Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Gerakan Guru Membangun Reputasi - Maman S Mahayana

Gerakan Guru Membangun Reputasi - Maman S Mahayana

oleh Maman S Mahayana

Dua siswa SMP - sebutlah Kim dan Roh - memanfaatkan waktu istirahatnya di sekolah. Mereka bercengkerama, bercanda. Peristiwa lumrah yang dapat dipastikan, terjadi di semua sekolah. Candaan mereka lalu meningkat jadi pukul-pukulan. Rupanya, Kim terlalu keras memukul. Roh pun menangislah. Wali kelas kedua siswa itu tahu. Dipanggillah keduanya ke kantor Kepala Sekolah. Setelah dinasihati, kedua siswa itu diminta agar sebelum pulang, mereka ke Kantor Kepala Sekolah. Pihak sekolah akan menitipkan surat untuk kedua orang tua mereka. Ternyata, itu surat panggilan. Orang tua kedua siswa itu diminta datang ke sekolah.

Esoknya, orang tua mereka datang. Berkumpul di Kantor Kepala Sekolah. Dijelaskan oleh Kepala Sekolah tentang larangan bagi siapa pun melakukan tindak kekerasan di sekolah. Tentu saja kedua orang tua siswa itu sudah tahu. Ada peraturan demikian. Sebelum anak-anak mereka menjadi siswa di sekolah itu, peraturan tersebut sudah disosialisasikan. Lalu, apa yang dilakukan orang tua Kim yang anaknya dianggap telah melakukan kekerasan kepada Roh? Ia minta maaf kepada sekolah, kepada kepala sekolah, wali kelas dan semua pihak di sekolah itu. Ia juga minta maaf kepada orang tua Roh, juga kepada Roh sendiri.

Sampai di sini, boleh jadi peristiwa itu seperti biasa saja. Tidak luar biasa. Tidak pula istimewa, meskipun di dunia pendidikan di Indonesia, peristiwa itu hampir mustahil terjadi. Siapakah gerangan orang tua Kim, sehingga merasa perlu meminta maaf kepada semua pihak? Belakangan diketahui, ayah Kim, seorang pejabat penting di pemerintahan—jika di Indonesia, setingkat Dirjen Pendidikan.

Cerita itu bukan fiksi. Terjadi di salah satu SMP (Gongreung Jung Hakkyo) di Korea Selatan. Seorang pejabat tinggi pemerintah, meminta maaf, karena anaknya di sekolah telah melakukan kesalahan. Itulah salah satu potret dunia pendidikan di Korea. Di sekolah, semua siswa diperlakukan sama. Masyarakat memandang guru sebagai orang yang akan menjadikan anak-anak mereka terdidik, terpelajar, dan kelak akan menjadi Manusia yang sebenar-benarnya Manusia. Sekolah adalah tempat terhormat yang mesti dijaga kehormatannya oleh semua pihak, bahkan oleh presiden sekalipun! Oleh karena itu, guru adalah profesi yang sangat dihormati. Barangkali, dua atau tiga tingkat di bawah dewa.

Ada pula kisah lain yang sering dikutip untuk menunjukkan pentingnya profesi guru. Masih ingatkah pertanyaan Akihito, Kaisar Jepang ketika melihat korban manusia tak terhitung jumlahnya akibat bom atom di Hirosima dan Nagasaki? “Tinggal berapa orang lagi guru yang masih hidup?” Mengapa guru yang pertama kali ditanyakannya? Itulah kesadaran seorang kaisar akan pentingnya peranan guru, sebab gurulah yang akan membangkitkan martabat bangsa.

Di kawasan Asia Timur, posisi guru memang begitu terhormat. Sebab, lewat peranan guru, sebuah bangsa dapat mencapai kemajuan. Lewat sentuhan guru pula, seseorang dididik menjadi manusia beretika, beradab, dan berpengetahuan. Itulah gerbang yang dipersiapkan guru bagi perjalanan hidup para muridnya, seorang anak manusia. Ia mesti menyediakan jalan yang benar, jalan yang mengantarkannya menjadi manusia punya kesadaran kemanusiaan. Maka, ketika ada seorang guru melakukan kesalahan, habislah hidupnya. Masyarakat tidak akan memberi tempat bagi guru yang tercela. Ia mati sebelum nyawanya melayang.
***

Bagaimana dengan profesi guru di Indonesia? Pada zaman Belanda, guru-guru Belanda adalah para dewa yang turun dari langit. Ketika ia lewat di jalan desa, aktivitas penduduk harus berhenti seketika. Wajah menunduk. Meskipun tidak bersujud, kepala tidak boleh mendongak. Mata menatap tanah. Penghormatan pada guru-guru Belanda itu, menular pula pada pribumi yang berhasil menjadi guru pemerintah, ambtenaar, dan pegawai negeri. Mereka lalu diposisikan sebagai bangsawan.

Tentu saja sikap guru Belanda dan guru pribumi berbeda dalam memandang penduduk. Bagaimanapun, para guru pribumi pada zaman Belanda, punya kesadaran kepribumian. Ada panggilan Ibu Pertiwi untuk mengabdi pada bangsanya. Oleh karena itu, hampir semua guru pribumi pada zaman Belanda, punya integritas dan kesadaran kepribumian –yang belakangan menjadi kesadaran kebangsaan. Mereka, para guru itulah, yang memainkan peranan penting. Bahkan, jika ditelusuri lebih jauh, lewat peranan para guru itu pula, timbul kesadaran masyarakat akan pentingnya kemerdekaan. Jangan salah, tokoh-tokoh pergerakan, para sastrawan, kaum terpelajar, dan para perintis kemerdekaan kita, sebagian besar berprofesi guru. Para guru itulah yang sesungguhnya menjadikan bangsa Indonesia punya kesadaran kemerdekaan.

Meski begitu, di kalangan para guru sendiri, muncul kesadaran, bahwa peranannya mesti lebih dari sekadar profesi guru. Menyeruak tekad untuk menjadi sosok guru plus, guru yang juga punya peranan lain, guru yang sadar untuk mengembangkan potensi diri. Kesadaran itulah yang membawa banyak guru mengembangkan kariernya di luar profesinya berhadapan dengan para murid berdiri di dalam kelas. Ada kesadaran untuk memberi pencerahan kepada masyarakat yang lebih luas. Hanya dengan cara itu, peranannya tidak sekadar guru siswa di depan kelas, melainkan juga guru bagi bangsa; sosok guru yang memberi inspirasi kepada bangsanya sendiri, dan sekaligus sebagai penegasan, bahwa bangsa ini harus keluar dari keterpurukan, kebodohan, dan kemiskinan. Maka, tidak ada jalan lain, pendidikan adalah jalan utama mencapai tujuan itu.

Jika kita menelusuri riwayat karier tokoh-tokoh pergerakan, para sastrawan, kaum terpelajar, dan para perintis kemerdekaan Indonesia, tidak perlu heran, lebih dari separohnya, mereka pernah menjalani profesi sebagai guru. Entah kebetulan atau tidak, kenyataannya memang demikian. Dari profesinya awalnya sebagai guru, mereka mengembangkan diri, meraih karier yang lebih tinggi, dan “mempromosikan” dirinya lewat karya dan kiprahnya di ten gah masyaraat luas.

Sutan Takdir Alisjahbana, menulis novel pertamanya, Tak Putus Dirundung Malang (1929), disusul dengan novel keduanya, Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), ketika ia menjadi guru SMP di Palembang. Setelah itu, ia hijrah ke Jakarta, dan bekerja di Balai Pustaka. Kakak beradik, Sanusi dan Armijn Pane, sebelumnya juga pernah menjadi guru, sambil ia bersekolah dan menjadi sastrawan. Para sastrawan Balai Pustaka, sebelum namanya terkenal sebagai sastrawan, sebagian besarnya, berprofesi dan berkiprah, sebagai guru. Menjadi guru laksana panggilan hati nurani ketika melihat bangsanya memerlukan pengajaran dan pendidikan. Sedangkan menjadi sastrawan adalah panggilan kebudayaan untuk memberi pencerahan kepada masyarakat bangsanya.

Demikianlah, kaum terpelajar kita, sebelum merdeka, menjadi guru, tidak sekadar puas berdiri di depan kelas. Ia bertekad menjadi guru yang tidak cukup berdiri di depan kelas, tetapi berdiri di tengah kerumuman masyarakatnya, menyuarakan pesan moral, spiritual, intelektual, kebangsaan, dan kemanusiaan, di jagat manusia. Maka, semangatnya adalah menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan universal.
***

Jauh sebelum itu, peranan guru sudah diperlihatkan juga oleh para ulama besar di Nusantara ini. Dapat dipastikan, bahwa Abdul Kadir Jaylani, Abdul al-Rahman al-Batawi, Abdul Samad al-Palimbani, Bukhari al-Jauhari, Famzah Fansuri, Abdulrauf Singkel, Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, Raja Ali Haji, dan sederet panjang para ulama Nusantara, lalu terus sampai pada para ulama dan intelektual abad ke-20, seperti Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, atau Hamka, tidak lain adalah guru yang juga meninggalkan warisannya berupa karya tulis alias buku.

Ada kesalahkaprahan dalam menempatkan posisi para ulama agung kita. Peranan dan kiprah mereka cenderung dibonsai, dikerdilkan, sehingga kerap ditempatkan dalam posisi yang pipih dan sempit, yaitu sekadar berurusan dengan agama dan akhirat. Seolah-olah para ulama besar itu hanya mengurusi doa, solat, dan perkara akhirat. Kesalahkaprahan itu pada gilirannya merembet pada citra mereka sebagai tukang doa, berkutat di dalam masjid atau surau, sambil berharap malaikat menurunan rezeki dari langit. Pandangan itu lalu memunculkan citra negatif, bahwa mereka cenderung egois, lantaran lebih mementingkan urusan akhirat dan harapan masuk surga daripada membantu masyarakat sekitarnya mencapai kemajuan.

Sesungguhnya, mereka –para ulama Nusantara itu—sejak awalnya justru sangat peduli pada nasib dan masa depan masyarakat sekitarnya. Mereka berupaya agar masyarakatnya memperoleh kemajuan dan hidup lebih baik. Cara mencapai kemajuan itu, tidak lain, masyarakat harus memperoleh pendidikan yang baik, tidak terhindar dari kebodohan, oleh karena itu, tidak terjerumus pada kemiskinnan. Dengan kesadaran itulah, para ulama memainkan peranan sebagai guru. Mereka berprofesi sebagai guru masyarakat: mengajar baca-tulis, mengajarkan Quran, ilmu agama, dan juga menulis risalah-risalah keagamaan. Karya-karya mereka itulah yang kemudian disebut kitab kuning. Isinya tidak hanya tentang agama, melainan juga tentang kehidupan kemasyarakatan, filsafat, sejarah, ketatanegaraan, antropologi, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Memang, para ulama sebelum abad ke-20 itu menulis karyanya berupa naskahnaskah (syair atau hikayat) dalam bahasa Arab atau dalam tulisan Arab-Melayu. Itulah masalahnya. Karena naskah-nasah itu ditulis dalam bahasa Arab atau dalam tulisan Arab-Melayu atau yang juga dikenal dengan huruf Pegon, masyarakat dan –terutama— orang-orang Belanda yang tidak dapat membaca naskah-naskah itu, mudah saja mengatakannya sebagai buku agama yang berisi tentang doa dengan segala tetek-bengeknya.

Akibatnya, sampai sekarang, naskah-naskah yang ditulis dengan huruf Pegon atau Arab-Melayu (Arabgundul), sama sekali tidak dimasukkan sebagai buku ilmu pengetahuan. Memasuki awal abad ke-20, para ulama yang terbiasa menuliskan karyanya dalam bahasa Arab dengan tulisan Arab atau menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab Melayu, tetap menulis dengan cara demikian. Tetapi, di antara mereka, ada pula yang menulis dengan huruf Latin. Hasyim Asy’ari, misalnya, meninggalkan sekitar 10 buku yang ditulis dengan huruf Arab, Arab-Melayu, dan huruf Latin. Karya-karyanya mengungkapkan berbagai hal yang berkaitan dengan pengetahuan umum, islamologi, filsafat, kebudayaan, pelajaran agama, ajaran moral dan etika, dan penjelasan tentang hadis Nabi. Jadi, Hasyim Asy’ari, selain sebagai guru yang mengasuh dan mengajar murid-muridnya di pesantren, ia juga menyebarkan pengetahuan dan pemikirannya tidak hanya dalam bentuk tatap muka berhadapan dengan para santrinya, melainkan juga melalui sejumlah bukunya yang dapat dibaca masyarakat luas.

Kiai Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah, selain mengeluarkan risalah-risalah tertulis, juga –bersama istrinya—menerbitkan Aisjiah, sebuah majalah wanita yang kemudian melahirkan beberapa penulis perempuan. Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dikenal juga sebagai guru para pemikir dan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Semaun, Alimin, Muso, Soekarno, Tan Malaka, dan Karyasuwiryo. Karyanya yang banyak memberi inspirasi para tokoh pergerakan adalah Setinggi-tinggi Ilmu, Semurni-murni Tauhid, Sepintar-pintar Siasat. Trilogi pemikiran ini menggambarkan pentingnya dasar perjuangan bagi bangsa Indonesia pada masa itu yang berupa penguasaan ilmu pengetahuan, keteguhan keimanan, dan kecerdasan menerapkan taktik dan siasat dalam menjalankan perjuangan menuju kemerdekaan. Pesan Tjokroaminoto yang terkenal dan menginspirasi para muridnya, berbunyi: “Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah bagai orator!”

Guru sesungguhnya sudah mempunyai modal untuk menjadi pemimpin besar, sebab ia sudah punya pengetahuan dan tinggal menuliskannya. Ia juga sudah terbiasa menjadi orator, sebab setiap saat, ia berbicara di depan kelas. Oleh karena itu, menulislah –apa saja—agar kelak, ia menjadi pemimpin besar. Hamka adalah contoh yang baik, bagaimana peranannya sebagai guru dia kembangan dalam profesinya sebagai sastrawan, wartawan, dan mubalig. Maka, lengkaplah Hamka sebagai intelektual, salah seorang pemimpin besar umat Islam Indonesia.

Demikianlah, pembonsaian dan pengkerdilan konsep guru telah menggiring opini, bahwa guru adalah pengajar yang berdiri di depan kelas. Hanya itu! Salah kaprah dalam menempatkan posisi guru itu diikuti pula oleh adanya jenjang pendidikan yang melegitimasi pencitraannya. Guru SD, misalnya,dianggap lebih rendah (segala-galanya) daripada guru SMP, dan guru SMP lebih rendah daripada guru SMA. Kemudian, dalam posisi yang paling tinggi, tidak lain adalah dosen, pengajar di perguruan tinggi. Maka, dalam jenjang stratifikasi sosial, dosen dianggap paling hebat dibandingkan guru. Wow! Sebuah kesalahkaprahan yang kemudian menjadi opini yang dilegitimasi oleh pencitraan yang dilakukan masyarakat sendiri. Ekornya adalah munculnya anggapan, bahwa dosen ilmunya lebih tinggi daripada guru. Sebuah kekeliruan yang dibenarkan oleh sistem pendidikan kita!

Dosen hakikatnya juga guru. Tidak sedikit dosen yang mengajar mahasiswanya seperti kaset. Dari tahun ke tahun, itu saja yang diajarkan. Tidak ada pembaruan, tidak ada inovasi, tidak ada pula usaha mengembangkan kreativitas. Ia bagai robot. Jika begi tu, apanya yang hebat dari sosok dosen yang demikian? Menulis dan menerbitkan buku adalah salah satu kewajiban dosen. Jika selama kariernya sebagai dosen, tidak satu pun buku yang diterbitkan, ia telah berkhianat pada kewajibannya sendiri. Dalam konteks itu, sudah saatnya, peranan dan kiprah guru atau dosen, dikembalikan sebagai penyebar ilmu yang memberi pencerahan bagi umat manusia.

Sesungguhnya, penjenjangan berkaitan dengan sistem kerja dan birokrasi, bukan dalam dalam konteks peranannya. Jadi, penilaian pada profesi apa pun, mestinya berdasarkan peranan, bukan dari kedudukan dan jabatan. Dengan cara demikian, setiap peranan mempunyai tempatnya sendiri yang sama pentingnya. Itulah yang pernah dilakukan para ulama Nusantara pada masa lalu. Mereka berperan sebagai guru, apa pun kedudukannya, di mana pun tempatnya, dan dalam jenjang bagaimanapun. Peranannya sebagai guru itu lalu diikuti pula dengan karya sebagai buah pemikirannya. Dengan begitu, mereka bukan sekadar guru atau dosen yang cuma hebat di dalam kelas dan dikenal hanya oleh murid-murid (atau mahasiswa) sendiri. Ketika mereka tidak punya kiprah di tengah masyarakat, dan tidak memberi kontribusi apa pun dalam upaya mencerdaskan bangsanya, lalu maknanya profesi guru? Oleh karena itu, menulis bagi guru atau dosen, mesti menjadi bagian integral dari citra guru atau dosen, tanpa perlu sekat stratifikasi itu.
***

Salah kaprah dalam menempatkan posisi guru, dihembuskan pula oleh pemerintah Orde Baru dengan slogan: “Guru pahlawan tanpa tanda jasa.” Sebuah slogan yang kontradiksi. Di satu pihak, guru ditempatkan sebagai “pahlawan” dan di pihak lain, ia tidak perlu (diberi) tanda jasa. Artinya, guru tidak perlu diberi penghargaan. Ini absurd! Bagaimana guru –sang pahlawan—tidak perlu diberi penghargaan, sementara atlet yang memenangi sebuah kejuaraan, dibanjiri penghargaan berupa hadiah uang dan materi lainnya secara berlimpah-ruah? Sebuah bentuk ketidakadilan pada profesi guru. Sebuah perlakuan diskriminatif yang mendapat pembenaran pemerintah. Oleh karena itu, slogan “Guru pahlawan tanpa tanda jasa!” semestinya ditolak, sebab tersirat ada perlakuan diskriminatif di sana.

Citra guru dengan segala kesan negatifnya, muncul pula pada teks lagu Iwan Fals, berjudul “Oemar Bakri”. Bagi saya, teks lagu itu sungguh terkesan memperhinakan profesi guru. Datang ke sekolah dengan sepeda butut; guru jujur cuma bisa makan hati. Perhatikan teks lagu “Oemar Bakri” karya Iwan Fals berikut ini:

Tas hitam dari kulit buaya “Selamat pagi!”
berkata Bapak Oemar Bakri
“Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!”
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu

(*)

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang
S’lalu begitu dari dulu waktu zaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak polisi bawa senjata berwajah garang Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan
“Berkelahi Pak!” jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang Busyet... Standing dan terbang

Reff.

Oemar Bakri ... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri ... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri ... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri ... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Kembali ke (*)

Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan
“Berkelahi Pak!” jawab murid seperti jagoan
Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut Bakrie kentut... Cepat pulang
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Bikin otak seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Kembali kita melihat, citra guru sebagai Umar Bakri, pegawai negeri, penuh pengabdian, jujur, tetapi serbakekurangan. Mengapa pula mesti makan hati? Sepeda butut, gaji dipotong, diledek murid-muridnya, dan seterusnya. Seperti juga slogan “Guru, pahlawan tanpa tanda jasa”, teks dalam lagu Iwan Fals juga kontradiksi. Guru yang menghasilkan para menteri, pemikir, dan seterusnya, mengapa pula mesti dibenturkan dengan kondisi ekonomi yang terkesan seperti mengolok-olok? Boleh jadi Iwan Fals tidak bermaksud begitu. Tetapi teks itu berbicara lain. Oleh karena itu, sudah saatnya guru mengangkat citra dirinya dengan berbagai cara yang kreatif, inovatif, dan berdampak luas. Konsep guru yang kerap ditempatkan sekadar berdiri di depan kelas menghadapi para siswa, meski dipatahkan melalui berbagai kegiatan yang fenomenal dan spektakuler. Kinilah saatnya guru tidak lagi terkungkung tembok sekolah, melainkan berkiprah lewat kegiatan yang berskala nasional, regional, bahkan juga internasional.

Gerakan Seribu Guru Menulis Puisi adalah salah satu upaya mendobrak citra keterkungkungan itu. Lewat gerakan ini, sosok guru tidak hanya melebarkan pergaulannya secara nasional, melainan juga secara internasional. Itulah kesempatan yang baik men jalin hubungan dengan guru-guru di berbagai kota di Tanah Air dan di kawasan Asean dalam ajang kompetisi yang sehat melalui pemilihan puisi terbaik. Puisi karya siapa pun yang kelak terpilih sebagai puisi terbaik, lingkupnya berskala internasional. Dampaknya tidak hanya dapat mengangkat nama dan reputasi diri sendiri, melainkan nama dan reputasi sekolah, dan secara keseluruhan mengangat citra guru yang kreatif dan inovatif dalam tata pergaulan internasional.

Gerakan Seribu Guru Menulis Puisi dapat kita tempatkan sebagai pintu keluar menolak citra guru sebagai Umar Bakri. Slogan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, mesti dipatahkan  melalui gerakan ini. Ayo, kita tunjukkan, bahwa guru dapat membangun dan menegakkan reputasinya sendiri. Gerakan Seribu Guru Menulis Puisi adalah langkah fenomenal dan spektakuler yang akan menjadi catatan sejarah bangsa di kawasan Asean. Gerakan ini juga sekaligus dapat membuka mata masyarakat, bahwa peranan guru tidak cukup berdiri di depan kelas yang terhalang tembok sekolah, melainkan tegak bersuara lantang di tengah masyarakat berbagai bangsa. Dengan demikian, guru kini, mesti dimaknai sebagai pahlawan dengan tanda jasa. Dan tanda jasa itu berupa reputasi yang membanggakan dunia pendidikan secara keseluruhan. Sebuah tiket untuk menjejakkan kaki ke mancanegara!
 
Percayalah!

Bojonggede, 1 Agustus 2018

Baca juga: Hasil Kurasi Gerakan Guru ASEAN Menulis Puisi

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.