Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Rasa (Feeling) Pada Puisi - Indra Intisa

Rasa (Feeling) Pada Puisi - Indra Intisa

(“Antara Merapi Dan Merbabu” Dan “Tanjung Bira Dan Kecapi” Karya: Trista)
oleh Indra Intisa

Penyair cenderung menulis puisi berdasarkan rasa, emosi dan gejolak batin terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan tempatnya hidup. Hal-hal itu semua tentu mempengaruhi daya tangkap indera yang diproses melalui batin penyair sehingga menjadi sebuah puisi. Pengaruh lain yang mempengaruhi penyair dalam membuat puisi adalah kelimuan, kepandaian, agama, kelas sosial, psikologis, dan pengetahuan yang dimiliki, seperti halnya pekerjaan, pendidikan, dsb. Hal-hal itu semua tergabung dalam sebuah unsur yang dinamakan rasa (feeling).

Penulis yang bernama Trista ini, tercatat sebagai sarjana Pertanian di UNS. Dalam pergelutannya di dunia pendidikan, tentu banyak membahas hal-hal yang terkait ilmu pertanian. Ilmu-ilmu yang diperoleh sedikit banyaknya akan berpengaruh terhadap cara pandang dalam kehidupan. Begitu juga ketika menulis sebuah puisi, sekalipun tidak dalam artian fokus dan konkret, tetapi dalam pandangan umum—simbol-simbol yang ada pada keilmuan tersebut akan mempengaruhi secara garis besar dalam tulisannya. Setidaknya terkait dengan alam, biologi, geografis, dan hal-hal lain yang mungkin ada sangkut-pautnya—berdekatan dengan keilmuan tersebut.

Kecintaanya pada alam, sebenarnya itu sudah terpatri di dalam hatinya paling dalam. Hal itu bisa semakin menjadi ketika ia memperoleh pendidikan yang berhubungan dengan alam (tumbuh-tumbuhan: hutan, pohon, dst). Mata hatinya semakin terbuka jika melihat ketidakadilan terhadap alam, kerusakan alam, atau fenomena-fenoma tertentu yang mempengaruhi arus hidup—keseimbangan alam. Mari kita simak puisinya berikut ini:

ANTARA MERAPI DAN MERBABU

Antara Merapi dan Merbabu, aku menyeru
Aku seperti mengenalmu berabad-abad lalu
Aku merasa kau ada di mana aku memandang
Lalu kau turun menjadi debu
Hinggap di pucuk cemara tertutup awan kelabu

Antara Merapi dan Merbabu aku menangkap suara paling sunyi
Terus berdenging ke penjuru jantung kuyu
Pinus yang kau bakar telah nyaring di surga
Serpihnya bertebaran merabunkan mataku
Jika ada air, sesungguhnya itulah hujan yang turun dari langit mataku

Antara Merapi dan Merbabu tanahku retak berderak
Pohonku gegas meranggas
Untuk hijau, ia butuh rindang melayang
Tahukah kau jika masih tersimpan harum tanahnya
Yang basah karna hujan begitu mencintai tanahnya

Yogya, 28 Maret17

Kesungguhan batinnya dalam mengamati alam—pengaruh dari banyak disiplin ilmu alam—bisa pula dilebarkan ke dalam debar-debar cinta, sayang dan rindu. Bukankah hakikatnya manusia menulis puisi berasal dari kegelisahan batinnya? Ada banyak filosofis tertentu dari alam yang bisa ditarik dan ditelaah dalam-dalam oleh manusia. Jika di dalam puisi haiku, dikenal dengan istilah pencerahan. Tiba-tiba kita mendapati sesuatu yang positif dari sebuah kejadian—yang ditampilkan oleh alam. Seperti daun gugur, hujan badai, gunung meletus, banjir, dst. Hanya saja cara pengungkapan, cara memanggil, dan memilah-milah dari setiap penyair akan menjadikannya berbeda. Bisa saja alam hanya dijadikan sebagai makna kias—untuk tujuan sebaliknya, bisa pula melalui makna nyata—yang benar-benar terkait dengan alam.

Kecintaan Trista terhadap alam juga berpengaruh terhadap puisinya berikut ini—puisi dengan judul “Tanjung Bira dan Kecapi” telah memberikannya kesan dan pesan yang mendalam. Sungguh, pantai yang terletak jauh di Sulawesi ini benar-benar merasuk ke dalam sukmanya. Ia mangalun layaknya irama-irama syahdu melalui kecapi. Indah sekali, bukan? Cobalah kita duduk di tepi pantai, amati dengan saksama keindahannya, seperti hijau daun kelapa, daun-daun ditiup angin (rasakan tiupannya), pantulan sinar matahari, pasir-pasir yang memutih, laut membiru yang menyatu dengan langit, dst., sungguh merdu, bukan? Seperti pada puisi berikut ini:

TANJUNG BIRA DAN KECAPI

rindu aku di pantaimu yang paling ombak
tempat pasir melabuhkan segala rasa
tanjung Bira, aku menemu harmoni dalam serenade kecapimu
diiringi ribuan gelombang bertalu-talu
engkau debur yang mencium bumi mendayu-dayu

kau
mainkan kecapi berapi-api
melucuti geliat tubuhku untuk menari

anggun pasir putihmu menciumi kakiku
arusmu berkelok memeluk pandanganku

kita hanyalah manusia
sepasang asing tak saling mencari
tetapi saling menemukan
di tanjung Bira setia kecapimu mengalir menjadi desir.

Yogya, 29 Maret '17

Begitulah penyair. Pada semuanya tidak lepas dari kecintaanya terhadap puisi. Hal-hal yang ada pada dirinya, lingkungan, sosial, agama, dan pengetahuan, tentunya akan memberikan sugesti tertentu terhadap puisinya. Tinggal mereka sendiri mampu meramu dan meraciknya menjadi lebih baik dan nikmat. Bravo Trista.

Pulau Punjung, 03 April 2017

Indra Intisa, Penikmat dan Pemerhati Puisi, Dharmasraya.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.