Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Suara Hati, Suara Tuhan - Maman S Mahayana

Suara Hati, Suara Tuhan - Maman S Mahayana

oleh Maman S Mahayana


Suara Hati, Suara Tuhan

KAWACA.COM | Dusta dan bohong! Dua kata yang kini mendadak bikin heboh. Gara-gara
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghadirkan para politikus sebagai saksi
–di bawah sumpah atas nama Kitab Suci, publik seketika terperangah. Dari pengakuan para saksi itu, kita laksana disuguhi pentas palsu yang isinya cara berkilah dan berkelit. Jawaban para saksi terkesan lebih dekat pada dusta dan bohong daripada suara kejujuran untuk menegakkan kebenaran. Kita tak menemukan suara hati nurani. Jawaban tidak tahu, tak ingat bin lupa adalah cara berkilah dan berkelit yang datang bukan dari hati nurani. Semuanya, bukan suara Tuhan. Itulah jawaban hantu yang merayap dari kegelapan hati yang dzulmani, dzalim, lalim! Oleh karena itu, kita gagal menangkap cahaya Tuhan.

Perkara hati nurani sebagai representasi Tuhan, pernah dikumandangkan para penyair romantik. Mereka berkeyakinan: kata hati adalah suara kejujuran. Gerak nurani adalah sentuh kebenaran. Mengingat Tuhan mustahil dusta dan bohong, maka kejujuran itu suara Tuhan. Tugas penyair menyampaikan kata hati, pesan sukma, nafas jiwa, kebenaran nurani. Pesan-pesan kemanusiaan yang keluar dari sukma-batin yang terdalam, diyakini sebagai kejujuran, sebagai pesan kebenaran. Itulah suara Tuhan.

“Tuhan bertahta jauh dalam batinku yang megah,” itulah keyakinan kaum
romantik yang menempatkan kata atau suara hati sebagai representasi Tuhan. Mereka menegaskan, bahwa puisi adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran. Disana, ada cahaya ilahi. Maka pernyataan: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam jiwaku” dimaksudkan sebagai aku sang pencipta kebenaran menurut pikiranku, sebab suaraku adalah kejujuran.

Meski puisi (: sastra) menyertakan juga fiksionalitas, suara kejujuran sastrawan kerap dibungkus metafora, simbolisme, paradoks, atau majas lain. Suara kejujuran itu berada di belakang teks; di balik makna tekstual. Itulah suara Tuhan yang bertahta jauh dalam jiwa. Karya-karya agung kerap memancarkan cahayanya sepanjang zaman. Di sana ada tahta Tuhan dan suaranya memberi pencerahan. Itulah sebabnya, para sastrawan sangat meyakini adanya karya-karya wahyu yang mewartakan semangat apokaliptik.

Kesannya individualistik. Tetapi, begitulah seharusnya makhluk manusia menyampaikan suara hati untuk kemanusiaan. Tuhan di sana sebagai “suara kebenaran, lantaran datang dari kejujuran.” Dalam hubungan kenegaraan, ketika Raja Louis XIV (1643—1715) pamer kekuasaan dengan mengatakan: L’etat c’est moi ‘negara adalah saya’ seketika muncul gerakan perlawanan rakyat. Lahirlah slogan vox populi vox dei ‘suara rakyat, suara Tuhan’ sebagai bentuk penolakan rakyat. Hakikatnya tidak lain adalah menggugat absolutisme penguasa. Di sana, suara rakyat adalah suara kebenaran, suara kejujuran. Sebab, rakyat pada dasarnya adalah makhluk manusia yang paling jujur. Suaranya tak punya kepentingan politis, tanpa pretensi hendak menyeleweng atau bermaksud menyembunyikan kebohongan dan dusta. Pamrihnya pada kejujuran atas kebutuhannya yang paling real, bukan untuk kepentingan ideologi atau golongan. Suara rakyat, suara Tuhan, mengisyaratkan kejujuran dan kebenaran sebagai perlawanan pada penyelewengan kekuasaan.

Suara kejujuran sering diwakili ungkapan: hati nurani. Hati sebagai sumber yang
menggerakkan jiwa-raga. Konon, manusia hidup lantaran roh bertahta dalam hati. Roh itu pula yang menggerakkan hati. Adapun nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Jadi, hati nurani sesungguhnya metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu representasi Tuhan. Itulah sebabnya, hati nurani adalah instansi dalam diri manusia yang mewakili kebenaran dan kejujuran. Ia dengan cara apa pun, tak dapat dibohongi, tak dapat dibujuk, tak dapat pula diajak menyeleweng. Ia tidak bakal tunduk pada dusta!

Hati nurani adalah roh yang mendapat nur, cahaya Tuhan. Mengingat Tuhan diyakini mustahil dusta dan bohong, maka hati nurani dianggap sebagai instansi yang niscaya jujur, ikhlas, apa adanya, tiada rekayasa. Berbeda dengan hati nurani, hati dzulmani adalah representasi kegelapan. Orang dzalim (lalim) adalah mereka yang berhati dzulmani (gelap, penuh dusta).

Kesaksian atas nama Tuhan, mustahil melahirkan kegelapan, jika para saksi di Pengadilan Tipikor itu menyampaikan suara hatinya. Tetapi, yang terjadi adalah suara setan yang piawai berkelit, dan menjawab cukup dengan: tak tahu, lupa, tak ingat, dan entah. Itulah hati yang dibekap gelap; hati yang dikendalikan kepentingan dan pikiran sesat. Maka, pamor nurani pun pudarlah, dan suara hati jadi beku, sebisu-bisunya.

Akhirnya, apa pun yang terjadi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor itu, boleh saja suara Tuhan terbenam dalam hati yang lalim. Tetapi, kesaksian atas nama Tuhan, janganlah dibuat main-main. Kita tunggu saja nanti, azab apa yang akan ditimpakan Tuhan!

____
Dikutip dari: "Memasabodohkan Teori", Maman S. Mahayana, Esai Pengantar Program Penulisan Esai, Mastera (Majelis Asia Tenggara), Bandung, Lembang, 19—25 Agustus 2019.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.