Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Hermeneutika Ruang dan Waktu*

Hermeneutika Ruang dan Waktu*


Oleh Roja Murtadho

Secara etimologi hermeneutika berasal dari kata hermeneuin yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna . Dalam prolog sekaligus telaah ini, saya menggunakan tiga aktivitas dalam analisis hemeneutika, yaitu memahami (understanding) dan menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi tersurat. Penguraian makna tersebut diharapkan dapat dipahami dan sampai kepada yang menerima pesan makna.

Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna melawan inkonoklasme. Paul Rocoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut: “yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks (Nasution & Haris, 2017:254).”

Heidegger menyatakan bahwa hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Dia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pandangan terhadap kehidupan, situasi pengarang, dan audiennya (Nasution & Haris, 2017:260-261).
                                                                                             
Hermeneutika menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutik. Oleh karena itu, hermeneutik menjadi hal dan prinsip yang tidak mungkin diabaikan.

Karya sastra dalam pandangan hermeneutik ialah sebagai objek yang perlu diinterprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada objek itu. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.

Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks karya sastra.

Menurut kamus, kata religio berasal dari kata latin relego yang berarti memeriksa lagi, menimbang, dan merenungkan keberatan hati nurani. Apabila kata religius ditambah dengan Islam misalnya, menjadi religius Islam, pengertian religius menjadi lebih tegas, yaitu mengacu pada keyakinan, berhati nurani, dan saleh menurut norma-norma Islam. Dick Hartoko (dalam Zoetmulder, 1990) dalam pengantar terjemahannya atas tulisan Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti dikatakan bahwa lewat sastra suatu bangsa membuka isi hatinya. Pendapat tersebut tampaknya relevan dengan pandangan Y.B. Mangunwijaya (1988:11) bahwa pada mula, segala sastra adalah religius. Lebih jelas lagi dikatakan oleh Mohammad (1969:88), bahwa sastra religius adalah sebuah genre sastra yang bermaksud memberikan jawaban kepada situasinya dengan berbasiskan nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan. Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterikatan manusia terhadap Tuhan (Dojosantoso, 1986:3).

Karya sastra sebagai karya kreatif yang mempermasalahkan manusia dan  kemanusiaan yang bersandarkan pada kebenaran akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan batin pada diri pembacanya. Sayuti (1999) mengatakan bahwa terdapat tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra bagi pengarang, yaitu wilayah kehidupan agama, sosial, dan individual. Dengan demikian, karya sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mempertebal, mengukuhkan suasana batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.

Indra Instisa berusaha menggunakan puisi sebagai media untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dakwah. Ia berusaha menembus ruang dan waktu menjelajah ruang-ruang duniawi dan metafisika alam hidup di dunia dan alam hidup sesudah mati melalui puisi-puisinya. Melalui puisi dia mencoba menafsirkan adanya ruang-ruang dan waktu yang pasti hadir di dalam perjalanan kehidupan manusia dan perjalanan panjang setelah kematian.

Ruang, dalam definisi yang dikemukakan oleh Bakker (1994: 165) merupakan keseluruhan dunia sebagai kebersamaan atau kolegialitas antara pengkosmos-pengkosmos kuantitatif-kualitatif, yang berelasi secara dimensional-intensif. Ada beberapa hal pokok yang bisa dikembangkan lebih lanjut dari gagasan Bakker tersebut. Ruang dalam sudut pandang Bakker, bisa dikatakan identik dengan dunia, namun dunia yang dimaksudkan di sini tentu saja adalah dunia yang tidak hanya terbatas pada pengertian dunia fisik saja, tetapi mencakup semua dunia sejauh yang dialami oleh manusia. Dunia tidak cukup dibatasi hanya sebagai dunia biotik ataupun dunia fisik saja, namun juga mencakup dunia dengan dimensi yang lain, misalnya saja dunia non-fisik (non-empiris), sejauh hal tersebut dialami oleh manusia sebagai subjek yang mempertanyakan melalui kosmologi (Bakker, 1994: 28). Hal ini mengisyaratkan bahwa ada semacam hubungan yang mengikat antara ruang dengan pengkosmos/penghuninya, dan ikatan ini tidak selalu berarti ikatan yang memaksa, namun justru merupakan ikatan yang melahirkan kebersamaan sehingga penghuni ruang merasa enggan untuk menyeberang ke ruang yang lain.

Kenyataannya memang demikian: yaitu bahwa refleksi yang paling mungkin hanyalah refleksi manusia dengan dunia sebagai ruang yang sangat besar. Ketika manusia memikirkan dirinya sendiri, hal itu juga berarti memikirkan dunianya karena manusia adalah bagian dari dunia dan sekaligus berada di dalamnya, di dalam ‘ruang dunia’. Inilah beberapa kenyataan yang membuktikan bahwa munculnya diskursus mengenai ruang dan waktu, adalah sesuatu yang niscaya ketika manusia membicarakannya dalam perpektif kosmologi.

Indra Intisa adalah penulis yang cukup keratif dengan berbagai macam karya yang telah dia terbitkan, yaitu beberapa buku tunggal, seperti: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra “Nasihat Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016), Sang Pengintai (2017) dan Kumcer: “Sungai yang Dikencingi Emas” (2017). Keberagaman hasil menulis ini menandakan betapa dinamis, aktif, dan kereatifnya seorang Indra Intisa di dalam menulis. Walaupun Indra telah aktif menulis dengan berbagai macam karya baik puisi maupun prosa ini dia selalu enggan disebut penyair dan dia lebih suka disebut sebagai penulis.

Di dalam buku antologi tunggalnya kali ini, Indra Intisa memberikan judul kuberi kau nama: tuan. bukan fulan. Buku kumpulan puisi ini terwujud menjadi kumpulan puisi satu napas tema. Di dalam hal ini, puisi-puisi yang disuguhkan adalah penggambaran sebuah perjalanan menembus ruang dan waktu dalam kehidupan sesungguhnya. Melalui kumpulan puisi ini Indra Intisa tampak telah menafsirkan ayat-ayat Tuhan dan ayat-ayat kehidupan, juga telah menafsirkan dan menembus batas-batas ruang dan waktu. Kemampuan menembus itu mewarnai tulisannya. Kumpulan puisi ini ditulis dengan begitu naratif bahkan begitu dramatis alur cerita di dalamnya.

Membaca keseluruhan puisi ini mengingatkan saya pada cerpen A.A. Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami. A.A. Navis menceritakan tentang betapa pentingnya keseimbangan cara hidup manusia antara kehidupan duniawi dan kehidupan yang berusaha untuk mencari bekal untuk kehidupan di akhirat. A.A. Navis bercerita dengan gaya yang halus namun sarat dengan sindiran kepada pembaca yang tentang kehidupan yang seimbang antara garis vertikal dan horizontal.

Puisi-puisi yang Indra Intisa tulis ini secara tematis sarat dengan satire (sindiran atau ejekan) terhadap pembaca. Pembaca dalam pengertian yang luas bahkan termasuk kepada penulis sendiri. Gaya bahasa yang satire ini ditulis dengan tetap melihat dan menganalisis sindiran atau ejekan yang lumrah terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Sindiran yang halus ini—mampu membawa perenungan—mengajak pembaca untuk berpikir dan menerjemahkan sendiri pesan-kritik di dalamnya. Sebagaimana kita tahu, kita (manusia) adalah pembaca: melihat, mendengar, meraba, mengecap, kemudian menyimpulkan apa-apa yang telah ditangkap oleh indera.


Kuberi kau nama: tuan. bukan fulan adalah interpretasi Indra Intisa terhadap keberadaan ruang dan waktu. Ruang dan waktu kehidupan yang tidak hanya berbatas kehidupan di dunia namun ada kehidupan-kehidupan lain yang bahkan lebih lama, lebih panjang dari kehidupan di dunia, yaitu kehidupan setelah kematian manusia. Kehidupan tersebut adalah kehidupan di dunia dan kehidupan setelah kematian. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang kita jalani saat ini di dunia.

Membaca seluruh puisi Indra Intisa di dalam buku ini, saya mendapati diksi-diksi yang dipandang bernilai religius dengan gaya bahasa satir dan mendominasi dalam hampir semua puisinya. Ada getaran ketakutan yang luar biasa saat saya membaca dan menelusuri makna puisi-puisi tersebut. Ketakutan-ketakutan yang saya rasakan juga kegerian-kengerian tersebut adalah berkenaan dengan dosa-dosa dan neraka sebagai imbalan dari seluruh aktivitas manusia di dunia. Semua ini diungkapkan apa adanya. Semakin saya gali dan gali lagi dalil-dalil Al-Quran dan Hadits saya dapati pemahaman yang nyata dari puisi yang tertuang.

Apa yang dituliskan Indra ini sebagai bentuk hermeneutikanya terhadap kandungan isi Alquran dan Hadits sebagai pedoman umat Islam dalam melangkah. Sebagai pedoman yang dia imani sebagai seorang muslim. Hermeneutika yang dia lakukan secara awam, saya katakan hermeneutika pemahaman kandungan Alquran dan Hadits karena yang dia lakukan bukan menggunakan dasar-dasar berpikir dan kekuatan diri dalam menafsir Alquran yang sesungguhnya dibutuhkan adanya ilmu tafsir. Pendekatan penafsiran dia terhadap dosa dan neraka melalui puisi-puisi yang membentuk sebuah rangkaian perjalanan kehidupan manusia “tuan” dan “fulan” dengan begitu saja mengalir bahkan membentuk karakter penulis yang surealis dalam puisi-puisinya.

Keseluruhan dari dua tokoh yang ada dalam buku ini. Fulan adalah tokoh pelengkap sebagai kebalikan dari sifat dan nasib tokoh utama. Sedangkan “tuan” adalah tokoh utama sebagai penggerak—obyek terpenting secara simbolis—sebagai cerminan kehidupan yang nyata. Si tuan lebih banyak disimbolkan dengan sudut pandang kedua (kau). Sedangkan fulan lebih kepada pelengkap saja, peran pembantu dan metafor dari ketidaktahuan diri—yang dianggap remeh oleh orang-orang karena tidak besar. Selain itu, beberapa puisinya ditulis seperti main-main, mengalir begitu liar. Benar, kata liar itulah tepatnya untuk mewakili sebagai label gaya Indra dalam menulis puisi. Semua itu sesungguhnya hanyalah paradoks bagi kehidupan yang sebenarnya.

Suatu Pagi (Pagi Ini)
/1/
gerimis di pagi ini
dan anak-anak burung
mengibas-ngibas bulunya
dan ranting bergoyang
—basah
—ujung-ujungnya lapuk.
/2/
lampu di ujung jalan
mengerjap: mati-hidup
tiangnya basah, sebasah lampu
yang masih mengerjap.
/3/
di sebuah gubuk tua
berdiri istana mewah
kaca-kacanya bening
seperti mutiara. memantulkan
wajah gubuk; anak-anak burung
dan lampu masih
mengerjap.
/4/
hari masih gerimis

Puisi ini merupakan penggambaran orientasi dalam sebuah cerita kehidupan bermula. Buku kumpulan puisi ini dimulai dari gambaran sebuah kehidupan dengan rumah yang begitu megah seperti sebuah bangunan istana dengan kaca-kaca yang bening seperti mutiara di antara rumah-rumah kecil. Permulaan cerita sudah menggambarkan sebuah ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan perbedaan kebermilikan rumah seperti istana yang bersanding dengan gubuk sebagai rumah yang tidak layak huni sebagai rumah. Gubuk hanya tepat digunakan untuk persinggahan petani di sawah hanya untuk sekedar melepas lelah dan dahaga sebelum akhirnya kembali ke rumahnya.

yang berbisik di hati
lebih tua dari ibu-bapakmu
dari bayi hingga mati
terus hidup memburu
yang bergerak di setiap waktu
lebih longgar daripadamu
dan kau terus sibuk
menggali harta ditumpuk-tumpuk
yang terus berjalan
bujuknya kepadamu
....

Yang Terus-menerus (yang Berbisik), 2017

Ini adalah puisi dengan penggambaran manusia yang hidup selalu diiringi oleh hawa nafsu dan bisikan-bisikan setan. Setan yang membisikkan kalimat-kalimat godaan kepada manusia agar lalai dan sedikit saja mengingat kehiduapan akhirat. Manusia selalu dibisiki untuk memburu kehidupan duniawiah seolah-olah dia akan hidup selama-lamanya di dunia.

Berikut ini adalah puisi yang melukiskan tentang berakhirnya sebuah kehidupan juga kecemasan-kecemasan dalam mengahadapi sakaratul maut.

Izrail
Kau pernah cemas, tidak?
Saat pintu rumahmu diketuk
pada malam buta.
Tidurmu tak nyenyak
sedang dingin merasuk
dari pori-pori masa lalu.
“Siapa di luar, Ayah?”
tanya anakmu.
Bibirnya membiru
istrimu menahan laju
kakimu menuju pintu.
“Jangan!” pintanya ragu
sedang kau terus menuju
tanpa bisa kau tunggu.
Di balik pintu
kau tak pernah kembali
“Ke mana ayah, Ibu?
bingung anakmu.
“Aku takut di depan pintu
Ibu.”
2017

                                    ….. إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ..
“…. di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan …” (Q.S. Al An’am: 93)
Imam Bukhari meletakkan ayat ini di dalam kitab shohihnya pada awal permulaan bab “Maa ja a fi ‘adzabil qobri” sebelum meriwayatkan hadits-hadist tentang siksa kubur.
Diriwayatkan oleh Ath-Thobari dan Ibnu Abi Hatim dari jalur Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas tentang ayat di atas, beliau berkata, “Hal ini terjadi saat kematian, dan yang dimaksud dengan membentangkan tangan adalah pukulan yang mereka timpakan ke wajah dan punggung mereka”. Meski hal ini terjadi sebelum pemakaman, namun ia termasuk bagian azab yang terjadi sebelum hari kiamat. Hanya saja azab tersebut dikatakan sebagai azab kubur, karena kebanyakan terjadi di dalam kubur dan manusia yang meninggal umumnya dikuburkan, juga karena orang-orang kafir serta pelaku maksiat yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk diazab akan diazab setelah meninggal meski belum dikuburkan. Akan tetapi, yang demikian itu terjadi tanpa diketahui oleh manusia kecuali siapa yang dikehendaki-Nya. (Fathul Baari)

 
Sakratul

Di malam buta, di saat anak-istrimu lelap, di saat tubuhmu tegap, di saat hartamu gemerlap, di saat jabatanmu menancap, di saat karirmu melesap, di saat makanmu lahap, kau sungguh tak tak menyangka ada maut yang beringsut dekat. Pedangnya menyala, berkobar-kobar membakar dada busungmu. Hatimu tak tentu. Pikirmu gagu. Tubuhmu kaku. Tanya beribu di kepala, kaubisu. "Oh, siapa gerangan? Ada apa gerangan? Bagaimana gerangan? ... "
Kau tertangkap dan tertawan. Ribuan pedang menusuk rusukmu, sampai remuk. Tubuh gemuk berderai. Dadamu pecah terburai. Ada beberapa ular hitam, kalajengking, lifan, belatung, meloncat dari dadamu. Tiba-tiba kauingat si fulan yang mati kelaparan, si falun yang mati tak berobat, si fulun yang mati kebanjiran, si folon yang mati keguguran, si felen yang mati ditabrak. Lolongan mereka terus berubah menjadi pedang yang kian tajam, kian bara, kian dalam, kian panjang, kian besar, kian banyak. Tak tertahan oleh egomu yang biasa tumbuh subur serupa jamur di sela-sela ketiak dan selangkanganmu. Ih, gatal.
Maut bersenda-gurau. Kau tak merasa geli? Bermainlah dengannya. Pasang
taruhanmu. Kira-kira kau menang berapa? Kelak bisa kaubawa pulang sebagai modalmu ke akhirat.
2017

































Kehidupan setelah kematian adalah (1) kehidupan di alam kubur (barzah). (2) Kebangkitan (ditiupkannya sangkakala oleh malaikat Israfil). (3) Hari penggiringan ke padang Mahsyar (setiap manusia diiringi oleh 2 malaikat, yaitu penggiring dan saksi semua perbuatan kita di dunia). (4) Hari Penimbangan amal baik dan amal buruk. (5) Hari Hisab (yaumul hisab) , yaitu penghitungan amal. Semua amal kebajikan dan kejelekan sekecil apapun akan mendapatkan balasannya. (6)Perjalanan kehidupan setelah kematian masih terus berlanjut, yaitu melintasi jembatan yang lurus (shirotol mustaqim) dalam melintasi jembatan ini proses hisab sebelumnya dijalani sangat menentukan nasib manusia. (7) kehidupan akhirat kemudian surga dan neraka. Surga bagi yang hasil hisabnya lebih berat amal kebaikannya dan lulus dalam menyeberangi jalan yang lurus dan neraka bagi hisabnya lebih berat amal kejelekannya dan gagal dalam menyeberangi jalan yang lurus (shirotol mustaqim).

Runtutan alur kehidupan dari hidup hingga hidup sesudah mati ini tampak sekali dalam seluruh isi buku ini membentuk sebuah alur perjalanan kehidupan manusia dari hidup hingga hidup setelah mati.
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
 
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
 
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Hari Pertama

Jejak kaki pelayat pelan-pelan tinggalkan tuan.
Pesta baru dimulai. Dua malaikat bertanya,
"Siapa Tuhanmu! Siapa nabimu! Apa kitabmu!"
Si tuan gemetar, ia ingat saat gemar
mengejar gelar, mengejar dunia, agar
makmur mengucur seperti papan peluncur.
"Si Tuan memang kaya," puji anjing hitam
berbulu tajam. Liurnya terus menetes.
Hampir-hampir buatnya karam.
"Ayo kita berpesta," ajak si tuan.
Ia tersentak, dua palu meremukkan tulang.
"Ini jamuan ternikmat," kata malaikat.
Sepiring tuan terpotong-potong.
Jadi sate lidah, bakso urat,
Daging guling, panggang daging.
"Hmm, benar-benar nikmat.
Ayo kita habiskan!"

2017
 























Setelah kematian, maka manusia dengan nama sebesar dan seterkenal apapun lalu berubah sebutan menjadi jenazah/mayat yang dimandikan, dikafani, dishalatkan, lalu dimakamkam. Setelah tujuh langkah pengantar jenazah meninggalkan makam maka malaikat langsung menghampiri sang mayit di alam kubur.

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang dhalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, katanya “Kami keluar bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim jika ditanya di dalam kuburnya, maka ia akan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Demikianlah penjabaran dari firman Allah, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh .”.(HR. Abu Dawud, no. 4750)
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Khaisamah, dari Al-Barra sehubungan dengan ayat di atas adalah bermakna azab kubur. (Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, dari Hakim Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Muslimah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, dari ayahnya, dari Abu Ishaq, dari Amir ibnu Sa’d Al-Bajali, dari Abu Qatadah Al-Anshori sehubungan dengan ayat di atas: Bahwa sesungguhnya orang mukmin itu apabila mati (dan telah dimakamkan), maka ia didudukkan di dalam kuburnya dan dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ?” Ia menjawab, “Allah”. Dikatakan lagi kepadanya, “Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Muhammad ibnu Abdullah”. Pertanyaan tersebut diajukan kepadanya berkali-kali, kemudian dibukakan baginya sebuah pintu yang menuju ke neraka, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu di neraka itu seandainya kamu salah dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempat tinggalmu di surga, karena kamu benar dalam jawabanmu”. Aapabila orang kafir mati, maka ia didudukkan di dalam kuburnya, lalu dikatakan kepadanya, “Siapakah Tuhanmu ? Siapakah nabimu ?”. Ia menjawab, “Saya tidak tahu, hanya saya mendengar orang-orang mengatakan sesuatu tentangnya”. Dikatakan kepadanya, “Kamu tidak tahu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu menuju surga, lalu dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu jika kamu benar dalam jawabanmu”. Kemudian dibukakan baginya sebuah pintu ke neraka, dan dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempatmu sekarang, karena kamu salah dalam jawabanmu, (Tafsir Ibnu Katsir)

Qatadah mengatakan, “Adapun dalam kehidupan di dunia, maka Allah meneguhkan mereka dengan kebaikan dan amal saleh, sedangkan dalam kehidupan akhirat maksudnya diteguhkan dalam kuburnya”. (Tafsir Ibnu Katsir)

Indra Intisa selain memberikan gambaran-gambaran ruang dan waktu di alam kubur maka Indra juga memberikan gambaran ruang dan waktu ketika manusia menjalani kehidupan di akhirat pada saat amal kebaikan dan keburukan manusia ditimbang.  Di ruang dan waktu inilah yang disebut dengan yaumul mizan (hari penimbangan). Pada hari ini seluruh amal kebaikan dan keburukan manusia ditimbang mana yang lebih berat, apakah kebaikannya ataukah keburukannya.  

Pada puisi berjudul Timbangan ini saya menemukan titik puncak seluruh rangkaian isi buku puisi perjalanan hidup manusia ini. Pada puisi Timbangan Indra menggunakan pola tuang dengan memberikan dua buah puisi (a) dan (b) dalam satu puisi yang berjudul Timbangan.  Pada puisi ini, kita bisa mudah memahami maksud secara tersurat damal puisi ini namun apa yang terkandung secara tersirat pada puisi ini maka kita akan terbawa pada sebuah rangkaian renungan yang begitu panjang dan terus menerus dibawa dalam kegalauan sebagai muslim. Berikut ini adalah puisi tersebut secara utuh untuk dapat kita cermati.
Timbangan

(a)                                                                                                                                       (b)
Syirik?
Ada
Durhaka?
Ada
Sesat?
Ada
Korupsi?
Ada
Tamak?
Ada
Rakus?
Ada
Ujub?
Ada
Riya?
Ada
Lalai?
Ada
Ada
Ada
Ada
Periksa salatnya. Tak ada. Cari di setiap tempat. Tak ada. Di setiap sudut. Tak ada. Kalau-kalau bersembunyi karena takut. Tak ada. Bagaimana dengan zakat? Tak perlu. Atau puasa? Tak perlu. Atau haji? Tak perlu.

Kenapa tak perlu? Temukan dulu salatnya.

Coba periksa di tempat paling tersembunyi. Barangkali ia pemalu. Suka menyembunyikan amalnya. Tak ada. Coba periksa di bawah ketiaknya. Sudah diperiksa. Ia malah tertawa. Jangan digelitik. Ia memang perasa. Kita periksa yang lain saja: sedekah, waqaf, infaq, silaturahmi, zikir …

Stop! Tak perlu.
 






















                                                           



2018

Pada puisi ini saya membaca dan menelaah berlama-lama, hingga berhari-hari karena apa yang secara ringan dituliskan dalam puisi ini rupanya mengandung makna sebagai sebuah landasan pijak dari setiap rangkain perjalanan hidup manusia. Pada uraian sebelumnya saya telah menggambarkan bagaimana kehidupan manusia di alam kubur berdasarkan ayat Al Quran Surat Ibrahim ayat 27 berikut tafsirannya menurut Ibnu Katsir. Pada saat saya melanjutkan membaca Surat Ibrahim ini pada ayat 28--31 maka sesungguhnya Allah telah memberikan peringatan agar diperhatikan oleh umat manusia bahwa ketika manusia menukar nikmat-nikmat yang telah Allah berikan dengan kekafiran maka sesungguhnya manusia telah menjatuhkan dirinya sendiri dalam kebinasaan. Dan bagi manusia yang menjadikan dirinya dalam kekafiran sesungguhnya neraka jahanamlah sebagai seburuk-buruknya tempat kediaman. Orang-orang kafir tersebut telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Allah. Dan sesungguhnya tempat kembalinya mereka adalah neraka.

Setelah bergumul dalam kengerian-kengerian tentang gambaran neraka terhentilah saya pada ayat ke-31 yang berbunyi “ Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman; “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan”.

Pada puisi Timbangan secara lugas Indra telah memberikan gambaran tentang timbangan buruk manusia namun juga pada ruang dan waktu penimbangan tersebut malaikat atas perintah Allah pun menimbang amal kebaikan manusia. Namun pada puisi ini secara mengejutkan Indra menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang begitu tegas dan dijawab dengat tegas. Keterkejutan saya terhenti pada larik pertama bagian b tentang memeriksa shalat setelah keburukan-keburukan dan dosa manusia ditimbang sebagaimana yang tergambar pada bagian a. Ketika shalat tak ada maka amalan-amalan kebaikan yang lain pun menjadi tak perlu lagi dilihat dan dicari bahkan termasuk di tempat tersembunyi yang bernama zikir karena semua amalan kejahatan telah ada sementara shalat tidak ada padanya.

“Periksa salatnya. Tak ada. Cari di setiap tempat. Tak ada. Di setiap sudut. Tak ada. Barangkali bersembunyi karena malu. Tak ada. Bagaimana dengan zakat? Tak perlu. Atau puasa? Tak perlu. Atau haji? Tak perlu.

Kenapa tak perlu? Temukan dulu salatnya.

Sudah diperiksa. Termasuk di tempat paling tersembunyi, tetap tak ketemu. Kita periksa yang lain saja: sedekah, waqaf, infaq, silaturahmi, zikir …

Stop! Tak perlu”


Pada kata Stop! Tak perlu ini perenungan panjang dan perdebatan-perdebatan batin saya terjadi. Begini ketika itu yang langsung saya rasakan, kenapa amalan-amalan kebaikan sudah tidak perlu lagi dicari bukankah amalan kebaikan sekecil biji zarah pun akan dihitung. Di sini saya berpikir lama betapa beraninya Indra menuliskan puisi seperti ini. Namun, setelah beberapa waktu saya menelaah makna dan terus menggali ayat-ayat Alquran tentang shalat dan keutamaan shalat makan saya menemukan hermenautika dari apa yang disampaikan Indra dalam puisinya.

Memang secara ekstrim Indra begitu tegas bahwa sudah tidak perlu lagi amalan kebaikan yang lain ditimbang ketika keburukan-keburukan begitu berat dalam timbangan sementara shalat tidak ada dalam timbangan kebaikan. Karena kita pahami bahwa shalat adalah tiang agama. Ketika shalat ditegakkan maka sebagai tiang agama dia akan berdiri kokoh untuk menyangga agama tersebut namun jika shalat tidak ditegakkan maka runtuhlah agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa sesungguhnya shalat itu mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar. Maka tepatlah bahwa jika perbuatan-perbuatan keburukan yang lebih banyak dikerjakan karena shalat tidak pernah dikerjakan (ditegakkan).

Perintah Allah adalah dirikanlah shalat bukan semata mengerjakan shalat, namun shalat yang dalam pengertian shalat yang mampung mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar bukan semata shalat sebagai menjalankan kewajiban rutinitas umat muslim dengan melakukan geraka-gerakan dan bacaan shalat. Shalat diharapkan menjadi pengendali hati manusia karena shalat yang dikerjakan sudah mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.

Dalam surat Al-Maun Allah menyatakan tentang celakanya bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Lalai di sini bukan dalam pengertian lupa mengerjakan shalat, namun orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna, dan ini dimaksudkan pertolongan yang harus dilakukan untuk memberikan makanan bagi orang miskin dan larangan menghardik anak yatim, karena yang demikian itu sesungguhnya telah mendustakan agama allah.

Jadi inti dari semuanya adalah shalat yang didirikan secara tegak (secara benar dalam implementasi hidup sehari-hari) sehingga karena shalatlah manusia terhindar dari berbuat keji dan munkar, shalat menjadi benteng pengendali diri manusia untuk tidak berbuat tamak, ujub, kibir, riya, bahkan juga mengabaikan masyarakat miskin dan memperbesar dan memperkenyang perutnya sendiri sehingga lupa adanya hari akhir dan hari pembalasan. Maka yang demikian itulah neraka sebagai tempat terakhirnya, yang di dalamnya terdapat api yang menyala-nyala yang melahap dalam kobaran bara apinya sepanjang waktu selama-lamanya di mana waktu di dunia adalah sehari di alam akhirat. Dapat kita bayangkan betapa lama waktu yang menjadi tak terhingga.

Sampai pada puisi terakhir inilah koda dapat kita temukan. Koda merupakan bagian akhir dari cerita yang mengandung makna dari cerita atau amanat/hikmah yang dapat diambil dari cerita. Koda sebagai nilai ataupun pelajaran yang dapat diambil dari suatu cerita. Koda ini dapat ditemukan setelah membaca semua cerita dalam hal ini adalah puisi dari awal hingga akhir puisi. Koda yang disampaikan Indra pada keseluruhan puisinya, yaitu nasihat, pelajaran, dan peringatan bagi pembaca untuk menjalankan hidup sebagaimana kehidupan si fulan yang penuh bersahaja dan taat dalan kehidupan beragama. Pembaca diberikan penggambaran-penggambaran/pelajaran kehidupan si tuan sebagai orang yang buruk budi pekertinya dan tidak menaati perintah-perintah agama. Pelajaran yang dapat dipetik bahwa shalat adalah kuinci kehidupan di dunia karena berdiri tegaknya shalat dapat membawa manusia agar tercegah dari perbuatan keji dan munkar.

Adanya koda yang tersirat pada puisi terakhir berjudul Akhirnya inilah sesungguhnya penanda bahwa buku kumpulan puisi kuberi kau nama: tuan. bukan fulan sebagai puisi panjang dengan judul-judul dan isi yang saling terkait dan mengikat satu sama lain yang membentuk sebuah alur cerita. Di awal puisi membentuk sebuah orientasi kemudian dilanjutkan dengan adanya komplikasi-komplikasi dan titik-titik klimaks yang mengerikan. Titik-titik klimaks puisi yang membewa pembaca pada kengerian-kengerian akhirnya diturunkan ke dalam dua bagian puisi dalam satu puisi terakhir. Di puisi terakhir kita seperti dibawa dalam titik-titik kelunglaian agar mencapai sebuah kesadaran tertinggi akan arti hidup dan bagaimana semestinya hidup harus dijalankan. Emosi dan psikologi pembaca diajak bermain-main dan menjadi kacau balau karena isi puisi yang direnungi. Semua pembaca yang bisa membaca dan mendalami buku puisi ini dapat mengambil intisari dan hikmah dalam pesan-pesan yang tersampaikan dalam akhir puisi sebagai akhir kisah perjalanan sebuah cerita.

Demikianlah Indra Intisa menyuarakan penafsiran-penafsirannya terhadap pemahaman-pemahaman pada ayat-ayat Alquran secara berani dan tegas dalam puisi-puisinya. Semoga hadirnya buku kumpulan puisi ini mampu menggugah hati dan keyakinan masyarakat muslim untuk terus memperbaiki diri dalam menjalankan kehidupan di dunia dengan peribadatan agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar demi bekal menuju alam kehidupan setelah mati.

Selamat membaca buku ini!

*Kata Pengantar untuk buku kumpulan puisi kuberi kau nama: tuan. Bukan fulan karya Indra Intisa


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.