Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Narudin dan Hal-Hal yang Mengkhawatirkan - Shine Ane El-Poesya*

Narudin dan Hal-Hal yang Mengkhawatirkan - Shine Ane El-Poesya*

Narudin dan Hal-Hal yang Mengkhawatirkan
oleh Shine Ane El-Poesya*

#KAWACA.COM - Cukup menyedihkan sebenarnya, melihat fenomena perbincangan sastra yang berkembang belakangan di media soisal. Lagi-lagi, kita menonton sebuah dagelan yang (jika itu benar-benar sebuah dagelan) seharusnya bisa membuat kita terhibur dan terpingkal-pingkal di tengah kecemasan zaman, tetapi alih-alih fenomena tersebut malah menohok kesadaran kita sebagai pembaca sastra.

Ada dua hal penting di sini yang hendak saya sampaikan. Pertama, paling tidak pada pertanyaan mengapa diskursus kesusastraan kita selalu gagal untuk maju? Padahal di sana-sini banyak bertebaran orang yang memiliki ambisi sebagai seorang pengkritik?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya memiliki asumsi bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan kebelum-hadirannya seseorang yang betul-betul mencurahkan seluruh upaya hidupnya demi kemajan kesuastraan kita, yang memang menggantungkan kecintaan serta gairah hidupnya di sana, sehingga yang terjadi adalah munculnya sempalan-sempalan juga kengawuran-kengawuran epistemologis yang, bahkan untuk mewakili sebuah eksamplar dari sebuah tradisi kritik saja terasa tidak.

Banyak dalam berbagai grup sastra, yang, seoalah-olah ingin tampil sebagai seorang “kritikus” tetapi tidak menunjukkan kebernasannya dalam mengkritik sekaligus menggali berbagai karya sastra dari (terutama) tradisi kesusastraannya sendiri. Di sana seringkali kita lihat, dengan memboyong berbagai buku-buku dan karya-karya puisi dari negara luar, dengan berbagai alibi “kepayahan karya” di negara sendiri, mereka berlomba-lomba untuk “menerocosi” karya-karya orang lain tanpa dapat menunjukkan kejelasan argumen dan proyeksi kesuastraan yang coba dibangun. Seperti satu proyek studi banding (dengan watak kolonial yang demen menjajah generasinya sndiri) yang tidak pernah rampung.

Banyak yang--seolah-olah dengan heroik, mencoba “menyampah-nyampahi” karya orang lain tanpa sebuah visi kesusastraan yang jelas, menocaba menempatkan kritik sastra pada posisi yang “naggung” antara “filsafat” dan “slogan”--terlalu berambisi untuk memeriksa tingkat kelogisan dalam penggunaan bahasa (di era di mana tanda sudah bisa benar-benar digunakan dalam konteks ketidaklogisannya!), tetapi juga tidak kunjung demonstratif sebagai sebuah kerja analitik dan logis, sehingga ketika kita menyimaknya, kita tak mendapatakan apa-apa kecuali berbagai pemeriksaan karya yang amat kering (bahkan untuk mencapai tahap kering pun tidak!) serta hujatan-hujatan naif yang tak juntrung arah, yang justru lebih menggambarkan satu generasi tua yang tengah un-secure dalam keberadaannya sebagai yang eksis, di depan generasi muda dengan berbagai fenomenanya ketimbang sebagai sebuah karya kritik.

Di sisi lain, sebenarnya kita patut bersyukur dengan munculnya orang seperti Saut Situmorang yang berhasil menancapkan sebuah tradisi epistemologis yang proporsional (sebagai sebuah filsafat kritis sekaligus sebagai sebuah kritik kesusastraan) melalui Politik Sastranya. Terlepas dari segala konsekuensi politik dan moral yang ia tempuh, kemunculannya sebagai sosok, dalam khazanah kritik sastra cukup membuka kesadaran kita akan sesuatu, serta memuaskan hasrat kita terhadap karya-karya kritik untuk bisa dibaca sebagai sebuah tradisi--Katrin Bandel misalnya menulis berbagai catatan di bawah tradisi ini, yang meskipun secara sujektif, terkadang juga seringkali terlampau ambisius terhadap sebuah masalah.

Semanjak tahun 2000an yang sama, pula kita patut bersyukur, dengan kerja-kerja akademis yang dilakukan seorang dosen dan profesor UGM Faruk Tripoli dengan berbagai terbitan-terbitan buku panduan metodologi kritik sastranya. Dari sana kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana “sistem operasi” kritik sastra seharusnya dapat bekerja secara ilmiah dengan batasan-batasan metodis tertentu, sebagaimana pernah disuarakan secara lantang pula oleh Saut prihal metode ilmiah dalam kritik sastra.

Di tempat lain, dengan status ke-profesoran yang sama, Abdul Hadi W.M. di Universitas Paramadina, beberapa tahun ke belakang tengah menerbitkan satu buku pengantar menganai Hermeneutika Sastra Timur dan Barat (diterbutkan oleh penerbit Sadra Press), di mana ia kembali mengangkat Ta’wil sebagai satu bagian dari metode krtitik sastra, yang pernah ia geluti semenjak tahun 70-80an. Bahkan hal tersebut ia gunakan sebagai landasan teori dalam penggarapan Desertasinya tentang Hamzah fansuri di Universitas Sains Malaysia.
Ini menarik sebenarnya andai kita ingin cermati lebih dalam sebagai sebuah tradisi yang perlu dikembangkan dalam diskursus, ketimbang kita terus berputar-putar pada kebingungan dan retorika kosong yang sama bertahun-tahun.

Kedua, perkara Narudin yang amat melelahkan dan hal-hal yang tak pernah selesai. Terakhir membaca tulisan Narudin menganai “Film sebagai Karya Sastra,” saya langsung teringat akan dua hal: 1. Pada makalah review film oleh penulis, yang dulu pernah dijadikan bahan diskusi di kampus bersama , dan 2. Tulisan pengantar narudin tentang manuskrip 50.000 Ma’(w)ar--

1. Pada makalah tersebut, saya mengulas film menggunakan salah satu pendekatan di mana pendekatan kesusastraan digunakan sebagai landasan pijak, dengan asumsi teoritik unsur-unsur karya sastra memang ada di dalam sebuah film. Film, disikapi sebagai sebuah kerja kesenian yang di dalamnya memang terdapat unsur-unsur sebagaimana karya sastra, adalah merupakan sebuah hal yang wajar, tidak aneh, oleh karenanya bukanlah sebuah hal yang mesti dijadikan perdebatan yang relevan saat-saat ini.

Karenanya hal tersebut memang telah berkembang lama. Silah cek laman cinemapoetika[dot]com tentang perkembangan teori kritik film yang hingga beberapa sesi membahas isu yang relevan tentang ini. Dengan sebuah catatan, film disikapi sebagai karya sastra adalah sebuah “paradigma” kritik film, bukan sebagai status ontologis dari film itu sendiri sebagai karya seni visual. Ingat, sekali lagi sebagai sebuah paradigma kritik, dan bukan sebagai status objektifnya sebagai karya seni yang punya sebab finalnya tersendiri (status teleologisnya).

Kita bisa saja menyinggung--sebagaimana diungkap oleh Narudin bahwa, film adalah sebagai sebuah pergerakan kontemporer dari mode sastra tekstual ke mode sastra visual. Namun agaknya Narudin memang kurang memahami duduk masalah perkembangan ilmu film, bahkan perkembangan sastra kontemporer di Indonesia itu sendiri. Kalau pun ingin memiliki pandangan demikian, seharusnya dia menemukan lebih dulu akar yang kuat dari dua hal tersebut, dngan kapasitas yang mumpuni, dan bersabar untuk tidak bicara terlalu dini.

Dari komentarnya mengenai struktur idiosinkratik film yang pararlel dengan karya tekstual sastra, seperti terjadi dalam drama, (yang juga telah dihighlight pedas oleh Dedi triyadi sebagai kesalahan menerjemahkan) Narudin juga agaknya melewatkan bahwa pada era klasik Aristoteles telah memposisikan status yang sejajar itu antara karya drama (sastra) dan karya-karya seni lainnnya dalam penciptaan (poesis)nya. Tetapi, kesamaan tersebut adalah kesamaan dalam proses kreatif, dalam teknik (dan bukan pada status ontologis karya) yang pada saat itu (di Yunani) banyak digunakan metode mimetik dalam berbagai kegiatan kesenian.

Dari komentarnya tentang seni pertunjukan, Narudin juga agaknya tidak memahami duduk ontologis antara drama dan pertunjukan (yang dalam tradisi yunani diwakilkan dengan kata Theatrhon); Drama (Dromoi) adalah teks, sebuah karya sastra dari salah satu unsur sebuah pertunjukan. Sedangkan perwujudannya sebagai pertunjukan--baik itu sebagai teater maupun film, adalah sebuah karya lain dengan medium yang lain. Hal tersebutlah yang membuatnya paralel di satu sisi, tetapi justru sangat berbeda secara onto-teleologis di sisi lain.

Namun agaknya di sini Narudin mengulang keklisean Sapardi beberapa waktu lalu yang mengatakan masa depan sastra saat ini bisa jadi mengarah pada aspek visual, padahal hal tersebut sudah berkembang jauh-jauh tahun sekali, ketimbang mencernanya dengan kritis dan relevan. Terlebih Narudin melakukan pengulangan sudut pandang yang bahkan di tempat yang salah. Sebagaimana ia mengulang kekeliruan sudutpandang Sapardi tentang Jokpin mengenai puisi-puisi yang syarat unsur Freudiannya. [keterlaluan!]

2. Pada saat menulis kritik atas manuskrip “50.000 Ma’(w)ar; sebuah antomena sajak #10huruf,” (silah cek google: Posibilitas semantik sajak 50.000 Ma’[w]ar--) dengan tingkat kehati-hatian yang patut dipuji, Narudin sempat menggambarkan “kumpulan Ma’ar” dalam manuskrip tersebut sebagai sebuah “Quasi eksponen” dan sekaligus juga sebagai “Quasi epigon”, di mana antomena tersebut diletakkan dalam sebuah ketegangan antara antara konvensi dan inovasi secara bersamaan. Pada saat itu posisi “menunda” demikianlah yang bisa saya hormati sebagai sebuah hasil dari kritik analitik yang cukup memuaskan, terlebih dilandaskan dengan pendekatan lingustik yang konsekuen. Sebelum karya tersebut dilempar ke tengah sejarah,

Namun agaknya, dalam tulisannya mengenai Film sebagai Karya Sastra, ia kembali menggunakan peristilahan ketegangan antara konvensi dan inovasi tersebut dengan berbagai kejanggalan-kejanggalan yang tidak dapat ditolelir. Seperti misalnya, tiba-tiba saja ia menganggap karya fil sebagai karya sastra tanpa pengkajian objek yang jelas, penggunaan alat bantu teoritik yang hanya bersandar pada definisi KBBI yang amat lemah, serta pemahaman dalam bidang ilmu film dan drama yang minim. Bisa kita lihat dari kesemrawutannya mengutip Brecth dalam tulisannya yang entah hendak menandakan subjek apa.

Satu hal yang kemudian terlihat sebagai sesuatu yang benar-benar konyol adalah ketika ia tengah menulis satu ulasan mengenai fenomena kesusastraan kontemporer tempo lalu (di sini saya tidak membahas kualitas ulasannya tersebut) dengan ambisi menghabisi hampir seluruh sastrawan-sastrawan kita, di sisi lain, ia memunculkan satu sosok nama “ke tengah gelanggang” yang sebelumnya pernah ia hujat mati-matian. Bahkan seolah-olah ia ingin mengedepankan sosok tersebut sebagai satu prototype Avangardis kesusastraan Indonesia tanpa mempertimbangkan banyak hal seperti kemunculan berbagai genre puisi dari generasi yang lebih muda, perkembangan tradisi penulisan puisi dari berbagai komunitas, tulisan-tulisan yang ia produksi sendiri sebelumnya, dst. dst. Duh!

Di sini kita kembali melihat, bagaimana Narudin bersikap amat oportunis dalam pengembangan diskursus kesusastraan, yang justru melanggar janji-mora11lnya sendiri selaku “pengkritik tanpa ampun” [sic!] sebagaimana terus diwartakan oleh dirinya sendiri di berbagai unggahan. Hal tersebut cukup menghawatirkan ketika di satu sisi ia sebisa-bisanya mengkritisi banyak hal dengan ambisius, tetapi di sisi lain sebisa-bisanya ia memuji-muji karya orang lain tanpa pendasaran yang bisa dibaca sebagai sebuah tulisan yang mencerdaskan. Malah sebaliknya, mencontohkan kedogolan.

Bagi saya, sebagai generasi yang lebih muda, melihat usianya yang masih tergolong muda, Narudin sejauh dia sadar akan kelebihan dan kekurangannya, sejauh dia masih tetap berada di jalur kesuastraan yang tidak mencederai komunitas sastra yang lebih luas, tidak keras kepala, bisa menerima kritik sebagai proses dialektika yang lumrah saja, dan terutama, berhenti memblokir-blokir orang yang tak sepaham, tidak narsisi dengan keterbatasan ilmunya, selagi ia terus mau belajar, dengan mengurangi ambisi-ambisinya yang tidak penting, agar tak ditertawakan dari kota ke kota seperti badut dalam sirkus, tetap seseorang yang memiliki potensi sebagai pengulas yang baik.

Jakarta 11:27 am, 11-11-2017

*Mahasiswa Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Buku puisinya yang baru saja terbit Kotak Cinta (2017)

Baca Juga:

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.