Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Saya Kambing - Maman S. Mahayana

Saya Kambing - Maman S. Mahayana

oleh Maman S. Mahayana
Saya Kambing

KAWACA.COM | “Saya kambing; saya ayam; saya sop buntut!” Pernyataan semacam itu kerap kita dengar manakala kita berada di sebuah warung sate. Dialog antara pemesan dan tukang sate, sering kali menghasilkan ujaran demikian. Jadi, pernyataan itu tidak datang dari para hewan. Maksud ujaran itu adalah: saya (pesan) sate kambing; sate ayam; atau sop buntut. Nah, di sini, secara remang-remang, kita dapat menangkap adanya perbedaan antara ujaran lisan dan ragam tulis.

Begitu banyak kata dilesapkan saat terjadi peristiwa dialog dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu, komunikasi antara pengujar dan mitrabicara justru jadi terasa natural, alamiah, dan wajar. Memang demikian spirit komunikasi lisan dalam situasi nonformal.Dalam ujaran lisan, lantaran yang dipentingkan adalah kelancaran komunikasi, maka kelengkapan struktur kalimat sering kali terabaikan. Akibatnya, kita berhadapan dengan begitu banyak kalimat tidak lengkap, lantaran beberapa unsurnya dilesapkan. Kalimat: “Bawa ini ke sana!” misalnya, dalam ujaran lisan, kata penunjuk ini dan sana, tidak akan menimbulkan masalah, sebab (benda) ini dan (ruang) sana, jelas maujudnya. Dalam ragam tulis, objeknya mesti dikonkretkan. Maka, kalimat imperatif: “Bawa ini ke sana!” objek yang dilesapkan itu mesti dihadirkan: “Bawa (buku) ini ke (meja) sana!”

Adanya perbedaan antara ujaran lisan dan ragam tulis, memaksa pemakai bahasa mesti punya kesadaran kontekstual dan situasional. Kapan dan di mana ujaran lisan digunakan dan bagaimana ujaran lisan itu hendak diwujudkan dalam ragam tulis. Kesadaran itu penting artinya ketika kita hendak membuat semacam cogan, semboyan atau slogan. Pungtuasi dalam ragam tulis, tidak boleh diabaikan begitu saja sebagai pengganti unsur supresegmental bahasa lisan. Sebutlah misalnya, slogan yang diambil dari satu larik puisi Wiji Thukul berikut ini:

“Hanya ada satu kata lawan.”
Penghilangan tanda baca menjadikan slogan itu bermasalah. Orang bisa membacanya: “Hanya, ada satu kata lawan.” Atau, “Hanya ada, satu kata lawan.” Atau lagi, “Hanya ada satu, kata lawan.” Pembacaannya akan lain jika tanda baca ditempatkan secara tepat:
“Hanya ada satu kata: lawan!”
***
Beberapa waktu yang lalu, entah siapa yang memulainya, ramai orang membuat slogan: “Saya Indonesia!” dan “Saya Pancasila!” Berbeda dengan “Saya kambing” tadi yang konteks, situasi, dan sasarannya jelas, “Saya Indonesia!” dan “Saya Pancasila!” situasi dan konteksnya tak jelas. Oleh karena itu, sebagai ujaran lisan atau ragam tulis, slogan itu bermasalah. Terlalu gegabah mereduksi kata Indonesia dan Pancasila sebagai (ideologi atau sikap) saya. Bagaimana jika “saya” seorang koruptor, kriminal atau bandit. Maka, Indonesia dan Pancasila tidak lain adalah koruptor, kriminal, atau bandit.

Problem kedua slogan itu (“Saya Indonesia!” dan “Saya Pancasila!”) adalah terjadinya pelesapan satu atau dua kata sebagai predikat yang mengantarkan pada keterangan objeknya (Indonesia dan Pancasila). Bagaimana jika kata yang dilesapkan itu, benci atau anti? Maka, maknanya justru bertentangan dengan pesan ideal yang diniatkan.
Kata apa yang dilesapkan dalam frasa “Saya Indonesia”? Cinta, orang, warganegara, penduduk atau apa? Yang paling logis adalah orang, warganegara, penduduk yang menunjuk pada identitas bangsa. Tetapi, jika pesannya berkaitan dengan upaya mengangkat persoalan nasionalisme, “Saya (warganegara, orang, penduduk) Indonesia” slogan itu gagal. Tak cukup tenaga untuk menumbuhkan efek psikologis untuk menggelorakan semangat nasionalisme.

Jika di belakang kata saya disandingkan kata yang berhubungan dengan pekerjaan, profesi atau nama diri, maka kata yang di belakangnya itu berfungsi sebagai keterangan. Misalnya, “Saya dokter.” “Saya guru.” “Saya sejarawan.” atau “Saya Harun.” secara sintaksis dan semantik, pernyataan itu terterima dan tidak akanmenimbulkan salah tafsir. Jadi, penyandingan persona pertama, saya dengan nomina, dalam kasus tertentu, dapat diterima, tetapi dalam kasus lain, bisa sebaliknya.

Dalam bahasa, selalu, ada kalimat yang secara sintaksis dapat dibenarkan,
tetapi tidak secara semantik. Persoalan ini juga berkaitan dengan penalaran dan logika. Kalimat “Saya memukul kucing” misalnya, dapat dibenarkan secara sintaksis, semantis, juga terterima secara nalar. Tetapi jika kalimatnya begini: “Kucing memukul saya” secara sintaksis, benar, tetapi logika kita akan menolaknya, karena tidak ada kucing yang dapat memukul manusia.

Kembali ke slogan: “Saya Indonesia!” dan “Saya Pancasila!” secara sintaksis benar, tetapi secara semantik dan logika, keduanya tidak dapat diterima. Jika pun hendak memaksakan mewacanakan kedua slogan itu, kata Indonesia dan Pancasila digeser maknanya menjadi kata sifat atau bersifat Indonesia dan Pancasila. Oleh karena itu, slogannya mesti sebagai berikut: “Saya Indonesianistik” dan “Saya Pancasilais”. Mengapa Indonesianistik dan tidak Indonesianis? Indonesianis adalah sebutan bagi orang asing yang dianggap ahli tentang Indonesia. Jadi, “Saya Indonesianis” bermakna saya orang asing. Maknanya berbeda dengan Indonesianistik, yaitu bersifat keindonesiaan yang menyangkut ideologi, sifat, dan karakter Indonesia. Sementara Pancasilais, berkaitan dengan kepancasilaan, yaitu sifat, ideologi, dan karakter.

Bagaimanapun, penciptaan slogan yang berkaitan dengan kebangsaan dan ideologi bangsa, eloklah tidak dilakukan serampangan. Patutlah kiranya dikaji dahulu berdasarkan aturan dan logika kebahasaan. Oleh karena itu, slogan “Saya Indonesia!” dan “Saya Pancasila!” seyogianya disimpan dalam laci dan diganti: “Saya Indonesianistik!” dan “Saya Pancasilais!”

____
Dikutip dari: "Memasabodohkan Teori", Maman S. Mahayana, Esai Pengantar Program Penulisan Esai, Mastera (Majelis Asia Tenggara), Bandung, Lembang, 19—25 Agustus 2019.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.