Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Sepanjang Jalan Ia Menangis - Nisa Ayumida*

Sepanjang Jalan Ia Menangis - Nisa Ayumida*

Sepanjang Jalan Ia Menangis
Oleh: Nisa Ayumida*


KAWACA.COM | Sepanjang  jalan ia menangis.

Nyaris tak ada yang peduli. Sesekali orang-orang hanya meliriknya bila lampu motor atau lampu mobil menyoroti badannya yang kurus telah tak terawat. Ia pun hanya menoleh, menghentikan langkahnya disamping mobil atau orang-orang yang sedang berlalu lalang, seperti memberi hormat. Sesekali pula ia menghentikan langkahnya cukup lama.  Dari arah yang agak jauh aku dapat melihat perempuan itu sedang menangis.  Aku juga tahu ia baru melahirkan lima belas hari lalu.  Dan sekarang Ibu anak dua itu kehilanagn buah hatinya. 

Dari jarak kejauhan pula, aku mendengar tangisnya yang begitu menyayat hati.  Sesekali ia menjerit, mengerang riuh disamping jalan raya di bawah pohon kelapa itu.  Sedang orang-orang yang berlalu lalang hanya melirik sinis, bahkan ada yang sampai mengusir. Ia adalah tetanggaku yang tempat tinggalnya juga sama, di bawah kolong jembatan. Ia tinggal dengan ibunya. Aku masih terus mengikuti kemana kakinya melangkah. Bila ia berlari, aku juga menyamai langkahnya dibelakang.  Ibunya, kukenal baik dan matanya selalu lembut. Dulu, Ibunya selalu berpesan.

“Anak gadis tak boleh berjalan-jalan lama diluar tempat ini. Sebab disana, banyak laki-laki liar yang hanya ingin melabuhkan  nafsunya.” Dan jawaban perempuan itu selalu saja ber-iya, Bu.  Aku hanya seorang lelaki biasa yang mengenal keluarga mereka dengan baik.  Ibunya juga sering mengajakku untuk menemani mereka atau sekadar berjalan mencari makan bersama. 

Ah, mengapa dia berlari? Aku juga harus berlari mengejar. Rasanya, detak jantung ini berdegup tak seperti biasanya. Aku tak boleh kehingannya, meski dia tak mau. Setidaknya, aku tak mau kehilangan jejaknya.  Aku hanya mengingat pesan Ibunya ketika hendak pulang menemui Tuhan.  Agar aku selalu menjaga dia. Nyaris setengah meter ia berhenti tiba-tiba.  Aku hampir saja menabrak pot bunga disamping jalan raya. Entah telah berapa jarak yang kami lalui. Orang-orang yang nampak juga begitu asing dimata.  Sesekali, bila melewati jalanan sepi, aku hanya mengandalkan sinar temaram purnama untuk mengejar langkahnya.  Aku hanya mendengar tangis yang sesak dan tertahan-tahan.  Dibawah tiang lampu simpang tiga ia berhenti. Suara tangisnya nyaris menyerupai desau angin dan hampir tak terdengar di pintu telinga. Ia masih menangis. Dan aku kembali teringat.  
***

Hari-hari setelah ia ditinggal Ibunya.  Aku begitu jarang melihatnya ditempat yang bagi kami sudah seperti rumah. Terkadang bila ia datang malam-malam tetangga memandang dengan sinis.  Bila aku ajak mencari makan, ia hanya menjawab “aku sedang menunggu seseorang,” dan jawaban yang begitu membuat aku tak berani menanyakan apapun lagi. Aku hanya mengangguk meski dalam hati begitu pahit. Bila terus memikirkan dia aku takut isi hati ini melompat minta di ungkap. Tak jarang juga aku berpapasan dengan laki-laki yang membawanya pergi dan pulang tengah malam. Bahkan kadang dia tak pulang sama sekali. Meski aku khawatir, namun diri ini tak ada hak. Andai dia mengerti. Andai, andai. Dan hanya andai.

Berbulan-bulan setelah itu terasa begitu lamban.
Ini yang menjadi titik akhir bagiku. Meski malam ini aku masih mengejarnya.  Ketika pada suatu malam dibawah remang jalan lampu kota.  Mereka berciuman. Dan aku tak dapat melihat.  Segera memalingkan wajah dan pergi.  Lalu kedua, setelah aku tahu ia sedang hamil.  Bersamaan lalu aku mengingat.   Kalau di malam insiden ciuman itu ia tak pulang semalaman.  Meski khawatir, aku menahan diri. Sebab ia telah punya orang. Lalu ke esokannya ia pulang dengan wajah kusut. Para tetangga memandangnya dengan kening berkerut. Dari jalannya aku tahu, seseorang telah menidurinya.  Hanya kemudian aku tunggu sampai ia benar-benar mengaku.

Sedang di hari-hari selanjutnya, nyaris tanpa salam penutup.  Laki-laki itu pergi tanpa meninggalkan pesan apapun.  Aku juga turut mencari meski ujungnya tak ada hasil.  Laki-laki itu hanya meninggalkan cinta dan benih anak dalam kandungannya.  Meninggalkan luka yang begitu dalam turut aku rasakan.  Hatiku hanya terus mencelos, mengumpat begitu kuat. Dasar bajingan, dasar bajingan..!. Malam-malam panjang setelahnya juga dilewati dengan isak tangis yang kerap membuat para tetangga bertanya-tanya. 

Sekarang,, setelah melahirkan. Dari beberapa kedip mata. Aku melihatnya sedang duduk dipinggiran jalan lampu merah.  Tubuhnya ringkih, matanya kuyu. Ada duka mendalam begitu perih yang tak akan orang tahu. Aku memanggilnya dari jauh. Menyaingi deru mesin kendaraan malam.  Setengah berteriak aku memanggilnya lagi. Sebab aku tahu kejadian tadi sore, aku tahu apa yang harus aku katakan. Namun ketika menoleh ia malah berlari, berlari lagi.  Dalam sisa nafas aku pun mengejar.... “Jangan ikuti aku.” Begitu yang aku paham dari teriakannya. Dengan suara yang  aku perjuangkan agar dapat ia dengar, aku menjawab, “Tunggu.” Namun ia terus berlari tak hirau meski aku terus berteriak dari belakang. Di antara degup jantung yang melompat dan rasanya  mau copot ia memilih jalan curang,  berbelok arah menuju jalanan beraspal. Aku berteriak semakin kencang ketika suara decit rem memenuhi daun telinga dan ban mobil berwarna hitam itu menyentuh tubuhnya. Tangisannya berakhir dipinggir jalan. Aku melihat seorang pemuda membuka pintu mobil dengan bertelanjang dada. Membungkus tubuhnya yang berlumuran darah dengan kemeja yang tadi dipakainya. Lalu mobil itu melaju dengan kecepatan sedang sampai lampunya hilang dikelokan jalan.

Aku bahkan belum sempat menjelaskan kejadian tadi sore ketika seorang pemulung sampah tiba-tiba membawa dua anaknya yang menghampiri kakinya. Sebab dua anaknya terus merengek mengeong haus. Dari tadi malam perempuan itu tak pulang dan berpamit padaku untuk mencari laki-laki itu.

09 Nopember 2016

*Santri PP. Annuqayah Lubangsa Putri. Sedang bergiat di Kompas Pasra, CPK Lubangsa puri & Supernova Ikstida.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.