Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Pemilu 2019 Samakah dengan 1955? - Rizal Kurniawan

Pemilu 2019 Samakah dengan 1955? - Rizal Kurniawan

oleh Rizal Kurniawan

KAWACA.COM - Tak terasa tinggal beberapa bulan lagi kita akan menghadapi pesta demokrasi. Pemilihan kepala negara dan wakil-wakil rakyat nampaknya mulai terasa jauh-jauh hari sebelum pelaksanaannya. Ada yang menyambutnya dengan suka cita (terutama yang berkaitan dengan pengusaha dan pengrajin atribut pemilu seperti kaos, poster, kalender, dan baliho) namun banyak yang berduka kala pemilu tiba.


Duka? Duka apa yang menyebabkan pemilu menjadi momok? Tak lain dan tak bukan muncul “pendukung garis keras” dan merajarelanya kabar Hoax diantara kita. Sejarah mencatat, sejak pemilihan umum pertama pada tahun 1955 perang opini menjadi “gorengan” utama yang sedap rasanya. 

Wajar kondisi terjadi, kala itu masih suasana mencekam mengingat banyak sekali konflik baik dari luar (invasi belanda) maupun dari dalam (pemberontakan di beberapa kawasan seperti PKI di madiun dan NII di jawa barat) yang menyimpan trauma. Mengutip artikel Hendaru Tri Hanggoro yang dimuat historia, sebagian besar pelakon propaganda adalah partai-partai besar semacam Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kubu satu menuduh kubu sebelah melakukan ini dan itu, dan di lain sisi juga melakukan hal yang sama, maka geger antara pendukung tak terelakkan.

Hanya saja, meski selalu berbenturan, semangat dalam mengisi pesta demokrasi pertama kali ini yang seharusnya dilaksanakan tahun 1946 tertunda hampir satu dasawarsa lamanya. Menurut Ahmad Syafii Maarif di harian repubilka, pada tahun 1955 usia kemerdekaan Indonesia baru 10 tahun, sangat muda, tetapi telah mencapai tingkat kedewasaan politik yang luar biasa. Pertentangan antar partai memang keras, tetapi tidak ada kerusakan fisik, tidak ada darah yang tertumpah, padahal gaungan perbelahan partai itu telah menyusup sampai ke pelosok Nusantara yang paling tersuruk.

Maka sungguh aneh bin ajaib bila pemilu selanjutnya terjadi geger hingga terjadi bentrok karena beda pendapat. Sudah tujuh puluh tiga tahun kita merdeka namun cara kita menyikapi perbedaan pilihan kian lama semakin mengerikan. Sudah sebelas kali negeri ini mengadakan pemilu dan empat kali coblosan presiden. Seharusnya kita semakin dewasa dalam memandang dan tak main anarkis.

Masih dari Syafii Maarif di tirto.id. Beda paham dan kepentingan itu biasa, dan itu cukup di dalam ruang parlemen saja. Cukup antar-mereka saja dan akar rumput tak diajak bertarung. Di luar ruangan, mereka bercengkerama. Jadi masihkah kita menjadikan perbedaan pilihan sebagai musuh?

Rizal Kurniawan, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo dan penikmat sejarah.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.