Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mari Kita Tuntun Remy Sylado

Mari Kita Tuntun Remy Sylado

Oleh Denny JA

#KAWACA.COM - Semakin banyak berargumen, semakin banyak membuat kesalahan. Ini khas seseorang yang senang bicara, namun tak paham cara menarik kesimpulan yang sahih dan cara merespon yang benar.
Inilah kesan cepat saya membaca tulisan Remy Sylado: Denny JA Bagai Tupai Tergelincir. Seorang teman mengirimkan tulisan itu di Japri di waktu sahur, hari ini.
Mari saya tunjukkan secara sederhana mengapa Remy tak paham cara menarik kesimpulan yang sahih. Kini tambah lagi: Remy pun tak paham cara merespon yang benar.
-000-
Apa yang sebenarnya pokok perkara? Remy membuat dua kesimpulan mengenai kiprah Denny JA dalam dunia puisi. Kesimpulan yang ia buat cukup besar. Tapi keropos dasar argumennya.
Pertama: kesimpulan satu. Ujar Remy: Denny JA memperalat penyair dalam program puisi esai.
Saya bertanya: benarkah? Ada 240 penyair yang sudah menulis puisi esai, dan 40 buku puisi esai. Kini akan terbit lagi 34 buku puisi esai dari 34 provinsi. Kasus manakah yang Remy maksud? Sah atau tidak kah kasus itu ia generalisasi untuk semua kasus?
Apa jawab Remy? Dalam tulisannya kemudian, tidak ia ungkap dasar kasus yang ia jadikan sandaran untuk menarik kesimpulan. Tak pula ia uji, bisakah satu sampai katakanlah lima kasus yang ia jumpai dijadikan basis untuk 240 kasus penyair?
Yang Remy lakukan dalam tulisannya kemudian, Ia mengutip banyak sekali penghargaan yang ia terima. Mungkin Remypun tak sadar, apa relevansi penghargaan itu dengan bangunan argumen di atas?
Ia dituntut memberikan kasus yang ia jadikan dasar argumen. Ia menjawab dengan mengungkap penghargaan karya sastra. Apa hubungannya?
kedua: Kesimpulan dua. Ujar Remy: kontrak kerja yang dilakukan Denny JA dalam program puisi esai membuat kualitas sastra jatuh.
Saya bertanya. Benarkah? Dunia industri seni termasuk sastra kini banyak yang mulai dengan kontrak kerja. Kasus manakah yang Remy gunakan untuk menunjang kesimpulannya? Bagaimana cara ia membuktikan kontrak menurunkan kualitas. Bisakah ia gunakan kasus itu untuk melakukan generalisasi?
Yang Remy lakukan dalam tulisan berikutnya tidak menjawab itu. Tidak ia paparkan kasus yang menunjukkan secara sahih bahwa benar kontrak kerja terbukti menurunkan kualitas sastra.
Yang ia lakukan, kembali mengutip banyak buku soal logika. Mungkin Remy tak lagi sadar. Apa relevansi buku yang ia kutip dengan konstruksi argumen yang ia buat?
-000-
Dalam satu komentar (reportase wartawan), dan dua tulisannya, segera terbaca dua pola berpikir Remy.
Pertama, kesalahan logika, yang disebut false generalization. Ini kesalahan yang umum dilakukan banyak pihak karena tak terlatih tertib berpikir. Hanya dengan satu dua kasus, ia melakukan generalisasi.
Saya sudah beri contoh kasus false generalization itu. Seorang Ayah menyaksikan anaknya di pesawat alergi memakan kacang yang disajikan. Iapun memperjuangkan agar pesawat tak lagi menyediakan kacang. Ia mengira kasus yang menimpa anaknya seorang bisa ia generalisasi untuk semua penumpang pesawat.
Ketika kita masuk ke dalam public policy, false generalization itu musuh utama. Kita tak akan bisa mengambil kebijakan dan cara merespon yang benar karena kita salah menarik kesimpulan. Realitas yang sebenarnya gagal kita baca karena kesalahan generalisasi. Ini fatal bin fundamental!!!
Remy melakukan kesalah sang Ayah di atas. Hanya melihat satu atau dua kasus puisi esai, langsung menyatakan Denny JA memperalat penyair. Padahal banyak penyair lain, yang lebih banyak jumlahnya, yang bisa ia temui. Banyak penyair itu bisa jadi memberikan kesaksian yang berbeda.
Hal yang sama soal kontrak. Hanya karena ia mungkin tak suka dunia sastra melakukan kontrak kerja, lalu selera pribadi itu ia generalisasi untuk semua. Keluarlah kesimpulan ajaib: kontrak kerja merendahkan kualitas sastra.
Padahal di masa kini kontrak kerja menulis novel itu biasa. Bahkan saya tunjukan pula, 100 tahun lalu, Charles Dickens yang karya sastranya bermutu sudah pula melakukan kontrak kerja.
-000-
Melalui tulisannya yang terbaru: Denny JA bagai Tupai Tergelincir, pola berpikir Remy yang salah semakin terlihat. Dalam tulisan terbaru, terbaca agakya Remypun tak paham cara merespon yang benar.
Ia tidak mengeksplor dan melengkapi data kasus dan prosedur apa yang digugat, pokok perkara, yang menjadi inti diskusi. Ia menjawab dengan berlari kepada kasus lain yang tak ada relevansinya.
Pokok perkara adalah itu: kasus Denny JA memperalat penyair. Kasus kontrak kerja menurunkan kualitas sastra. Bukan pokok perkara ini yang ia gali lebih dalam dengan tambahan data dan prosedur mengambil kesimpulan.
Ia malah menujukkan penghargaan karya sastra yang ia terima. Tapi apa hubungan dengan tertib berpikir?
Mereka yang pandai membuat puisi dan novel dan mendapat penghargaan atasnya, tak otomatis pasti paham metodologi riset dan cara mengambil kesimpulan yang sahih.
Kini di tulisan terbaru, ia kutip pula aneka buku soal logika yang ia baca dan sebagainya. Apa pula relevansinya? Remy hanya diminta menunjukkan bukti bahwa kontrak menurunkan kualitas sastra. Kok yang ia bawa judul buku soal logika?
Kita teringat kisah Abu Nawas. Ia berjam- jam mencari kunci di ruangan yang terang. Ditanya oleh kawannya. Dimana kau hilangkan kunci itu, wahai Abu
nawas? Jawab Abu Nawas, aku kehilangan kunci di kamarku.
Lalu mengapa kau cari kunci itu di sini, tanya temannya lagi. Jawab Abu Nawas: Kamarku gelap. Di sini terang. Lebih mudah mencari di tempat yang terang.
Untuk kasus di atas, Remy Sylado telah menjadi sejenis Abu Nawas. Kunci yang perlu ia cari ada di kamar gelap sana. Yaitu aneka kasus dan prosedur menarik kesimpulan yang sahih.
Eeehhhh, Remy tidak mencari di sana. Ia lebih senang di ruang yang terang: mengumbar penghargaan karya sastra yang ia terima dan judul buku yang ia baca. Padahal itu tak ada hubungannya.
Ada yang menyedihkan dalam percakapan ini. Tak saya duga, saya harus menuntun setahap setahap dengan bahasa yang mudah seorang senior semacam Remy Sylado untuk menunjukkan kesalahan berpikirnya.
Awalnya saya ada rasa tak enak. Namun saya harus pula bisa memisahkan. Remy Sylado memang senior dalam karya sastra. Namun untuk tertib berpikir, cara mengambil kesimpulan yang sahih, Remy hanya seorang pemula yang melakukan kesalahan elementer.
Tak apa kakanda Remy. Kita saling belajar saja. Bro Remy bisa ajarkan saya cara menulis novel yang belum pernah saya lakukan. Saya bisa membriefing bro Remy cara memgambil kesimpulan yang sahih yang memang menjadi bidang saya.
Kita saling asih, asah, asuh. Begitukah Kakanda?***
Juni 2018

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.