Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Takbir Riri Tanpa Tapi - Sofyan RH. Zaid

Takbir Riri Tanpa Tapi - Sofyan RH. Zaid

TAKBIR RIRI TANPA TAPI

Sofyan RH. Zaid

 



"Banyak yang pulang haji hanya membawa kurma dan air zamzam.

Mereka lupa membawa oleh-oleh terpenting: hati yang baru.

Kau pikir Allah menerima orang yang melempar jumrah,

 tapi tidak melempar kesombongannya?" 


~ Syekh Mutawalli asy-Sya'rawi


Menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima -bagi yang mampu- merupakan impian setiap muslim. Namun tidak setiap muslim yang mampu -secara fisik dan finansial- serta-merta bisa melakukannya. Kenapa? Sebab berhaji adalah panggilan atau undangan Allah secara langsung untuk datang bertamu ke rumah-Nya. Maka, beruntunglah orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji. Ibaratnya; kita ngebet untuk bertamu ke istana Presiden. Alamat punya, ongkos banyak. Namun, bila Presiden tidak berkenan untuk menerima, percuma itu semua. Beda cerita, kalau Presiden sendiri yang mengundang, bahkan tidak tahu alamat dan tak punya ongkos, kita tetap akan sampai di istananya untuk bertamu, bahkan bertemu. Artinya, bertamu dan bertemu merupakan dua hal yang berbeda, termasuk dalam ibadah haji. Itulah kenapa, koor yang paling ikonik dari suasana haji adalah “Labbaik, Allahumma Labbaik!" yang berarti: Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu!

Menunaikan Ibadah haji merupakan momentum sakral, simbol penghambaan sejati, dan keadilan yang hakiki. Karena di dalam pelaksanaannya, barangkali kita akan mengerti surah al-Hujurat ayat 13: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Maka, akan sangat dipahami jika Malcolm X sepulang haji melontarkan: "Di tanah suci, aku melihat manusia berkulit putih yang benar-benar saudara. Mereka menghancurkan rasialismeku lebih cepat daripada semua teori. Haji mengajarku: sistem rasis Amerika harus dihancurkan seperti berhala-berhala di Mina." Di tanah Haramain itulah, secara fisik terjadi peleburan identitas duniawi yang dramatis. Seorang bankir dan petani, motivator dan koruptor, pria dan wanita, semua melebur dalam satu warna ihram dan berpeluh di bawah terik matahari.

Selain itu, secara rohani, setiap jamaah haji berkesempatan untuk mereguk yang nama pengalaman spiritual yang langka. Seorang kawan sepulang dari Tanah Suci, pernah berujar, andai robot boleh menunaikan ibadah haji, maka ia akan menjadi manusia, minimal selama berada di haramain. Pengalaman spiritual yang transformatif semacam itu seringkali meluap dalam ekspresi estetis kata-kata. Jiwa atau ruh yang tersentuh cahaya spiritual akan berubah menjadi air yang mengalir dari tinggi ke rendah untuk kemudian naik ke atas sebagai uap. Pada momentum inilah, puisi kerapkali menjadi medium-tampung yang paling ekspresif, apalagi bagi jamaah haji yang memang sejak awal terbiasa menulis puisi.

Nah, barangkali inilah yang terjadi pada Riri Satria, selama menunaikan ibadah haji dari 19 Mei sampai 13 Juni 2025, menjadi begitu produktif menulis puisi dan catatan puitik. Di mana buku Log in Haramain (Juni 2025) pun lahir! Buku yang merekam tapak pengalaman spiritual dan jejak refleksinya. Di antara semua puisi dan catatan lain dalam buku ini, ada satu puisi yang menyentuh sekaligus mengganggu saya yang berjudul “Takbir” (h. 7):

TAKBIR

 

Ada gema takbir di Masjid Nabawi

Ada gema takbir di Masjidil Haram

Ada gema takbir di Al-Aziziyah

Ada gema takbir di Arafah

Ada gema takbir di Muzdalifah

Ada gema takbir di Mina

Takbir menggema menjadi orkestra Semesta Raya

 

Ada satu takbir yang selalu kujaga

takbir di hatiku, kepada-Mu

 

(Mina, Juni 2025)

Puisi tersebut terdiri dari dua bait, tertulis dengan sederhana, tersusun -larik demi larik- dengan tabah. Puisi yang seolah hanya melaporkan serangkaian aktivitas penulisnya dalam menunaikan ibadah haji dari satu tempat ke tempat lain. Takbir adalah suara yang kerap didengar dari sekitar. Takbir yang terasa berbeda dengan takbir yang biasa terdengar di tengah demo, misalnya. Takbir yang terdengar saat haji, akan mengecilkan pendengarnya sebab merasakan kebesaran Allah. Namun takbir yang terdengar di tengah demo, akan sebaliknya; membesarkan pendengarnya.

Kekerapannya mendengar takbir -dan seolah terkepung dari seluruh penjuru- hingga menjadi orkestra semesta, menggema di hatinya. Takbir di dalam hati itulah yang dia jaga dan sesekali turut melafazkannya. Itulah salah satu inti dari ibadah haji. Gema atau lafaz itulah yang akan terus terbawa, walau ibadah haji telah purna.

Secara teks dan sintaksis, puisi tersebut cukup aneh bagi saya, seharusnya Riri membubuhkan kata “tetapi” atau “namun” di antara kedua bait: “Tetapi ada satu takbir yang selalu kujaga...” sebagai konjungsi pertentangan antara takbir luar dan takbir dalam yang dijaga. Akan tetapi Riri tidak memakainya. Saya curiga, ini bukan bentuk kelalaian, melainkan memang sengaja dilakukan. Kok bisa?

Pada hakikatnya, takbir yang terdengar di mana-mana secara komunal, tetap lebih utama takbir yang menggema atau terucap di dalam hati secara personal. Namun dengan tidak memakai konjungsi pertentangan, Riri seperti tak ingin menampakkan keutamaan tersebut. Sebab bagaimana pun, kata ‘lebih utama’ adalah bentuk kesombongan yang menyamar sebagai kebenaran atau kenyataan. Itulah bentuk lain dari kerendahan hati seorang jamaah haji. Kata Ali Shariati: "Haji bukanlah perjalanan wisata! Ia adalah kongres tahunan umat  Islam, di mana kalian harus mengorbankan ego sebagaimana Ibrahim telah mengorbankan Ismail. Jika kalian kembali tanpa mengubah apa pun, kalian telah membuang-buang uang untuk membeli gelar yang disebut 'Haji'".

Pilihan -sifat dan sikap- semacam ini, dalam konteks ibadah haji, merupakan indikasi ke-mabru-ran seorang jamaah haji. Mustafa Mahmud menegaskan: "Mengapa jutaan orang ke Mekkah, tapi korupsi tetap merajalela? Karena mereka berziarah ke Baitullah, tapi tidak berziarah ke hati sendiri." Di dalam buku saya, Islam Kontekstual dan Esai Lainnya (2025), saya juga menulis “Umrah Bergelar Haji” bahwa indikasi lain kemabruran seorang jamaah haji adalah saat dia pulang ke Tanah Air: tersinggungkah dia ketika ada orang memanggil namanya tanpa gelar haji? Sebab kata Hamka: "Haji mabrur itu bukan yang pakai serban dan jubah baru. Ia adalah orang yang pulang lalu memotong harga sembako, mengampuni tetangga yang menipunya, dan membela duafa tanpa pencitraan."

Selain puisi “Takbir”, masih banyak puisi lain dalam buku Log In Haramain ini yang tak kalah menarik untuk dihayati. Jadi, selamat untuk Bang Haji Riri Satria atas terbitnya buku ini: “Buku ini luar biasa, tetapi (biar saya pakai konjungsi pertentangan) apa oleh-oleh hati unta untuk obat lemah syahwat pesanan saya jadi dibawain, Bang?”

Bekasi, 19 Juni 2025


Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post