Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Metafora Sajak-Sajak Heru Antoni dalam Kumpulan Puisi Anak-Anak Air

Metafora Sajak-Sajak Heru Antoni dalam Kumpulan Puisi Anak-Anak Air


Karya Yeni Sulistiyani


#KAWACA.COM - Puisi sebagai bentuk karya sastra dari hasil ungkapan dan perasaan penyair dengan bahasa yang terikat irama, matra, rima, penyusunan lirik dan bait, serta penuh makna saat ini begitu disukai oleh berbagai strata umur dan strata sosial. Puisi tidak memandang di mana dia mesti berada karena puisi terlahir dari jiwa-jiwa sunyi penyair. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi juga diciptakan berdasarkan aliran kehalusan batin penyair, kepekaannya terhadap fenomena alam, peristiwa di lingkungan sekitar hidupnya, kejadian-kejadian penting dalam hidup bahkan kerumpilan-kerumpilan kehidupan penyair sering kali menjadi stimulus terkuat dalam berkarya.

Menuliskan pengalaman batinnya menjadi sebuah perjalanan batin yang begitu mengasyikkan bagi penyair. Melalui menulis puisi penyair dapat menumpahkan gejolak hatinya dengan sangat rapi ke dalam tulisan karena mengemasnya dengan bahasa yang halus, pemilihan kata yang baik, dan menggunakan gaya bahasa yang dapat memperidah dan memperdalam makna kata yang ditulisnya.

Puisi mengutamakan bunyi, bentuk dan juga makna yang ingin disampaikan untuk membentuk keindahan puisi juga membentuk kedalaman makna. Untuk itu pulalah dibutuhkan pemahaman tentang pemilihan diksi secara tepat untuk dapat mendukung keindahan dan kedalaman makna yang tertuang di dalam puisi yang dibuat. Salah satu barometer puisi baik jika terdapat makna yang mendalam dengan memadatkan segala unsur bahasa. Puisi merupakan seni yang tertulis menggunakan bahasa sebagai kualitas estetiknya (keindahan).

Penggunaan gaya bahasa dalam puisi dimaksudkan untuk menghidupkan atau meningkatkan efek dan konotasi tertentu dengan bahasa figuratif yang menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya makna.
Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani —―meta (di atas) dan pherein (mengalihkan/memindahkan). Di dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna―transfer atautranspor. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000: 941). Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora ―Pelanggan adalah raja, berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh, posisi, dan sebagainya dipindahkan kepada pelanggan. Ungkapan Shakespeare yang sangat terkenal ―All the world's a stage adalah contoh metafora yang sering dikutip. Metafora ini mengindikasikan bahwa the world dan stage adalah dua hal yang analog.

Menurut Aristoteles, metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak. Batasan ini biasanya diungkapkan dengan rumus ― A adalah B dalam konteks X, Y, Z … Oleh Aristoteles, ungkapan-ungkapan linguistik yang dihasilkan dari metafora sebagai sarana berpikir itu disebut sebagai stilistika.

Menurut Ortony (1993: 3), bagi Aristoteles, fungsi utama metafora adalah sebagai stilistika atau ornamen retoris, khususnya majas. Danesi (2004: 118) menambahkan bahwa majas tersebut digunakan untuk memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan kata lain, Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan sebagai konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut. Sejak dicanangkan oleh Aristoteles, metafora menjadi salah satu bidang kajian utama bidang filsafat, linguistik dan kritik sastra di Barat. Namun, menurut Punther (2007: 10-12), penekanan pada fungsi metafora sebagai ornamen retoris mengakibatkan kajian-kajian itu hanya terfokus padau upaya-upaya untuk membedakan bahasa harfiah dan bahasa figuratif.

Sebagai contoh, dalam metafora ―Engkau adalah melati kehidupanku, karakteristik melati sebuah bunga yang mempunyai keharuman bunganya namun memiliki kelopak mahkota yang sederhana berwarna putih, kesederhanaan yang dimilikinya bukan hanya pada kelopaknya namun tumbuhnya di alam liar rimbun di antara semak belukar‘ selain itu melati juga ‘perlambang kesucian dan keabadian dari warna putih yang dimiliki bunganya juga keharuman yang tahan lama, dari mulai mekar, layu hingga kering pun melati tetap harum’ dipindahkan kepada kehidupan seseorang yaitu aku‘. Pemindahan ini membuat ―seseorang menjadi pemberi keharuman/kebahagiaan dengan kesederhanaan bentuk/rupanya, kesucian diri, dan keabadian dari cinta yang dimilikinya dari masa permulaan hingga usia menua lalu tiada kepada kehidupan seseorang/aku.

Akibatnya, selama hampir 16 abad metafora tidak dianggap sebagai bagian integral diskursus filsafat dan bahasa sehari-hari, dan pengertian metafora sebagai perbandingan antara sebuah konsep yang asing (topik) dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami (citra) yang menghasilkan kemiripan (titik kesamaan) di antara keduanya, yang kemudian dipindahkan kepada topik sehingga pemahaman terhadapnya meningkat juga tidak mengalami perubahan secara substantif. Teori perbandingan ini didukung oleh Larson (1998: 271-271) yang menekankan bahwa, seperti simile, metafora merupakan ungkapan figuratif yang didasarkan pada perbandingan. Dia menjelaskan bahwa metafora dan simile merupakan bentuk-bentuk gramatikal yang mewakili dua proposisi dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri sebuah topik dan penjelasan mengenai topik itu. Dalam ungkapan―Engkau adalah melati kehidupanku, Engkau merupakan topik dan adalah melati kehidupanku merupakan penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan antara ―Engkaudan melati sebagai pemberi keharuman kebahagiaan dan keabadian.

Metafora menjadi sesuatu yang istimewa digunakan oleh orang-orang berbakat sebagai ornamen retoris. Metafora tidak hanya digunakan secara khusus dalam karya sastra. Metafora juga membentuk proses kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing atau bahasa yang digunakan untuk meyampaikan buah pikiran baru (vehicle). Melalui interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain diharapkan maknanya secara harfiah dapat lebih dikenal, dengan maksud untuk menyampaikan tujuan, arah, atau maksud tertentu (tenor), bukan melalui pemindahan makna. Gagasan baru yang dihasilkan melalui interaksi vehicle dan tenor tersebut menghasilkan pengajaran yang mendalam terhadap sesuatu ‘buah pikiran’ (grounded).

Pilihan citra oleh Ulmann (1977) dan Parera (2004:119) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra. Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain.

Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada manusia dengan citra humor, ironi, peyoratif, atau citra konotasi yang luar biasa, misalnya, fable dalam Fabel MMM yang dikutip oleh Parera terdapat nama-nama seperti Mr. Badak bin Badak, Profesor Keledai, dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba (MPR), dan lain-lain. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan dengan sejumlah tak terbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya.

Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang luar biasa’, moncong senjata ‘ujung senjata’, dan lain-lain.

Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “enak didengar” untuk musik walaupun makna enak selalu dikatkan dengan indra rasa; “sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat. Dengan perkataan lain metafora juga merupakan analogi yang membandingkan dua hal secara langsung.
Sajak-sajak Heru Antoni dikenal banyak mengandung metafora. Heru Antoni adalah seorang penyair berasal dari Lampung. Ketekunannya dalam berkarya secara produktif dan kreatif telah menghasilkan karya-karya terbaik dan dapat dinikmati dalam beberapa antologi puisi bersama, yaitu Seribu Haiku Indonesia, Kitab Karmina, Untuk Jantung Perempuan, Cemara Cinta, Palagan Sastra, Setelah 57 Tahun di Karet, Matahari Cinta Samudera Kata (Hari Puisi), beberapa jurnal sastra FSB, Buletin KANAL, dan beberapa media cetak, serta dalam antologi tunggal berjudul Anak-Anak Air yang diterbitkan oleh Teras Budaya.

Di dalam Kumpulan Puisi Anak-Anak Air, Heru Antoni banyak menulis puisi tentang dirinya sendiri bahkan pada saat antologi puisi tunggal yang pertama ini diluncurkan ada yang meneleaahnya sebagai puisi-puisi berkabungnya. Di samping itu, tema-tema kehidupan, lingkukan dan relijius juga mewarnai Anak-Anak Air Ini. Di sinilah akhirnya banyak bermunculan metafora-metafora terlahir dalam sajak-sajaknya. Metafora-metafora yang dilahirkan Heru Antoni menjadikan puisi-puisinya tampak indah dan bernas. Keindahan tersebut terlahir karena pemahaman-pemahaman mendasarnya terhadap fenomena yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dianalogikan dengan hal lain yang terdapat di dunia ini dengan mempersamakan sifat-sifat benda atau karakteristik hal yang ditunjuk sebagai pembanding secara langsung.

Bait pertama dalam puisi Ibu mengandung metafora bercitra antropomorfik sebagai bentuk suatu gejala semesta. Metafora tersebut terdapat pada bait pertama pada larik kedua, yaitu

Aku tak sanggup menulismu
Ketika aksara menjadi batu
Manasbihkan kasihmu
Ke setiap bagian tubuhku

Si Aku lirik menyatakan ketidaksanggupan menulis tentang sosok ibu pada saat aksara/huruf telah menjadi batu. Hal ini dimaksudkan bahwa ketidaksanggupan Si Aku lirik menuliskan tentang ibu pada waktu huruf-huruf/aksara menjadi batu.
Batu merupakan sebuah bongkahan, benda mati yang keras, sedikit menyerap air tahan terhadap keausan, dan susah untuk dihancurkan. Kerasnya batu ini biasa dianalogikan dengan sifat manusia yang terkadang masa bodoh dengan sesuatu, tidak mau mendengarkan siapa pun, atau susah berubah dengan keadaan apapun. Batu memiliki sifat yang keras, tidak mudah dipecahkan dengan kelembutan namun harus dipecahkan oleh benda yang lebih keras dibandingkan batu. Hal ini dirasakan adanya sebuah syarat pada saat menulis tentang ibu aksara haruslah menjadi sesuatu yang lembut, halus, atau lunak.

Penggambaran ini mengandung maksud bahwa ketika menulis tentang ibu haruslah dalam keadaan atau menggunakan hati yang lembut, halus, dan lunak. Berbicara tentang ibu adalah berbicara tentang kelembutan, keteduhan, kehangatan, kehalusan rasa yang terlahir dari seorang ibu dan sikap yang harus ditunjukkan bila berhadapan dengan ibu. Hal ini selaras dengan latar belakang pemahaman religiusitas Heru Antoni tentang penghormatan dan penghargaan terhadap ibu teramat tinggi karena dalam keyakinannya syurga ada di telapak kaki ibu.

Adab berbicara dalam pandangan ideologi Si Aku lirik selain berbicara jujur dan benar adalah berbicara dengan anggun dan lembut serta menghindari berbicara yang buruk. Pengertian berbicara anggun dan lembut ini erat kaitannya dengan siapa kita berbicara. Hal ini senada dengan apa yang telah diperintahkan Allah untuk tidak mengatakan kalimat “ah” kepada kedua orangtuanya (ibu) di dalam surat Al-Isra ayat 23 yang artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Pemuliaan penyair terhadap ibunya begitu tinggi sehingga kata-kata terbaik, lembut dan santunlah yang paling pantas untuk dia ucapkan bahkan juga dalam menuliskan aksara dalam puisi tentang ibu harus dengan hati yang lembut dan halus meskipun kerumpilan kerumpilan hidup begitu keras seperti batu.

Heru Antoni juga menggunakan kata batu sebagai metafora di dalam sajaknya yang lain dengan judul Tubuh Angin.

seperti juga angin
dunia tak sebesar bijimata
menembus ruangruang ke paling dalam
kepala dan hati batu
hutan-hutan hanya waktu dalam tubuh
angin menjelma badai
seperti juga angin
dapat merobohkan batang-batang pohon
di akar yang rapuh

Pada bait ke-2 larik ke-1 penyair menggunakan kata batu untuk dipersandingkan dengan kata kepala dan hati sehingga menimbulkan makna baru. Makna konotasi dari kepala batu yaitu kepala yang sifatnya sama kerasnya seperti sifat-sifat batu keras dan susah untuk dipecahkan. Penggambaran perwatakan kepala batu ini dimaksudkan untuk menganalogikan atau mempersamakan antara kepala yang keras dalam makna konotatif seperti kerasnya batu. Kepala batu ini dimaknai bahwa seseorang memiliki perwatakan yang keras, sulit untuk diajak kompromi, sulit untuk ditundukkan, atau dimasuki oleh pemikiran lain. Seseorang dengan sifat kepala batu memiliki kecenderungan sulit untuk menerima masukan dari orang lain dan berusaha selalu teguh dengan keyakinan dan kebenarannya sendiri juga terkadang menjadi tidak peduli terhadap kepentingan orang lain/orang banyak.

Sedangkan makna dari hati batu ini sebagai metafora yang menganalogikan antara hati yang keras dan tidak mudah dilunakkan dengan hati batu. Hati yang memiliki sifat-sifat sama seperti batu, yaitu kasar, tidak mudah aus, tidak mudah diresapi air dan susah untuk dipecahkan.

Di dalam puisi ini disampaikan bahwa kerasnya kepala dan hati seseorang yang digambarkan penyair mengakibatkan adanya hutan-hutan yang ada hanya menunggu waktu keadaannya, setelahnya sebagaimana angin yang menempati ruang dan memiliki masa sebagai benda yang berbentuk dan membentuk tubuh sendiri maka bisa menjadi badai yang dapat merobohkan batang-batang pohon semua itu disebabkan oleh kerasnya kepala dan hati manusia.
Metafora kepala batu juga digunakan oleh penyair di dalam puisi lainnya yang berjudul Kepala Batu.

.... hari sudah siang sebentar lagi senja lalu malam waktu mengejarnya cepat sekali!
lantas bagaimana kau menikmatinya? bukankah waktu tak pernah berhenti dan kau tak lagi memiliki waktu untuk kembali bernapas dalam kepala batumu

Sepertinya penulis merasakan adanya fenomena kehidupan yang semakin menyimpang dari garis kehidupan yang semestinya. Lahirnya kata batu beberapa kali di dalam sajaknya menjadi metafora yang dipilih bukan tanpa maksud.
Kepala sebagai tempat terbaik untuk berpikir manusia karena di sanalah otak manusia yang begitu lembut dengan sistem jaringan otak sebagai pusat syaraf yang sangat lunak berguna untuk mengendalikan seluruh fungsi tubuh. Dengan perkataan lain, otak menjadi organ tubuh yang bertanggung jawab untuk melakukan pengaturan terhadap pemikiran, seluruh tubuh manusia dengan cara mengkoordinir dan mengatur perilaku, gerak, dan fungsi tubuh seperti detak jantung, keseimbangan suhu dan cairan pada tubuh, serta tekanan darah.

Otak terdiri dari otak besar dan otak kecil. Di otak besar proses semua kegiatan intelektual berjalan, yaitu kecerdasan, kepribadian, berpikir, mengingat, membayangkan, merencanakan sesuatu, memahami bahasa dan masih banyak lagi. Di otak kecil memiliki kemampuan untuk mengontrol gerak serta keseimbangan tubuh seperti mengatur posisi tubuh dan meningkatkan sistem motorik.

Otak di dalam kepala dilindungi oleh tempurung merupakan organ yang paling penting sekaligus organ yang paling rumit. Dikatakan paling penting karena apabila sedetik saja otak tidak bekerja, maka tubuh akan mati dikarenakan organ tubuh yang lain juga berhenti bekerja.

Metafora tubuh adalah balon terdapat pada puisi Heru Antoni dengan judul Tubuh adalah Balon pada antologi ini di halaman 54.

TUBUH ADALAH BALON

balonbalon lepas
mencari sudut-sudut udara
pada langit berwarna pelangi
sedang daun-daun terjatuh
mencari tempat istirah
hanya memandang
di balik rumputan yang terinjak
: dan menulis
bahwa raga hanya balon berisi udara
bahwa rumah adalah tanah tempat kembali


Metafora —tubuh adalah balon— tubuh merupakan topik dan adalah balon merupakan penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan antara ―tubuhdan balon adanya eksistensinya ada karena adanya udara yang mengisisnya, sebagai pemberi kehidupan. Ada udara maka ia ada tanpa udara maka ia hanyalah karet lepek. Demikian halnya manusia ada/hidup karena udara yang dihirupnya masuk ke dalam paru-paru manusia melalui hidung menuju paru-paru kemudian dialirkan ke seluruh arteri aliran darah di dalam tubuh. Sebagaimana tubuh terlalu banyak udara yang masuk akan mengalami sesak balon pun terlalu banyak udara yang mengisinya melebihi kekuatan karet/tubuh maka pecah/meledaklah balon tersebut, tubuh juga terlalu banyak/berlebihan terisi udara atau makanan tubuh pun tidak mampu untuk menampungnya.

Dari metafora ini terbersitlah pesan agar tubuh sebaiknya menghirup udara secukupnya saja agar tidak sesak agar tidak meledak tubuh tersebut. Dalam hal ini juga dapat mengandung makna konotasi bahwa tubuh hendaklah mengisi tubuhnya untk hidupnya secukupnya saja misalnya untuk konsumsi yang diperlukan tubuh. Jika berlebihan yang dikonsumsi maka semua itu justru dapat menimbulkan penyakit dan membahayakan bagi tubuh bahkan dapat mengakibatkan kematian. Terlalu banyak makan dan minum maka bisa muntah, terlalu banyak makan makanan yang mengandung lemak maka kolesterol dalam tubuh menjadi berlebih dan sakitlah tubuh itu. Terlalu banyak mengkonsumsi gula akibatnya diabetes melitus.

Keserakahan dan kerasukan hanya akan membahayakan hidup kita sendiri, membawa kehancuran dan kematian bagi eksistensi tubuh menjadi tiada. Tubuh setelah kematian hanya berakhir terkubur di dalam tanah sebagai tempat kembali.
bahwa rumah adalah tanah tempat kembali.

Ketika tubuh mengalami kelainan gangguan kesehatan disebabkan semua serba berlebih maka dibawalah ke rumah sakit untuk diobati. Ketika obat tidak mampu lagi digunakan untuk mengobati agar tubuh kembali normal maka kematianlah pada akhirnya. Setelah kematian tubuh dibawa kembali pulang ke rumah namun hanya sementara sebagai tempat persemayaman. Dan tempat terakhir untuk kembali adalah tanah. Rumah adalah tanah. Rumah adalah tempat tinggal. Tempat tinggal terakhir adalah tanah. Tanah adalah tempat dikuburkannya tubuh manusia. Tidak ada yang dibawa kembali meskipun tubuh memiliki harta kekayaan melimpah ruah namun yang dibawa sampai mati hanyalah amal perbuatan, ilmu yang bermanfaat semasa hidupnya hingga setelah kematiannya terus mengalir, dan doa-doa dari anak-anak yang ditinggalkan tubuh tersebut yang menjadi pelita hidup sesudah matinya.

Lampung, 7 Juni 2017

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and  Winston. Alm-Arvius, Christina. 2003. Figures of Speech. Sweden: Studentlitteratur, Lund Antoni, Heru. 2016. Anak-Anak Air. Jakarta: Teras Budaya. Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Classe, Oliver (Ed.). Encyclopedia of Literary Translation into English. (Vol.2).  (London: Fitzroy Dearborn Publishers, 2000). Danesi, Marcel.Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook inSemiotics and  Communication Theory (3rd Ed.) (Toronto: Canadian Scholars‘ Press Inc.,  2004)Davidson, Donald. "What Metaphors Mean,"Critical Inquiry 5 (1),31-47.(Chicago: The University of Chicago Press, 1978). Dickins, James. ―Two Models for Metaphor Translation. Target, 17 (2), 2005 http://www.e-li.orglmain/pdf/pdf-269.pdf. diunduh tanggal 23 Januari 2017 jam 11.00 WIB.
Keraf, Gorys.1994. Diksi dan Gaya Bahasa.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lyons, John.1977. Semantics.Volume I. Melbourne: Cambridge University Press.
Palmer.1981. Semantics. Sydney:Cambridge University Press.
Parera, Djos Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1 tahun  1994.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Sudaryat, Yayat.2009.Makna dalam Wacana. Bandung: CV Yrama Widya.
Ullmann, Stephen. 1977. Semantics, An Introduction to the Science of Meaning. Diadaptasi oleh Sumarsono menjadiPengantar Semantik.2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.