Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Melawan Teror - Mabda Dzikara

Melawan Teror - Mabda Dzikara

Oleh Mabda Dzikara

#KAWACA.COM - Teror kembali terjadi di Surabaya (13/05/2018) beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Targetnya sejauh yang diketahui adalah tiga gereja yang saling berdekatan dimana saudara/i kristiani sedang menjalankan ibadah rutin mingguannya. Belasan tewas, puluhan luka-luka termasuk para abdi negara yang saat itu menjaga kegiatan tersebut. Kabar paling baru hari ini juga terjadinya pengeboman di Markas Polretabes Surabaya (14/05/2018) yang juga memakan korban dari pihak kepolisian.
Mendengar hal tersebut, tentu saya pribadi sangat prihatin dan menyayangkan. Tapi kemudian tertawa karena para teroris sepertinya kelewat dungu. Mereka lupa target operasi mereka adalah kota Surabaya; jantung pergerakan Nahdlatul Ulama dan kota pahlawan. Hahaha... Salah sasaran kon, cuk!
Saat para teroris itu baru belajar merangkak, orang Surabaya sudah mengepalkan tangan melawan penjajah.
Dan Jangan bicara patriotisme dengan orang Surabaya! Resolusi jihad NU yang pernah membuat geger Inggris dan Belanda digaungkan dari nadi perjuangan pemudanya. Harga diri Indonesia sebagai sebuah bangsa juga pernah dipertaruhkan disana. Jadi, jangan harap begundal-begundal pengecut seperti kalian akan bisa tidur nyenyak setelah hari ini, apalagi berharap mimpi bertemu bidadari!! (tarik nafas dulu)
Teror terbaru bom bunuh diri di Surabaya memang cukup mengejutkan. Rilis terbaru yang dikeluarkan Polri, para tersangka adalah satu keluarga yang keliatannya biasa saja. Tidak nampak raut muka kebengisan yang biasa ada di muka para teroris. Walaupun demikian sang suami/ayah ternyata ketua Jaringan Anshor Daulah (JAD) di Surabaya pimpinan Aman Abdurrahman, napi teroris yang berafiliasi ke ISIS dan otak dibalik beberapa serangan bom di Jakarta dan sekitarnya.
Narasi tentang terorisme perlu diakui memang sangat subjektif. Setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing. Terbiasanya kita mendengar banyak aksi teror bernuansa agama, akhirnya stigma teror selalu diindentikan dengan agama, khususnya Islam.
Banyak motif yang dapat melatarbelakangi aksi teror, dari soal agama, politik, sosial bahkan perselisihan keluarga kadang juga memantik aksi teror.
Melihat aksi teror Surabaya dan afiliasinya kepada salah satu jaringan teror internasional seperti JAD, tentu kita dapat menilai bahwa jelas motif dibalik ini bukan ekonomi-politik an sich, apalagi soal pelakor yang mau dilabrak, tapi lebih kepada pemahaman yang salah tentang ajaran islam dan motivasi kebencian yang berlebihan kepada sistem yang mereka anggap thogut dan kafir. Para teroris seringkali memahami teks agama secara parsial, kolot, kurang jalan-jalan dan ngopi. Alam bawah sadar mereka kurang diberikan pemahaman bahwa Rasulullah saw. adalah penebar kasih sayang, penjunjung tinggi sikap toleransi, sangat lembut, pemaaf, dan juga suka bercanda.
Mengatakan aksi teror ini hanya persoalan ekonomi dan menafikan pemahaman agama yang salah ini, jelas kurang tepat. Menurut saya, orang-orang yang seperti ini hanya mencari alasan untuk menutupi sekian persen dari persetujuannya kepada aksi biadab ini.
Melawan teror sejatinya adalah perang melawan akal sehat dan kecatatan logika. Daripada itu, jihad dalam bentuk konter narasi terhadap paham ini harus digalakkan terus menerus dan lebih masif. Niatkanlah konter narasi yang kita suarakan, minimal dapat mencegah satu manusia menjauhi paham yang salah ini. Jika ada seribu narasi moderat, maka mungkin saja ada seribu orang yang telah kita selamatkan dan tentu ada jutaan manusia lain yang batal menjadi korban.
Teroris memang tidak memiliki agama. Tapi tentu mereka mempunyai nama dan ajaran yang menjadi pondasi gerak mereka. Jangan menutup mata jika ada sebuah ruang penafsiran dalam islam yang membenarkan itu. Dan tentunya kita harus jujur bahwa mereka yang membenarkan tidak sedikit dari orang yang dianggap ulama tapi gemar caci-maki, teriak intoleran, bunuh, munafik dan suka mengafirkan.
Kita boleh tidak sepakat, namun menurut saya marakanya terorisme bernuansa agama memang berawal dari banyaknya ujaran-ujaran kebencian seperti itu; propaganda kebencian di media, provokasi-provokasi intoleran di masjid dan ruang terbuka, maupun maraknya lembaga-lembaga pendidikan yang mengamini hal itu, baik itu pesantren ataupun lembaga-lembaga yang berafiliasi secara ideologi kepada ajaran radikal, atau mengarah ke radikal.
Melihat kejadian bom bunuh diri yang berturut-turut ini apalagi menargetkan pihak kepolisian, saya teringat dengan apa yang pernah terjadi di Suriah sebelum konflik sektarian meledak disana tujuh tahun silam.
Saya tidak berani berspekulasi bahwa kedepannya Indonesia akan seperti Suriah, namun bangkitnya sel-sel mati teroris ini perlu diwaspadai.
Pemerintah Suriah saat itu menurut saya kecolongan untuk antisipasi masuknya senjata dan para petempur lintas negara di banyak perbatasannya. Ini berbeda dengan pemerintah Mesir yang langsung mengerahkan pasukan ke setiap perbatasan negara pasca jatuhnya rezim Ikhwanul Muslimin kala itu. Hal yang terjadi kemudian dapat dilihat. Daya rusak konflik Suriah lebih besar dan masif ketimbang Mesir.
Seperti yang diprediksi, para teroris akan menjadikan kejadian Mako Brimob sebagai momen mereka bergerak. Tentu mewaspadai segala kemungkinan niscaya harus dilakukan.
Hal yang selanjutnya harus lebih diperhatikan adalah para propagandis-propagandis militan baik di dunia maya ataupun dunia nyata, entah itu dari kalangan orang awam, politisi ataupun tokoh agama yang punya kecenderungan ekstrem-radikal.
Saya meyakini bahwa hulu dari terorisme adalah ujaran dan kata; Mendengar ujaran radikal - terpengaruh untuk berpikir radikal - meyakini atas pemahaman radikal - berani bertindak radikal - menjadi teroris. Seorang radikalis belum tentu teroris, namun teroris sudah pasti seorang radikalis. Untuk itu semua hulu yang mengarah ke sikap demikian harus ditutup.
Jika kita sepakat bahwa teroris itu tidak beragama, tentu semangat melawan terorisme bukan berarti mau mendiskreditkan agama tertentu, khususnya Islam. Kesadaran penuh bahwa memang diskursus dalam pemikiran islam membuka ruang bagi penafsiran radikal yang memantik semangat teror, seharusnya menjadi otokritik agar kita menunjuk diri kita dahulu dan kemudian berbenah sebelum menyatakan bahwa semua ini adalah hanya konspirasi. Wallahu A'lam.
Tabik!

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.