Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi sebagai Sikap Hidup Kemanusiaan dan Kepenyairan - Sofyan RH. Zaid

Puisi sebagai Sikap Hidup Kemanusiaan dan Kepenyairan - Sofyan RH. Zaid

Puisi sebagai Sikap Hidup Kemanusiaan dan Kepenyairan
oleh Sofyan RH. Zaid


Sofyan RH. Zaid



Puisi hanyalah bukti hidup. Jika hidupmu terbakar dengan baik, puisi hanyalah abunya.

Leonard Cohen


Pembuka

Kadang kita begitu sukar mengetahui sikap hidup seorang penyair, kecuali melalui puisi-puisinya. Puisi merupakan palung paling jujur dalam menampung sikap hidup penyairnya. Karl Marx -misalnya- dipuja sebagai ‘nabi kaum kiri’, namun dia tidaklah kiri di dalam puisi-puisinya. Sikap hidupnya berbeda antara di dalam Das Capital dengan di dalam puisi-puisinya, misalnya“Untuk Jenny” yang ditulis pada November 1836. Di dalam puisi tersebut, terasa bagaimana sikap hidup Marx yang berbeda dari yang dikenal orang selama ini.

Puisi yang dapat kita temukan dalam A Book of Songs, Marx Engels Collected Works Vol. I terjemahan Clemens Dutt itu menggambarkan bagaimana sikap Marx terkait perasaannya pada Jenny von Westphalen. Baginya “kata-kata dusta, bayang-bayang hampa, tak lebih dari sesuatu yang menyesakkan hidup dari tiap sudut, dan selamanya manusia akan melarat, menemani cahaya hatinya dalam sunyi”. Kata “cahaya” di sini bisa bermakna cinta, kebenaran, atau apapun yang bersifat ideal. Kita tidak perlu menertawakan Marx dengan sikap hidupnya itu, sebab produk pemikiran memang selalu berbeda dengan produk perasaan, apalagi dalam puisi.

Sapardi Djoko Damono dalam Bilang Begini Maksudnya Begitu (2016) menulis: “Penyair menggambarkan apa yang terjadi pada dirinya, atau juga bisa pada hal di sekitarnya, tanpa berkomentar kecuali hanya untuk menyiratkan perasaan atau pikirannya”. Dalam puisi Indonesia terdahulu, hal ini bisa kita lihat misalnya bagaimana sikap hidup Chairil Anwar dalam“Aku”, atau Sutardji Calzoum Bachri dalam “Walau”. Begitu pula dengan enam penyair dalam Antologi Puisi Arkais ini. Puisi-puisi dalam buku ini sebagian menyiratkan sikap hidup penyairnya, tentu tanpa mereka bermaksud ‘membuka diri’ atau ‘menggurui pembaca’. Mari kita selami satu persatu penyair dalam buku ini.

Tubuh Imajis Agung Pranoto

Penyair kelahiran Trenggalek, 1966 ini dikenal sebagai penggerak sekaligus akademisi sastra. Pada “Tubuh Imajis” dia menulis:

malam-malam senyap, aku ingin mencari warna baru
sekali-kali aku ingin selingkuh di tubuh-tubuh puisi
kukerahkan segala tenaga, rasa berlama-lama
hingga kudapatkan multi orgasme

lalu, aku tak terasa terlelap bersama nyanyian dengkur
saat terjaga dan kembali prima, ingin kuraih kembali
makna tubuh puisi hingga puncak ke sekian

ohoi istri, janganlah cemburu
kini kusiapkan imajinasiku untukmu

Puisi tersebut begitu kuat menyiratkan sikap hidup penyairnya ketika pada larik “sekali-kali aku ingin selingkuh di tubuh-tubuh puisi... ohoi istri, janganlah cemburu”. Bila ada istilah “puisi adalah pasangan penyair setelah pasangan hidupnya yang sah, baik menjadi pasangan pertama atau kedua. Semua kembali pada cara pandang penyair masing-masing.

Namun dalam puisi Agung ini, puisi merupakan ‘selingkuhan’ di mana istrinya sebagai yang pertama. Sikap hidup semacam ini menunjukkan adanya totalitas dalam berpuisi. Dia menulis puisi tidak sekadar hobi atau mengisi waktu luang, tapi ada maksud dan tujuan luhur yang hendak dicapai bersama puisi. Tentu, sikap hidup seperti ini juga yang akan membuat pasangan kita cemburu.

Itu artinya, menjadi pasangan hidup seorang penyair sangatlah berat, dia tidak hanya akan cemburu pada orang lain, tapi juga pada puisi. Selain itu, jika ada pasangan kita rajin membaca puisi yang kita tulis, janganlah langsung dianggap pasangan kita juga suka pada puisi, jangan-jangan dia tengah melakukan investigasi; untuk siapa puisi ini ditulis? Wajar jika Marilyn Monroe pernah bercanda; “Saya suka lelaki yang di dalam dirinya ada puisi, tapi saya tidak suka penyair”.

Alvin Shul Vatrick Kembali pada Hening

Penyair kelahiran 18 Oktober 1977 di Luwu, Sulawesi Selatan ini dikenal aktif dalam dunia penerbitan dan menjadi editor di FAM. Pada Kembali pada Hening dia menulis:

Biarlah kusendiri ... mengarung jelaga
Memahat harap di pekat mendung
Bukan tentang cinta, atau pula benci
Tetapi bagaimana cinta dan benci adalah satu!
Melebur, dan tidak lagi menjadi rasa
Yang mengikat langkah dalam kembaraku
Menuju hening, pulau sunyi tak terhuni oleh kata
Tempatku bermunajat, menerjemah sajak bening

Sikap hidup Alvin dalam puisi tersebut seakan dia ingin jadi ‘jomblo keabadian’ sebagaimana kaum sufi. Jomblo dalam artian terbebas dari hal-hal yang mengikat kembaranya seperti cinta dan benci pada mahkluk. Dia ingin “....bagaimana cinta dan benci adalah satu! / Melebur, dan tidak lagi menjadi rasa”.

Kita ingat cerita kesayangan orang-orang tarekat perihal Robiah dan setan. Dari begitu penuhnya cinta kepada Allah, sampai tidak ada ruang benci Robiah yang tersisa kepada setan. Pada titik ini, Robiah tidak lagi merasakan cinta dan benci -kepada selain Allah- sebagai rasa, melainkan hanya hening atau kekosongan dari segala mahkluk.

Melalui puisinya tersebut, Alvin telah menjadikan hening sebagai ruang kembali yang dia sebut sebagai “pulau sunyi tak terhuni oleh kata / Tempatku bermunajat, menerjemah sajak bening”. Maka, di dalam hening itulah, dia merasa merdeka dari segala ikatan, kecuali dari ‘satu-satunya’ yang dia puja. Di mana dia bisa tenang bermunajat dan berkhalwat dalam hening. Kembali pada hening yang bening sebagai sikap hidupnya bisa dikampanyekan secara bersama-sama di tengah hingar bingar kehidupan dunia zaman sekarang.

Narasi Kupu-Kupu Arsyad Indradi

Penyair sepuh kelahiran Barabai, 31 Desember 1949, yang akrab disapa ‘abah’ ini juga dikenal sebagai tokoh sastra, pejuang literasi, dan seorang penari yang andal. Pada Narasi Kupu-Kupudia menulis:

Hakikatnya akulah kepompong
Metamorfosa bergantung di selembar daun
lalu menetas berupa kupukupu
lalu terbang menurut takdir
yang telah terikrar
sewaktu masih segumpal darah
Perjanjian itu ditandai ruh berupa sayap
Lalu diperkenankan mengembara di alam ini
Sampai pada batas waktunya

Mempercayai takdir merupakan salah satu rukun iman, dan inilah sikap hidup Arsyad Indradi dalam puisi tersebut. Arsyad mengandaikan perjalanan hidup itu serupa “...akulah kepompong / Metamorfosa bergantung di selembar daun / lalu menetas berupa kupukupu / lalu terbang menurut takdir” sesuai ikrarnya sewaktu masih menjadi kepompong.

Dalam filsafat, takdir terbagi menjadi dua; absolut, sesuatu yang tidak bisa kita hindari, dan relatif, sesuatu yang masih bergantung pada usaha manusia. Sebagaimana takdir dalam bahasa Inggris (divine decree), ada hal yang menarik dalam “In The Urantia Book”, yaitu keabadian manusia terletak pada menemukan Tuhan melalui setiap pilihan dalam hidupnya (destiny). Sedang kesementaraan manusia terletak pada keputusan-keputusan pribadinya, baik yang bersifat baik maupun buruk (fate).

Menurut Arsyad, manusia diperkenankan untuk hidup (mengembara), namun jangan lupa, pengemberaan itu juga punya batas sebagai takdir manusia sampai pada waktunya, yaitu kematian. Sikap hidup semacam ini, penting kita miliki dalam hidup ‘yang perlahan meninggalkan kesejatian’ sebab perubahan zaman, agar kita tidak mabuk lautan atau lupa daratan.

Ada yang Belum Embie C Noer

Penyair kelahiran Cirebon ini lebih dikeal sebagai komposer untuk musik Teater Kecil Arifin C Noer, Teater Koma N Riantiarno, dan sejumlah film. Pada Ada yang Belumdia menulis:

Semua sudah kutulis
Ada yang belum
Kejahatanku yang kusembunyikan
Kututupi senyuman dan pengetahuan

Luar biasa satir sikap hidup Embie ini, bagaimana tidak, dia sadar sepenuhnya sebagai manusia yang terdiri dari kebaikan dan kejahatan seperti halnya dua sisi mata uang. Namun meski begitu, manusia memang lebih suka mencitrakan dirinya baik, dan berjuang menyembunyikan kejahatannya dalam senyum dan pengetahuan. Hal ini persis politikus yang tidak ‘satu kata satu perbuatan’, penjahat yang berbulu agama, atau dokter yang memeras pasien dengan ilmunya. Maka, wajar jika Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi sesamanya, kapan melolong, dan kapan memangsa.

Sikap hidup Embie ini sejalan dengan Emha, bahwa tidak ada pertalian positif antara ilmu pengetahuan dengan kepribadian seseorang. Orang yang memiliki ilmu tinggi -bahkan religius-tidak serta merta menjadi orang baik yang bijaksana.  Paling tidak, kesadaran semacam ini bisa menjadi obat penawar ketika suatu waktu kita kecewa pada orang yang kita percayai, atau cintai karena kejahatannya.

Membaca puisi Embie tersebut akan mengingatkan kita pada Don Corleone bahwa di balik kesuksesan besar seorang tokoh selalu tersimpan kejahatan yang besar. Dengan demikian, Hsun Tsu menjadi benar kalau “pada hakekatnya manusia itu jahat, dan memerlukan disiplin yang keras, untuk menjadi baik dan bijak”.

Pintu Nirwana Kehn Iskan

Penyair kelahiran Enrekang, Sulawesi Selatan ini juga dikenal sebagai esais, dan novelis. Pada Pintu Nirwanadia menulis:

Kudengar kabar tentang kau yang dikhianati
Kepedihanmu adalah mimpi buruk jagaku
Di tonggak kesetiaan aku bersandar menanti
Telah kubenahi aral di jalan pulang padaku

Kembalilah!
Jika airmata dapat menjadi penawar lukamu
Kurelakan sisa napas ini bersama tangis

Ada pepatah Cina: “Darah lebih kental dari air”. Namun adakah yang lebih kental dari darah? Ada, yaitu: kesetiaan! Dalam hidup ini, kesetiaan adalah segalanya, itu sebabnya, pengkhianataan adalah dosa yang tidak bisa diampuni. Sikap hidup setia yang dipilih Kehn Iskan dalam puisinya: “Kudengar kabar tentang kau yang dikhianati / Kepedihanmu adalah mimpi buruk jagaku / Di tonggak kesetiaan aku bersandar menanti” tersebut merupakan sikap yang mahal di zaman sekarang.

Ketika hidup terus berkembang dan zaman terus berubah, apa pentingnya kesetiaan? Gandhi menjawab: “Harkat dan martabat manusia terletak pada kemampuannya bekerja dan kesetiaannya dalam mencintai”. Itu sebabnya, pemalas dan pengkhianat adalah sebenarnya sampah kehidupan di masyarakat, kata Pram.

Sikap hidup setia tentu tidak hanya berlaku pada seseorang yang kita cintai, bisa juga untuk apa dan siapa saja, mulai dari kesetiaan pada hati nurani, kawan, proses kepenyairan, negara bangsa, sampai pada Tuhan.

Srie Astuty Asdi Patah Angan

Penyair bercadar kelahiran Makassar, 6 Januari 1974 ini merupakan sosok ibu rumah tangga yang baik. Pada “Patah Angan” dia menulis:

Masa beralih musim.
Semi kemarin gugur disertai angin. Menerbangkan rasa,
bergumul dengan rapuh sebelum lesap. Rindu yang
bersembunyi di balik tirai, rebas. Nanar bersimbah air
mata. Hanya puisi menjadi saksi tentang lara yang bicara.

Duhai pujangga jiwa ...
Bilakah engkau tahu, perempuanmu kini tenggelam dalam
tumpukan daun kering? Memujamu, serupa syair hujan di
duka kemarau yang mematah-matah angan. Dan engkau,
masih sanggup menuai tawa.


Ketika Astuty bilang “Hanya puisi menjadi saksi tentang lara yang bicara” dia telah ‘mempercayai’ puisi sekaligus sebagai sikap hidupnya. Bagi Astuty, bukanlah puisi menurut Samuel Taylor Coleridge: “Puisi adalah kata-kata terbaik dalam urutan terbaik. Namun puisi merupakan tempat: “Menerbangkan rasa,/ bergumul dengan rapuh sebelum lesap./ Rindu yang bersembunyi di balik tirai, rebas./  Nanar bersimbah air mata.

Iya, itulah puisi. Tidak hanya tempat paling jujur menampung sikap hidup, tapi juga sanggup menabung segala luka hidup. Dengan begitu, kita bisa menyukuri keberadaan puisi di dalam hidup kita. Di mana kita bisa belajar sabar menyimpan emosi: amarah dan dendam di balik diksi dan majas. Biarlah puisi menjadi saksi tangis kita, meski segalanya di luar puisi tertawa begitu girang.

Barangkali benar kata Joko Pinurbo bahwa menulis puisi sebagai upaya menghayati atau menyukuri hidup. Di dalam puisi, terdapat gairah hidup yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan kata-kata. Tentu, Astuty pun percaya pada Subagio Sastrowardoyo bahwa “puisi berguna untuk mengingatkan kita pada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri.


Penutup

Totalitas berpuisi (Agung Pranoto), jomblo keabadian (Alvin Shuk Vatrick), percaya takdir (Arsyad Indradi), kesadaran kemanusiaan (Embie C Noer), tonggak kesetiaan (Kehn Iskan), dan biarlah puisi (Srie Astuty Asdi) merupakan kumpulan sikap hidup dalam buku ini. Sikap hidup sebagai manusia yang akan terus mencari, meng(k)aji, dan mengerti, agar hidup menjadi lebih bijaksana, toleran, dan tidak menggadaikan harga diri selain kepada Tuhan.

Selain itu, juga sikap hidup kepenyairan sebagaimana Goenawan Mohamad tulis bahwa “sajak adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai, tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Ia adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.

Bekasi, 22 Februari 2018

*Prolog untuk buku Antologi Puisi Arkasi (FAM Publishing, 2018)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.