Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Rohingya, Ekonomi, dan Puisi yang Melawan - Ahmad Muchlish Amrin

Rohingya, Ekonomi, dan Puisi yang Melawan - Ahmad Muchlish Amrin

ROHINGYA, EKONOMI, DAN PUISI YANG MELAWAN
Oleh : Ahmad Muchlish Amrin*

#KAWACA.COM - Konflik di Rohingya dikategorisasikan sebagai genosida. Bukan tanpa alasan, ribuan orang dibunuh dan ratusan ribu orang melarikan diri ke beberapa negara semenjak tahun 2012 hingga hari ini. Publik Indonesia banyak yang menilai konflik tersebut merupakan konflik agama, karena Bhiksu Ahsin Wiratu terlibat di dalamnya. Pertanyaannya, bisakah agama melakukan kekerasan toh di dalam kitab suci agama dilansir nilai-nilai kasih sayang, toleransi, tenggang rasa, dan seterusnya? Tentu saja bisa, apabila agama dijadikan sebagai tangan kanan ekonomi dan politik. Logika dalam ekonomi berdedah pada dua kutub, "untung" dan "rugi", dalam politik berdesing dalam pusaran "menang" dan "kalah" yang dalam bahasa lain, "berkuasa" atau "tersingkir".

Pemerintah Myanmar menganggap komunitas Muslim Rohingya sebagai komunitas yang berbahaya secara politik dan merugikan secara ekonomi. Itulah sebabnya Muslim Rohingya harus disingkirkan, dihabisi, dan diusir dari tanah air Myanmar. Alasan-alasan penting yang menguatkan pemerintah melakukan tindakan yang (dianggap) melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut, pertama, Muslim Rohingya adalah orang asing yang secara politik memiliki sayap kanan yang tidak mendukung Pemerintah dan Junta Meliter Myanmar. Rakhine merupakan negara bagian yang terletak di sebelah barat Myanmar, dipisahkan oleh sebuah gunung Arakan yang menjulang. Arakan, sekitar tahun 1406 melalui rajanya Naramakhbala memiliki silsilah perseteruan dengan Raja Myanmar yang membuat sang raja diasingkan ke Bengali, di bawah kekuasaan Sultan Nasiruddin. Di Bengali, Naramakhbala masuk Islam yang kemudian mengganti namanya menjadi Sulemain Shah.

Atas bantuan Sultan Nasiruddin, Suleiman Shah berhasil merebut Arakan dari cengkraman Raja Myanmar, dan ia mendeklarasikan diri sebagai Kerajaan Islam yang merdeka pada tahun 1420. Kekuasaan Islam di Arakan berkuasa hingga 350 tahun lamanya, dan tahun 1784, Raja Myanmar berhasil mengambil alih kerajaan Arakan hingga koloni Inggris masuk pada tahun 1824. Kemudian pada saat Jendral Ne Win berkuasa, luka lama terkuak kembali, sekitar tahun 1982, ia tidak mau memasukkan orang-orang Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Ia menganggap orang-orang Rohingya sebagai orang asing, para pendatang yang hanya akan menimbulkan beban bagi Myanmar. Mulai saat itulah konflik baru Rohingya berakar yang cabang-cabangnya berlangsung hingga saat ini. Itulah sebabnya, Pemerintah Myanmar lebih senang menyebut mereka dengan illegal migrant daripada menyebut "orang Rohingya".

Kedua, orang-orang Rohingya mulai berkuasa di titik strategis perekonomian Rakhine, Myanmar, dikhawatirkan akan mempersempit perekonomian masyarakat Myanmar. Pada gilirannya, ketika masa depan ekonomi orang Rohingya semakin membaik, memiliki pengaruh besar terhadap sirkulasi politik tanah air.

Pertarungan politik-ekonomi domestik yang membuat Rakhine berada di pusaran kepentingan. China adalah salah satu negara yang memiliki kepentingan tersebut. Rakhine menjadi jalur pipa gas Shwe yang melintang dari Afrika dan Timur Tengah ke Tiongkok. Pipa ini mulai beroperasi pada 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki perhari. Sementara pipa minyak mulai beroperasi 1 Desember 2013, dengan kapasitas 400 ribu barels perhari. Junta Meliter yang perusahaanya menjadi mitra investasi dalam proyek besar ini harus mamastikan keamanannya.

Selain Cina, banyak negara-negara lain berinvestasi di Arakan untuk mengelola sumber daya alam, mulai dari Malaysia, Iran, Amerika, Singapura, dan lainnya.

Ketiga, muslim Rohingya sayap kanan yang dipimpin oleh Atta Mulla berusaha untuk mendeklarasikan kemerdekaan di Rakhine. Ibaratnya seorang pendatang, diberi tempat, kemudian ingin merdeka. Atta Mulla sendiri adalah sosok yang pernah belajar strategi meliter modern di Taliban Afganistan dan Pathan Pakistan. Pathan adalah kelompok militan yang kemunculannya dipimpin oleh Badshah Khan atau Abdul Ghaffar Khan. Tokoh inilah yang membuat British India hengkang dari tanah Pathan.

Kompleksitas tersebut membuat pemerintah Myanmar merasa penting untuk mengamankan tanah air dari rencana-rencana bawah tanah. Issue yang berkembang tentang "orang Rohingya" atau kelompok pemerintah lebih senang menyebut "illegal migrant" saat ini memiliki bias kepentingan yang hebat. Ada pihak-pihak yang memainkan isu ini untuk mendapatkan perhatian dunia. Para mujahidin Indonesia menyambut perlawanan itu seolah-olah harus didukung, sebab perlawanan Atta Mulla dan kelompoknya merupakan perlawanan mujahidin Myanmar. Yang penting digaris bawahi saat ini adalah bahwa konflik Rohingya bukanlah konflik agama, tetapi motifnya adalah politik dan ekonomi.

***
Aung San Suu Kyi pada mulanya mengakomodir "orang Rohingya" dalam perlawanan terhadap Junta Meliter pada tahun 2008 sebelum bersatu dengan pemerintah. Bukan hanya orang Rohingya, tetapi juga kalangan seniman dan penyair digunakan sebagai media perlawanan. Salah satu penyair pendukung Suu Kyi yang ditahan 22 Januari 2008 adalah Saw Wai. Ia menulis sebuah puisi cinta yang dianggap telah menghina Junta Meliter.
Penyair kelahiran Burma ini memang terkenal getol memprotes pemerintajan Myanmar yang tertutup. Puisinya yang berjudul February the Fourteenth dianggap mengandung kata-kata sandi yang jika digabungkan akan berbunyi "Jendral Tan Shwe gila kuasa". Puisi akrostik tersebut diyakini menjadi inspirasi pemberontakan terhadap penguasa. Itulah sebabnya, penguasa merasa penting mengamankan situasi politik dan kekuasaan.

Dalam puisinya yang dimuat di majalah Achit Journal, Saw Wai menulis begini: Aarok Beck, si dokter jiwa berkata | hanya jika kau tahu bagaimana derita | hanya jika kau gila | kau dapat meresapi seni | wahai foto model yang jelita | yang membuatku sakit kepala | mereka bilang ini penyakit patah hati | yang tak terkira | jutaan penderita penyakit inilah | yang akan mengerti cinta | tergeraklah tangan-tangan bergelora emas ini. Puisi tersebut mengilustrasikan sebuah situasi tertekan, cengkraman, dan keterkungkungan. Pemerintah Myanmar adalah gambar kesedihan bagi para penderita (rakyat yang berada dalam tekanan) yang di dalamnya mengimpikan cinta (kedamaian, kebebasan, keadilan, kemerdekaan, dan keterbukaan) sebagai manusia.

Gelora tangan-tangan emas dalam sebuah negara yang tertutup dianggap sebagai perlawanan yang harus dikontrol. Orang Rohingya sayap kanan adalah salah satu tangan emas yang dianggap berbahaya, apalagi dalam persepsi pemerintah, mereka bukanlah warganegara Myanmar. Bila kepentingan bergaung di megaphone pemerintah, maka kasih sayang kemanusiaan akan terpenjara. ***


* penyair dan cerpenis yang mempunyai banyak anak angkat, tinggal di Yogyakarta. 

Baca Juga:
Setiap Istri Sebenarnya Mau Dimadu
Puisi-Puisi Yanwi Mudrikah
Proses Kreatif dan Gerakan Sastra Kampung - Matroni Musèrang

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.