Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Membangun Negeri dengan Destinasi Bernama Ramah

Membangun Negeri dengan Destinasi Bernama Ramah

Membangun Negeri dengan Destinasi Bernama Ramah

(Hasil Wawancara dengan Doddi Ahmad Fauji)



Melalui sambungan telepon, Redaksi Kawaca berbincang dengan Doddi Ahmad Fauji, seorang sastrawan dan wartawan perihal hasil diskusinya dengan Bapak Hariyanto, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur di Kementerian Pariwisata. Dari percakapan tersebut, terbit satu benang merah: membangun negeri tidak selalu harus lewat beton dan angka, tapi bisa lewat senyum, keramahan, dan narasi kemanusiaan.

"Indonesia adalah negara yang dikaruniai bukan hanya alam yang indah, tapi juga masyarakat yang tahu caranya menyambut," tutur Doddi membuka kisahnya kepada redaksi. "Masalahnya, dalam sistem birokrasi yang terburu-buru, nilai-nilai itu sering terkikis. Di situlah Hariyanto mengambil peran."

Menurut Doddi, salah satu momen paling mengesankan dari perbincangannya adalah ketika Hariyanto mengenang tragedi Bom Bali 2002. Peristiwa itu bukan hanya menghantam sektor pariwisata, tetapi juga mengguncang rasa percaya diri bangsa dalam menyambut dunia.

"Yang hilang bukan hanya wisatawan, tapi rasa percaya," ujar Hariyanto seperti dikutip Doddi. Namun dari luka itu, tumbuh cara pandang baru: membangun destinasi tak sekadar mempercantik lanskap, tapi membenahi relasi antar manusia.

Pemerintah saat itu, di bawah Menteri I Gede Ardika, mendorong masyarakat untuk tidak memandang wisatawan lokal sebagai 'kelas dua' setelah turis mancanegara. "Hormat tak boleh selektif," ujar Doddi mengutip filosofi itu.

Selanjutnya, perbincangan mereka menyentuh pada transformasi pascapandemi: pariwisata tidak lagi didekati dengan logika jumlah, melainkan kualitas. Hariyanto, kata Doddi, bahkan pernah bertanya dalam forum teknokratik: “Apakah Anda ingat wajah tempat terakhir yang Anda kunjungi, atau hanya jumlah like di Instagram?” Pertanyaan itu, meski terdengar ringan, menohok inti dari kebijakan baru: dari angka ke pengalaman.

"Kualitas dalam pariwisata bukan berarti eksklusivitas," tegas Doddi mengulang gagasan Hariyanto. "Wisatawan lokal pun berhak disambut dengan pengalaman yang bermakna, bukan hanya fasilitas."

Salah satu bagian paling menginspirasi dalam percakapan itu, menurut Doddi, adalah saat membicarakan desa. Hariyanto menyebut desa sebagai “titik pijak untuk membumi dan titik lompat untuk melompat ke dunia.”

Bagi Doddi, kalimat itu mencerminkan tekad untuk menjadikan desa sebagai episentrum narasi pariwisata Indonesia. Program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) bukan hanya soal lomba, tetapi alat untuk memberdayakan masyarakat, memperkuat ekonomi lokal, dan mempertahankan keunikan budaya.

“Desa bukan tempat menunggu bantuan, tapi tempat melahirkan inovasi,” ujar Doddi menirukan semangat Hariyanto. Dari konversi Pokdarwis menjadi koperasi hingga pelatihan manajemen wisata, desa kini tak lagi sekadar latar belakang eksotisme, melainkan aktor utama.

Dalam salah satu kunjungannya ke Kalimantan Tengah, Hariyanto menyaksikan pemandangan yang membuatnya lebih percaya pada kekuatan manusia ketimbang infrastruktur: seorang ibu tua menyambut wisatawan dengan senyum dan tawa yang tulus. Tidak ada gapura besar. Tidak ada pernak-pernik mahal. Tapi yang ada adalah rasa diterima.

Menurut Doddi, inilah esensi pariwisata Indonesia yang tengah dibangun. Melalui program Sadar Wisata, Sapta Pesona, dan Gerakan Wisata Bersih, Kemenpar berusaha menjadikan setiap warga sebagai tuan rumah, bukan hanya penonton.

"Destinasi tak dibangun dengan semen, tapi dengan senyum. Bukan bandara yang megah, tapi rasa diterima dan dihargai," tegas Doddi.

Dari percakapannya dengan Hariyanto, Doddi Ahmad Fauji merangkai narasi yang bukan hanya berbicara tentang arah pembangunan pariwisata, tetapi juga tentang wajah Indonesia yang ingin ditampilkan ke dunia: bukan wajah metropolis yang seragam, tapi wajah desa, wajah pelabuhan kecil, wajah penjaja rujak, dan wajah ibu-ibu yang menyambut dengan tangan hangat.

"Pariwisata Indonesia hanya akan kuat jika dibangun dengan kesetaraan dan ketulusan. Teknologi boleh memandu arah, tapi manusialah yang memberi makna," pungkas Doddi.

Dari cerita ini, kita diundang untuk berpikir ulang: tentang bagaimana kita menyambut tamu, dan barangkali, menyambut kembali diri sendiri.[]

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.

Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post