Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Abdorrahman Pulang dari Rantau - Afridany Ramli

Abdorrahman Pulang dari Rantau - Afridany Ramli

Oleh Afridany Ramli*


Akhirnya Abdorraman membungkus pakaiannya sekaligus ia masukkan beberapa helai pakaian  ke dalam tas, serta barang-barang lain yang kira-kira menurutnya penting sebagai bekal. Sudah lama keinginannya untuk merantau belum terkabulkan. Kali ini impian Abdorrahman tercapai sudah.
Sejak tamat dari sekolah menengah atas Abdorraman sudah punya keinginan besar untuk meninggalkan kampung halamannya. Kelak bilamana ia sukses, Abdorraman akan membahagiakan orang tua serta keluarganya. Cita-citanya itu pernah diungkapkan padaku, dalam waktu singkat pertemuan kami suatu ketika di warung kopi Cek Mir.
Tapi, keinginan Abdorrahman terkendala musibah, Ayahnya meninggal dunia. Abdorrahman terpaksa harus mengganti tugas ayahnya sebagai tulang punggung keluarga. Abdorrahman punya cita-cita besar untuk melanjutkan kuliah, namun terkendala biaya. Keluarga Abdorrahman terdiri dari keluarga miskin. Lagi pula saat itu tidak pekerjaan yang mapan bagi Abdorraman.
Di sebuah tempat penjualan mie caleuk milik Wa Sakdi, kami bertemu tanpa rencana. Abdorrahman terkagum-kagum melihatku sudah menjadi gemuk. Sampai-sampai ia berkata, "kamu sudah sehat lah ya." Aku menepuk bahu Abdorrahman sebagai tanda pertemanan kami.
Kemudian Abdorrahman berkeluh tentang nasibnya yang belum beruntung padaku. Ia belum menggapai semua impian besarnya menjadi seseorang yang sukses. Di sekolah kami sering duduk di kantin, dan menceritakan masa depan kami bersama-sama.
Sejenak saat di tengah-tengah perbincangan kami yang sedang serius, Abdorrahman memotong pembicaraan kami. Ia berujar, "Kalau kamu jumpa sama Bang Din Black, jangan lupa kasih tahu dia kalau aku nak merantau." Katanya. Aku mengangguk pelan. Kebanyakan yang mengenal Abdorrahman menganggap dia orang gila. Tapi, bukan Abdorrahman tidak seperti yang orang katakan. Aku mengenalnya lebih dekat.
Abdorrahman hanya kecewa pada Mimi, kekasih hatinya yang gagal dipinang. Waktu itu Abdorrahman sudah menabung di Bank. Ketika uang itu hendak digunakannya untuk membeli mahar, kedua adik dan orang tuanya melarang Abdorrahman. Alasan itu karena orang tuanya takut gagal dalam pernikahan. Wajah Abdorrahman tidak tergolong tampan seperti kebanyakan pria idaman. Giginya sudah rontok dan sebahagian tubuhnya sudah nampak memar-memar luka.
Meski pun demikian, Abdorrahman yakin, masih ada jalan untuk masa depannya. Harapan itu dibangun Abdorrahman dengan satu syarat yaitu harus pindah merantau. Abdorrahman tidak boleh lagi tinggal di desa tempat ia dilahirkan. Banyak sebab yang membuat Abdorrahman harus pergi.
Orang-orang di desanya selalu mencari keberadaan Abdorahman sore hari, saat ia pulang kerja. Paling tidak saat Abdorrahman mulai berkeliaran di desa setempat. Karena Abdorrahman sering menyimpan uang hasil kerjanya. Abdorrahman dikenal sosok paling hemat yang memiliki banyak uang. Terkadang Abdorrahman menyimpannya di semak-semak belukar agar tidak dicuri orang.
Sebelum semua simpanan Abdorrahman ditarik ludes oleh keluarganya, Abdorrahman sempat bermimpi bahwa Mimilah gadis yang akan mendapingi hidupnya. Membeli sebuah mobil, membangun sebuah rumah atau paling kurang sepeda motor. Tapi, usaha Abdorrahman terhenti di tengah jalan. Ia terpaksa menelan pahit, keluarganya berkehendak lain, semuanya dilakukan demi keselamatan Abdorrahman.
Sekarang Abdorrahman sudah memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya. Ia ingin merantau. Tujuannya untuk mencapai mimpinya. Menabung uang kembali, sekaligus mencari pendamping hidup yang layak, kalau berkenan Mimilah nanti wanita yang akan dipersuntingnya.
Suatu ketika Abdorrahman sudah tidak berdaya lagi menghindari orang-orang yang menggeledeknya, menjarah upah kerjanya sekaligus mempermainkan perasaanya. Abdorrahman mengerjain membalas perbuatan orang tersebut. Dia memasukkan daun-daun melinjau ke dalam kantong kresek dan seolah-olah itu bungkusan uang yang sering digunakannya.
Abdorrahman bersembunyi di balik sebatang pohon sembari mengintip. "Siapa selama ini yang sering mencuri uangku?" Geram Abdorrahman. Akhirnya seseorang datang. Abdorahman tidak menyangka bahwa yang akan datang itu adalah seorang bilal. Yang dikenalnya sebagai penjaga meunasah. Lalu Abdorahman pun turut memperhatikan gelagat sang bilal. Ketika sang bilal mengambil kantong kresek itu, Abdorahman pun tertawa cekikikan. Sang bilal malu sendiri, dan mengancam Abdorrahman.
Di lain waktu Abdorahman lagi-lagi kehilangan uang yang disimpannya di saku celana yang dipakainya sehari-hari. Abdorrahman merasa bimbang. Uang itu rencana hendak dibelinya sepeda motor bekas. Ia menaruh curiga pada sang bilal. Tapi, Abdorrahman tidak menuduh sembarangan. Ia pun memakai trik yang sama.
Kembali Abdorrahman memasan rencana dengan cara bersembunyi ke hutan. Biasanya kalau Abdorrahman sudah pergi ke hutan, secara diam-diam orang-orang akan membuntutinya. Mereka akan mencari keberadaan sekaligus mengintipnya. Sebab orang-orang sudah tahu, kepicikan Abdorrahman menyimpan uang di bawah-bawah pohon yang jauh dari kerumunan.
Kali ini yang datang juga bukan orang yang diharapkan oleh Abdorrahman. Pria itu sering mengambik uangnya. Bahkan tidak peduli seberapa banyak yang ia simpan. Imam meunasah, ketika Abdorahman sudah menghilang dari hutan. Imam datangi tempat persembunyian Abdorrahman. Ketika membuka kantong kresek yang dititip Abdorahman ternyata sebuah jebakan baginya.
Abdorrahman merasa sedih. Kenapa ia diperlakukan semena-mena di desanya. Sikat gigi, baju, dan semua perlengkapannya dibuang begitu saja. Sehingga Abdorrahman pun melalang buana.
Hari itu Abdorrahman berangkat menuju ke Gayo. Dia baru sampai di terminal paya ilang. Sebuah warung kopi menampungnya. Pedagang menampungnya dan memberikan pekerjaan yang layak untuknnya. Lama ia bekerja di sana sebagai pencuci piring. Abdorahman diberikan tempat tidur dan makanan yang layak.
Lima tahun di sana Abdorrahman berkenalan dengan seorang perempuan berdarah Jawa. Ia dinikahkan dan membeli sebuah sepeda motor. Abdorrahman memiliki rumah sendiri yang dibelinya dengan hasil tabungannya. Sehingga istrinya hamil enam bulan Abdorrahman sudah membangun usaha sendiri. Dia membuka sebuah rumah makan.
Tidak lama membuka rumah makan, Abdorahman sudah membuka cabang. Ia suka bersedekah dan suka berbagi dengan anak-anak. Abdorrahman bahkan membuka beberapa gerai nasi uduk di emperan-emperan pertokoan. Usaha itu dikelolanya bersama dengan istrinya. Sampai-sampai dia membeli sebuah ruko.
Saat anak pertamanya lahir usaha Abdorrahman meningkat pesat. Tak ada yang tersisa dari hasil penjualannya setiap waktu. Abdorraman sudah memiliki enam belas orang anak buah yang bisa membantu usahanya. Bahkan Ibu mertuanya ikut membantu memasak. Adik-adiknya yang di kampung semua bekerja bersama Abdorrahman.
Hari itu Abdorrahman merindukan kampung halaman.  Dia ingin pulang menjenguk sanak saudara. Jauh-jauh hari ia sudah merencakan untuk segera pulang kampung halamannya. Tapi sebelumnya ia sudah mempersiapkan seekor sapi untuk disembelih di kampung. Paling kurang untuk acara kenduri, menyambut kepulangannya. Semua orang terharu biru, saat melihat Abdorrahman mengenakan jas dan ia nampak seperti seorang pengusaha sukses dan terkenal yang pernah ditonton mereka melalui siaran televisi.
Satu persatu tamu menyalami Abdorrahman. Tidak sedikit yang memberi ucapan selamat padanya. Acara perjamuan bahkan berlanjut tujuh hari tujuh malam. Untuk kelengkapan acara tersebut ia turut menggelar acara santunan anak yatim. Dan orang-orang yang datang seakan tak percaya bahwa itu. ***

Kembang Tanjong. 7 Mei 2018

*Penulis novel Jihar, dan Novita, kini berdomisili di Kembang Tanjong, Sigli, Aceh.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.