Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi Itu Binatang Apa? - Sutan Iwan Soekri Munaf

Puisi Itu Binatang Apa? - Sutan Iwan Soekri Munaf



Oleh Sutan Iwan Soekri Munaf

      Aku semakin mengerti, ketika engkau sampai ke medan Tanya, puisi itu binatang apa. Ya, saat itu engkau terjebak di rimba Sastra, setelah lama kugembalakan hatimu di padang Baca.
      Engkau mungkin ingat, ketika aku mengajakmu dari Kota keterasinganmu untuk menyeruak ke rimba Sastra di pinggir padang Baca itu? Ya, setelah engkau katakan bahwa hidup hanya mekanikal, ekonomikal dan mengikuti jejak-jejak hukum dalam permainan politisi dalam mengejar kekuasaan.
      Betul. Puisi itu datang dan mengendusmu. Engkau tersenyum, malah tidak jarang tertawa atau menangis tersedu-sedu. Dan tanyamu bertubi-tubi, mengapa bisa tersenyum, tertawa atau tersedu-sedu. Padahal saat puisi itu datang mengendus, pikiranmu melayang untuk memengerti, puisi itu binatang apa? Mengapa dia datang mengendus? Dan engkau mencoba menguaknya. Dari sudut Utara itu, menurutmu, puisi itu adalah binatang berkuping lebar. Ya, engkau nyaris mengatakan, setiap yang berkuping lebar adalah puisi.
      Namun setelah tiba di Timur, segera pendapatmu tentang kuping lebar itu engkau batalkan, karena puisi itu dari sana tampak seperti belalai panjang. Saat itu pula engkau nyatakan, yang benar puisi itu adalah mahluk berkuping lebar dan berbelalai panjang. Betulkah demikian?
      Ternyata engkau sendiri yang menjawab, tidak. Pasalnya, dari arah Selatan engkau melihat puisi itu berekor sedang, tidak terlalu panjang, dan rambutnya cuma tumbuh di ujung bagian ekor. Tapi tidak tampak itu kuping lebar dan belalainya. Ya, malah engkau cabut pendapatmu terdahulu, engkau katakan yang sebenarnya puisi itu berekor tidak terlalu panjang yang di ujung bagian ekornya ada rambut ekor.
      Sedangkan dari belahan Barat, yang tampak olehmu puisi itu adalah tubuh besar berkaki besar dan cukup tinggi. Engkau juga bantah pendapatmu yang terdahulu. Keyakinanmu adalah puisi itu tubuh besar berkaki besar dan cukup tinggi.
      Saat itu, engkau malah tidak yakin, mengapa binatang yang sama itu, tapi engkau selalu berubah-ubah mendefinisikannya. Bagaimana pula pendapatmu jika engkau naiki, atau engkau terinjak oleh Puisi itu. Tentu akan lain lagi pendapatmu, sehingga seluruh pendapat awalmu akan segera engkau buang.
      Jadi, sebenarnya, binatang apakah puisi itu, sayang?
      Demikian tanyamu.
      Jawabku, puisi bukan binatang.

      Puisi itu puitis atau puitikal, itu jawabanku selanjutnya. Namun sorot matamu membulat dan membinar. Ya, aku tahu, engkau masih belum menangkap maksudnya. Aku ambil contoh saja, seorang lelaki mengatakan ‘aku cinta padamu’ pada kekasihnya, bukanlah putikal. Namun jika pemuda itu memberikan sekuntum bunga mawar merah yang rekah, bagi kekasihnya, mawar itu adalah ungkapan cinta pemuda itu. Dia pun akan mencium dan membaui bunga yang wangi itu. Barangkali itulah yang puitikal.
      Ya, puitikal itu amat berbeda dengan kondisi verbal. Mawar itu menggetarkan rasa sang kekasih dibandingkan pemuda mengatakan ‘aku cinta padamu’. Padahal mawar itu tidak berbicara cinta, namun di dalamnya banyak sekali perbincangan cinta.
      Apakah berhenti sampai puitikal sajakah puisi itu? Tanyamu itu meluncur, seraya mengangguk-angguk mulai paham tentang puitikal.
      Aku menggeleng. “Tidak sekadar puitikal. Ada beberapa syarat lainnya, sayang.”
      Puisi itu berbahan baku kata-kata. Kata-kata itu dalam puisi akan bernyawa, menjadi darah, menjadi urat atau melahirkan puisi itu. Kata-kata dalam puisi itu padu, menyatu, hablur, dan satu kata dengan kata lainnya ada ikatan senyawa yang amat sulit dilepaskan.
      Oleh karena itu, kata-kata dalam puisi tidak akan liar. Semuanya dalam pengawasan penyairnya. Setiap kata yang ditaruh penyairnya dalam puisi merupakan bagian penting, bukan sekadar taruh. Tanpa kata itu, maka puisi kehilangan maknanya, apalagi nyawanya.
      Setelah kata-kata yang terkendali, maka bagian penting puisi lainnya adalah lambang atau simbol atau citra. Puisi amat dibedakan dalam dialog keseharian atau prosa lainnya adalah puisi memanfaatkan lambang untuk mengantarkan pembacanya ke arah maksud penyairnya. Tanpa lambang, maka puisi hanya baris-baris dalam kalimat-kalimat dialog keseharian, atau kalimat prosa bentuk lainnya.
      Hmmm…matamu berbinar lagi. Ingin tahu, ya?
      Maksudku, seperti kalimat begini. Saat aku mengatakan : ”Aku lapar.”; hal itu merupakan bentuk verbal dalam percakapan keseharian ataupun prosa. Dalam hal ini tak ada lambang, perut aku lapar, merupakan kondisi sebenarnya setelah dua hari dua malam tidak ketemu nasi dan makanan lainnya. Namun saat engkau katakan: “Perutku mengirimkan alunan musik keroncong.” Alunan musik keroncong merupakan lambang dari perut lapar.
Ya, engkau mengangguk. Aku yakin engkau memahaminya.
      Jadi, itulah puisi? Tanyamu.
Lagi-lagi aku menggeleng.
      Puisi itu punya ritma, punya irama. Irama yang terbentuk itu merupakan bagian langsung dari puisi, hasil menaruh kata-kata, getar puitikal dan penggunaan lambang. Siapa pun yang membacanya, akan terasa ritma puisinya. Tentu saja bagi pembaca dan penyair yang berada dalam satu wilayah bahasa ibu yang sama. Manakala ada perbedaan bahasa ibu, seringkali terjadi salah interpretasi atas ritma pada puisi itu.
      Jadi, apakah puisi? Begitu tanyamu.
      Lagi-lagi engkau cuma dapat bertanya.
      Engkau tidak pernah membuka mata dan hatimu. Engkau tak pernah melangkah jauh ke dalam jiwamu. Engkau hanya terpaku dalam kerutinan dan terkadang lebih tepatnya cuma sekadar ingin tahu. Tak lebih. Padahal puisi bukan sekadar kau ketahui.
Puisi itu punya Wilayah sendiri. Wilayah yang indah. Wilayah yang damai. Wilayah yang membuka pintu jiwa. Wilayah yang mengantarkan pikiran-pikiran dalam perasaan-perasaan, dan juga sebaliknya Wilayah yang mengantarkan perasaan-perasaan dalam pikiran-pikiran.
      Kini, lagi-lagi engkau bertanya: Jadi, itukah puisi?
       Lagi-lagi aku menggeleng.
      Puisi tak bisa dibatasi hanya sebatas Wilayah tertutup. Puisi itu Kota. Puisi itu Desa. Puisi itu Kata. Puisi itu Irama. Puisi itu Getaran. Puisi itu….Tidak. Tidak cukup hanya membatasinya dengan batasan-batasan, tanpa membuka Pintu Jiwa, tanpa memperluas Wawasan, tanpa mau melangkah ke dalam Sejarah maupun menatap ke Masa Depan.
      Jadi puisi itu apa? Kenapa terlalu berbelit-belit, sih? Begitu tanyamu.
      Puisi itu ada di Hatimu. Puisi itu ada di Pikiranmu. Tapi apakah itu betul puisi? Mungkin tidak. Mungkin ya. Atau boleh jadi sama sekali tidak. Atah boleh jadi sama sekali ya.
      Kok ragu-ragu amat?
      Ragu-ragu? Tidak, sayang. Aku tak ragu-ragu.
      Kamu ingin jawaban lebih pasti?
      Baiklah. Puisi itu ya puisi!

BUMI AMI, Prabumulih, Januari 2007

-----------------
Sutan Iwan Soekri Munaf bernama asli Sutan Roedy Irawan Syafrullah. Lahir di Medan, 4 Desember 1957, dan meninggal di Bekasi, 24 April 2018. Bang Iwan -biasa disapa- merupakan penyair yang begitu menghormati puisi dan hati-hati dalam hal menulisnya. “Puisi itu kesabaran, penyair tidak perlu buru-buru,” ujarnya suatu waktu sambil menghisap dalam-dalam 234. Sebagai pribadi, dia adalah sosok yang ramah, hangat, dan penuh semangat.

Bang Iwan sudah sejak kecil menyukai puisi. Pada 3 Juli 1971, Ruang Anak, Kompas memuat puisinya untuk pertama kali. Setelah itu, puisi-puisinya bermunculan di sejumlah media. Obsesi merupakan buku puisi tunggalnya yang diterbitkan PT Angkasa, Bandung, 1985. Puisi-puisinya juga banyak tergabung dalam sejumlah buku puisi bersama. Tahun 2012, dia sempat meluncurkan antologi puisi Aktualisasi Waktu dalam bentuk PDF.

Beberapa kali diundang mengikuti acara sastra, baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya: Pertemuan Sastrawan Nusantara dan Hari Puisi di Kem Kijang, Kota Bahru, Kelantan, Malaysia (GAPENA 1981), Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru, Malaysia (1999), dan Agustus 2003, dia diundang untuk menulis di Milhac de Aubroche, Prancis oleh seorang kawannya secara pribadi.

Bang Iwan juga tercatat sebagai jurnalis di bebaerapa media, seperti Harian Gala (1985), Harian Pagi Priorotas (1986-1987), Harian Terbit (1988), Harian Bisnis Indonesia (1989 Jan-Peb), Harian Media Indonesia (1989), SKM Atjeh Post dan SKM Peristiwa (1989-1990), Majalah Anita Cemerlang (1990-1992), Harian Ekonomi Neraca (1992-1994), Harian Analisa (1994-1997), Harian Jakarta (2003-2004), Harian Peta News (2004), dan lainnya. 

Setelah pensiun dari dunia jurnalis, Bang Iwan memilih menjadi supir taksi express di Jakarta. Tidak seperti supir taksi umumnya, dia justru banyak menghadiri acara sastra, atau mengantar orang ke acara sastra dengan taksinya secara cuma-cuma. Tahun-tahun terakhirnya, dia memutuskan keluar dari taksi, dan merintis usaha Black Garlic 123 dan Black Coffe 123. Dengan cara begitu, dia semakin intens bersastra dan bersilaturahim dengan kawan-kawannya. “Apapun hidup, sastra selalu membuat saya bahagia,” ucapnya suatu seketika.




Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.