dharmadi periode dari tahun 1974 sampai 2010 ini. Demikian puisinya;

pohon

ku tak peduli musim
setiap saat berganti
tetapi ku tak dapat
tak peduli pada
pohon cintaku

yang kutanam
dari sebiji benih
agar tumbuh kukuh di
ladang diri

siapa tahu suatu waktu
dengan kesadaran utuh
kau berteduh di rindang
pohon cintaku

2010

Lewat “Aura” Dharmadi ingin menegaskan bahwa yang ia lakukan adalah mewujudkan cinta yang kuat dan kukuh pada puisi. Siapapun, termasuk saya dan Anda, jika dapat mengerti keindahan suatu puisi, pasti akan sudi untuk membaca puisi-puisi beliau ini, puisi-puisi yang sungguh menarik untuk bisa ditelaah, karena bagi saya pada tingkatan tertentu, Dharmadi terasa sekali ketenangannya dalam mengolah imaji dan perasaan ketika menuliskan puisi-puisinya.

Jakarta, 2017

*Dedy Tri Riyadi, Beberapa karyanya antara lain: Antologi Puisi Bersama Maulana Ahmad dan Inez Dikara berjudul Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan, 2006, Dan Segalanya Menghilang, Novel, 2009, Antologi Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 2010, Gelembung, kumpulan puisi, 2011, Liburan Penyair, kumpulan puisi, 2014, Pengungsian Suara, sepilihan puisi, 2016. Bergiat di komunitas Pasar Malam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) dan mengelola blog pribadi toko-sepatu.blogspot.com

Baca Juga:
Buku: Berlatih Solmisasi karya Dedy Tri Riyadi
Ini Tulisan Narudin yang Dianggap Penipuan oleh Dedy Tri Riyadi
Resensi Buku Sajak Sajak Sunyi karya Budhi Setyawan

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.