Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Nenek Bercerita Tentang Kemerdekaan - Eko Setyawan

Nenek Bercerita Tentang Kemerdekaan - Eko Setyawan

oleh Eko Setyawan

“Apa itu kemerdekaan?” Begitulah pertanyaan dari ibu guru yang masih tersimpan di kepalaku. Pertanyaan itu telah menerorku. Tentu saja, aku harus menemukan jawabannya.

Tapi kurasa aku harus bekerja keras untuk bisa menjawabnya. Karena bagiku, membicarakan kemerdekaan berarti harus mengingat dan menghafal nama-nama besar pahlawan. Aku belum banyak belajar tentang hal itu, setahuku hanya di foto-foto yang dipanjang di dalam kelas. Ada Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Imam Bonjol, RA. Kartini, dan Cut Nyak Dien. Sebenarnya aku masih tahu banyak lagi. Tapi lebih sering lupa kerena gambar pahlawan itu ada di kelas lain.

Di kamar ini, aku terus berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan ibu guru. Aku membuka-buka buku catatan, mencari beberapa buku yang ada di meja belajar, dan akhirnya menemukan RPUL yang kubeli sewaktu bazar yang diadakan di sekolah. Harganya murah. Cukup kubayar dengan uang sakuku selama tiga hari.

Saat itu, sebelum diadakan bazar, ibu guru memberitahu jika kami harus menabung karena akan ada bazar yang menjual buku-buku murah. Tentu saja dengan senang hati kami mengumpulkan uang saku kami untuk membeli buku. Waktu itu, aku rela tidak jajan selama seminggu. Uangku kutabung di celengan yang kubuat dari kaleng susu.

“Kamu mau beli buku apa?” tanya Siska sewaktu giliran kelas kami untuk melihat-lihat bazar di halaman sekolah.

“Aku mau beli buku yang lengkap saja. Biar bias berhemat,” kataku. Hal ini kuputuskan karena aku mendapat uang dari nenek. Setiap hari, uang saku selalu kudapat dari nenek. Ini karena memang aku tinggal hanya bersama nenek. Bapak dan ibu bekerja jauh dari sini. Aku tidak tahu ke mana. Kalau kata nenek, mereka bekerja di ibu kota. Jadi aku harus berhemat. Kasihan nenek.

“Mungkin kamu bisa beli RPUL. Kan kata ibu guru, buku itu berisi banyak informasi dan lengkap.” Aku menurut saja dengan Siska. Karena Siska adalah teman baikku dan juga pintar. Mungkin bukan hanya aku yang mengatakan, bahkan teman-teman dan guruku. Itu karena dia selalu mendapat ranking satu di kelas.

“Iya, Siska. Kalau kamu mau beli apa?” tanyaku lagi ke Siska.

“Aku juga mau beli RPUL. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan.”

Setelah kubeli, sayangnya aku hanya tertarik dengan gambar-gambar yang ada di dalam buku. Tidak terlalu banyak membaca isinya. Jadi kubiarkan saja ditumpukan bersama buku-buku yang lain. Aku ingat, aku pernah melihat gambar-gambar yang di sana tertulis pahwalan Indonesia. Jadi kuputuskan kembali untuk membuka RPUL yang kubeli. Siapa tahu aku menemukan jawaban dari pertanyaan ibu guru.

Namun ketika mulai membuka-buka lembar demi lembar halaman, nenek datang di belakangku.

“Kau sedang apa, Marina?” kata nenek sembari memegang bahuku.

Aku kaget bukan kepalang. Aku tergeragap lantas tertawa.

“Nenek mengagetkan saja.”

“Kau sedang apa? Apakah ada PR?” Nenek berujar dengan senyuman di bibirnya. Tentu saja itu membuatku luruh. Memang, sampai saat ini, aku merasa sangat dekat dengan nenek dibandingkan dengan orangtuaku sendiri.

“Apakah nenek tahu kemerdekaan itu apa?” Aku mencoba bertanya pada nenek. Kurasa itu akan membantuku menjawab pertanyaan.

“Apa, Nduk?”

“Apakah nenek tahu tentang kemerdekaan?” kuulangi pertanyaanku pada nenek.

Nenek mulai duduk di dipan. Aku mengamatinya. Tampak dari raut wajah nenek sedang berpikir atau mungkin sedang mengingat sesuatu. Aku melihatnya dari meja belajarku lalu membuka lagi lembar demi lembar buku. Kudengar nenek menarik napas lantas mendengus. Telingaku menangkap suaranya.

“Kemerdekaan itu, Nduk, ketika kau bisa menghargai orang lain yang ada di sekitarmu. Kau tak memilih teman dengan membedakan dari mana dia berasal, apa bahasanya, dari suku apa, dan yang paling penting adalah kau tak membedakan teman dari agama yang dianutnya,” kata nenek dengan begitu jelas.

Mendengar ucapan itu, aku menatap nenek dan menyusulnya duduk di dipan.

“Maksudnya, Nek?” tanyaku karena masih belum mengerti.

“Ya begitulah, Marina. Kemerdekaan sejati itu adalah saling menghormati sesama manusia. Tidak mempedulikan suku, ras, dan agama. Semua manusia ciptaan Gusti Allah itu sama.” Nenek bercerita dengan senang hati.

Mendengar ini aku jadi tahu, bahwa kemerdekaan bukan melulu soal membicarakan pahlawan. Tetapi adalah soal menghormati dan menghargai sesama manusia.

“Lalu, Nek. Apa yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk memerdekakan negara ini, Nek?” kulanjutkan pertanyaanku pada nenek. Pertanyaan ini kusampaikan tak lain untuk  menuntaskan penasaranku terhadap pertanyaan yang dilontarkan oleh guru sejarahku. Bahwa ada pahlawan perempuan.

Ibu guru bertanya kepada kami. Tapi tak satu pun dari kami bias menjawabnya. Ketika itu, mata kami sekelas hanya saling beradu pandang. Pertanyaan dari ibu guru memusingkan kepalaku dan teman-teman yang lain. Pertanyaan dari ibu guru tak ubahnya  seperti bianglala di kepalaku, atau bahkan mungkin juga di kepala teman-temanku yang lain.

Bianglala itu terus berputar di kepalaku. Mungkin akan berhenti jika aku sudah menemukan jawabannya. Tapi aku benar-benar tak menemukan jawabannya. Termasuk Siska, murid terpintar di kelas. Hingga akhirnya kuputuskan bertanya pada nenek karena pertanyaan itu harus kujawab esok hari.

“Kau berkata apa, Marina?” lagi-lagi nenek menimpaliku dengan pertanyaan. Maklum saja, umur nenek yang sudah tua telah ‘memakan’ fungsi alat pendengarannya. Itu kuketahui juga dari ibu guru di sekolah.

Katanya begini: manusia lahir dengan proses yang teramat panjang. Mulai dari kandungan, kemudian menjadi bayi dengan kinerja organ tubuh yang belum begitu baik, pendengaran yang belum normal, cara bicarayang tidak fasih, juga penglihatan yang belum sempurna.

Syahdan, tumbuh menjadi anak-anak dan fungsi tubuhnya membaik lantas menjadi dewasa. Kalian akan dewasa dan bisa membedakan dengan kondisi kalian sekarang. Setelah dewasa, manusia akan menua. Ketika memasuki usia tua, fungsi tubuh manusia akan menjadi serupa bayi kembali. Artinya, orang yang sudah tua akan berkurang fungsi alat pendengarannya, bicara kembali tidak fasih, dan tentu saja penglihatannya akan semakin kabur. Ditambah dengan kulit yang keriput.

Begitulah kata ibu guru disertai dengan gerakan tangan yang menunjuk dan memegang telinga, bibir, mata, dan tentu saja kulit. Mungkin sebatas itulah yang kuingat dari penjelasan ibu guru. Aku akan mengingatnya dan sampai pada cerita ini.

“Apa yang bisa dilakukan perempuan untuk memerdekakan negara ini, Nenek?” lagi-lagi aku harus mengulangi pertanyaan dengan sedikit geram.

Nenek menarik napas panjang. Lalu berkata:

“Sederhana saja, Nduk. Jadilah perempuan yang sederhana. Jangan pernah merendahkan orang lain. Sebab, kita belum tentu lebih baik dari yang lain.” Nenek berkata sembari berdiri, mengelus rambutku, lantas keluar kamar. Ini cukup untuk menjawab pertanyaan ibu guru.

Besok pagi, kuputuskan akan mengatakan semua penjelasan nenek pada ibu guru dan  juga teman-teman. Semoga aku mampu mengingat semuanya baik-baik di ingatanku.
_________


EKO SETYAWAN, lahir dan menetap di Karanganyar, Jawa Tengah. Kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Buku kumpulan puisinya berjudul Merindukan Kepulangan (2017). Bergiat di Komunitas Sastra Senjanara, Komunitas Kamar Kata Karanganyar, dan Literasi Kemuning. Karya-karyanya tersebar di Koran Tempo, Solopos, Radar Surabaya, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Malang Post, Radar Bromo, Analisa Medan, Magelang Ekspres, Banjarmasin Post, Haluan Padang, Fajar Makassar, Jurnal Asia, Cendananews.com, Saluransebelas.com, Takanta.id, Infotimur.com,  Nusantaranews.co, dan lainnya. Dapat dihubungi melalui surel esetyawan450@gmail.com serta telepon 089673384146.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.