Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Buku: Tak Malu Kita Jadi Melayu, karya Sekebat Sajak karya Musa Ismail

Buku: Tak Malu Kita Jadi Melayu, karya Sekebat Sajak karya Musa Ismail

Sultan, Tanjak, Keris
Tak Malu Kita Jadi Melayu
Sekebat Sajak karya MUSA ISMAIL



Prolog: Griven H. Putera (Dari, Bersama, dan Kepada-Nya Jua, Sayang Tersampang) 
Sampul: Adeg Gembo
Atak: Indra Kusuma
Cetakan Pertama: Februari 2019

Diterbitkan pertama kali oleh:
TareBooks
(Taretan Sedaya International)
Jalan Jaya 25, Kenanga IV, Cengkareng, Jakarta Barat11730
+62 811 1986 73
tarebooks@gmail.com
www.tarebooks.com

xix + 176 hlm. – 14,8x21 cm
ISBN: 978-602-5819-18-6
Harga: Rp58.000,00
Order: +6281365781427 (WA), Tarebooks (FB)


______
TEPAK SIRIH PENYAIR
”Menulis Sajak, Mencatat Tanda-Tanda”

Bismillah,

”Saya tak punya bakat menulis,” begitu kata teman. Saya langsung berpikir bahwa teman saya itu tidak berbakat mencatat tanda-tanda. Nah, dalam hal menulis, saya termasuk orang yang tidak memedulikan bakat. Saya berpendapat bahwa untuk menjadi penulis tidak perlu bakat. Saya sangat meyakini itu. Sekali lagi, menulis tidak perlu bakat! Saya pun tidak punya bakat dalam hal menulis. Bagi saya, yang diperlukan dalam menulis adalah motivasi untuk menulis. Yang terpenting adalah menulis, menulis, menulis, dan bersabar. Kesabaranlah yang  akan membedakan antara kita, termasuk penulis.

Banyak hal yang bisa ditulis. Allah Taala membentangkan langit dan bumi, termasuk di antara keduanya. Semuanya itu bisa dijadikan bahan tulisan. Dari situlah, tema akan bermunculan. Dari situlah, semuanya akan bermula menjadi tulisan. Karena itu, bagi saya, sangat irasional jika ada yang mengatakan bahwa dia tidak ada bahan untuk menulis. Alam semesta yang dibentangkan Allah Taala merupakan tanda-tanda. Tanda-tanda ini dibentangkan secara tidak terhingga.”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal” (Ali Imron:190). Ayat-ayat merupakan tanda-tanda yang penuh ibrah dan tidak akan pernah habis. Hal tersebut dipertegas lagi, ”Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah” (Luqman:27). Dengan demikian, kita tidak layak mengatakan bahwa kehabisan bahan untuk menulis. 

Menulis sajak pun demikian. Menulis sajak (puisi) bermakna mencatat tanda-tanda. Menulis sajak pada hakikatnya mencatat tanda-tanda yang telah ada di langit, bumi, dan di antara keduanya. Saya menulis sajak berarti saya mencatat tanda-tanda (ayat-ayat) yang telah disediakan oleh Pemilik Semesta. Saya meminjam semua yang sudah ada. Tidak ada tanda-tanda yang baru di langit dan bumi serta di antara keduanya. Cuma kita sebagai makhluk belum bisa menemukannya. Karena itu menurut saya, menulis sajak bukan sekedar menjalin keindahan kata. Menulis sajak bukan hanya mengaduk diksi. Menulis sajak bukan cuma memberdayakan kata-kata. Lebih dari itu semua, menulis sajak adalah menyampaikan kebutuhan hidup melalui pilihan kata yang sudah ada. Kebutuhan hidup itu adalah keindahan yang sebenarnya, yaitu keindahan Ilahi.

Semua isi semesta ini merupakan tanda-tanda dari Allah Taala. Keberhasilan kita mencatat tanda-tanda itu menjadi sajak berdasarkan pemahaman kita ketika membaca tanda-tanda itu. Sajak-sajak saya dalam antologi ini merupakan hasil dari pemahaman saya melalui pembacaan tanda-tanda. Saya melakukannya sangat sederhana. Tempat atau daerah merupakan tanda-tanda. Karena itu, sajak-sajak saya akan bermain di situ. Sebagai contoh, sajak Karimun, Batam, Taman Kota Layu, Bong San Ting, dan sebagainya. Al-Quran adalah Maha Tanda-Tanda. Karena itu, ada juga sajak saya berjudul Manusia Api, Ahad, dan sebagainya. Sejarah, kegemilangan, keruntuhan, legenda, percintaan, kesetiaan, kebudayaan, dan seterusnya (akan habis tinta kita untuk mencatatnya) semua itu adalah tanda-tanda.

Saya harus mengakui. Sajak-sajak saya dalam antologi ini melalui perjalanan cukup panjang. Dalam rentang waktu 2000-2018, saya baru ”bertelor” (meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri) satu antologi sajak. di sisi lain, saya baru ”bertelor” delapan karya prosa (empat kumpulan cerpen, satu esai budaya-sastra, dan tiga novel). Ini suatu bukti bahwa saya lebih mudah menulis prosa daripada sajak. Sekali lagi, saya harus mengakui itu! Meskipun demikian, saya tidak akan berhenti menulis (sajak) sebelum sampai ke batas!
Sekebat sajak saya ini ibarat hidangan. Tuan, Puan, dan kawan-kawan silakan menyantapnya. Mungkin ada yang kenyang atau muak dengan hidangan saya ini. Semuanya saya serahkan bulat-bulat kepada Tuan, Puan, dan kawan-kawan. Apa pun tanggapan yang diberikan, saya harus menerima dengan lapang dada agar saya bisa menghidangkan yang lebih istimewa di masa yang akan datang.

Terima kasih untuk isteriku, Isnawati. Terima kasih juga untuk ketika anakku, M. Iqbal Al Raziq, M. Syazily Al Raziq, dan M. Qushairi Asshiddiqie. Terima kasih kepada semua yang turut memotivasi kehadiran buku sajak perdana saya ini.

Alhamdulillah.
Musa Ismail


______
APA KATA SASTRAWAN?

”Terasa benar ”pesisir”-nya. Ini kesan pertama ketika bait-bait sajak Musa Ismail saya baca. Dari tanah kelahirannya, dengan memakai diksi, kata, imaji, dan bunyi yang akrab di telinga orang pesisir, Musa Ismail membaca dan memotret kehidupan. Lalu, dia menuangkan gagasan dengan pilihan nada-nada ”mengajak” untuk merenungi hakikat hidup. Renungan itu sepertinya menyuluh tentang religius, sejarah, dan juga peradaban Melayu yang kemudian disimpul menawan lewat baris-baris kata yang dipilih. Tetapi bagi saya, makna yang lahir dari tiap ”ucapnya” justru menjadi sangat universal sehingga saya akhirnya bangga menjadi bagian dari anak, cucu, cicit bangsa Melayu dan tak pernah menyimpan rasa malu meski secuil pun” 
(Jefry Al Malay, sastrawan, dosen, peraih gelar Johan Penyair Asia Tenggara)

”Puisi-puisi Musa Ismail kaya dengan perenungan mendalam tentang kesejatian Melayu. Dengan daya ungkap yang membidas, kita seperti dihenyak oleh suatu kesadaran, ”Sejauh mana kita telah memiliki atau menjiwai Melayu?” Kesadaran itu juga dilatarbelakangi oleh penyair dengan ramuan historis, religiusitas, sosial, serta majas-majas yang memperkuat sisi yang ingin disadarkannya itu” 
(Riki Utomi, sastrawan, pendidik)

”MASYA ALLAH.  Kalimat itu yang langsung menyerbu hati ketika kami disodorkan sehimpun sajak CikGu Musa Ismail yang akan diterbitkan ke dalam sebuah kitab puisi dengan judul "Sultan, Tanjak, Keris:
Tak Malu Kita Jadi Melayu". Ia menyerang begitu sahaja. Dan sasarannya adalah mata, sebelum menjelma degup di dada, sebelum menjelma jarum di hati. Wallahu'alam. Betapa tidak, ternyata semua puisi dalam kitab ini dimulai dengan kata "bismillah" dan diakhiri/ditutup dengan kata "alhamdulillah". Dua kata thayyibah yang menyimbolkan kebaikan kehasanahan dari apa sahaja yang dimulai dan ditutup oleh kedua kata itu. Masya Allah. Dan ketika melihatnya, pikiran kami melayang ke mana-mana, mencari tempat singgah: kepada macam-macam amal ibadah. Setelah merayau ke mana-mana --mencari dahan yang pas untuk singgah-- kami berhenti di ruang amalan "minum". Ya, sesederhana "meneguk minuman". Begitulah ia.

Membaca semua sajak dalam kitab puisi ini, ia seperti mengajak kita menikmati seteguk air sejuk yang diminum saat rasa haus datang menyiksa: membaca judulnya, lalu "bismillah", membaca isinya, lalu "alhamdulillah". Lalu membaca sebuah sajak yang lain lagi: membaca judulnya, lalu "bismillah", membaca isinya, lalu  "alhamdulillah". Begitu seterusnya. Dan sejuknya terasa di tekak, mengalir meresap ke dalam dada. Lihatlah:

Nasihat Diri: SULTAN
Kepada Hati 

Bismillah

Hati adalah sultan
Tahtanya bersemayam dalam badan
dalam! 
Ke manakah langkah sultan
dengan hati buta atau hati cahaya?

Berpikirlah dengan hati!
Ketika langit dan bumi menghadap Allah
dengan suka hati
Patutkah hati kita benci?
Tunduk, hatinya tenteram
hati tenteram, Allah hendaklah genggam

Yang belum beriman
Hendaklah menyucikan hati
bagai langit dan bumi
sebelum hati dikunci mati
bagai hati kera
melampaui batas, keras

Hati adalah SULTAN
Tempat Allah menitipkan cahaya-Nya
Hati adalah jalan kebenaran 
Tempat Allah menitipkan ilmu-Nya
Hati adalah jalan kekuatan
Tempat Allah menitipkan kuasa-Nya

Di hatiku, Allah hadir selalu!

Alhamdulillah

Bengkalis, Rumah Sastra, 28 Zulhijah 1439 H / 

Begitulah Musa Ismail, seorang CikGu (Guru) yang ikut serta menjadikan puisi sebagai bagian dari keinginan untuk mendedikasi diri menjadi "hamba" di hadapan Allah subhaana wata'ala. Ia sadar betul akan kedudukannya itu, dan berupaya menempatkan dirinya menjadi seorang "da'i yang cikgu", yang ikut mengabarkan kebenaran-kebenaran Ilahiah, mencontoh Baginda Nabi shalallahu'alaihi wasallam. Syabas dan selamat atas terbitnya kitab puisi ini, CikGu Musa Ismail. Semoga memberi manfaat untuk umat, dan menjadi catatan amal kebaikan di sisi Tuhan. Aamiin” 
(Norham Abdul Wahab, sastrawan, MBoro, Desember Akhir 2018)

”Membaca puisi-puisi yang terhimpun dalam kumpulan puisi ini, kita akan menemukan berbagai tema kehidupan dari perspektif Melayu. Musa Ismail terlihat piawai memainkan imajinasinya dalam mengonstruksikan berbagai persoalan dan peristiwa, baik hadir di tanah Melayu maupun di berbagai tempat lainnya. Muatan Melayu sengaja dihadirkan dan ini menjadi kekuatan puisi-puisi karya Musa Ismail” 
(Dr. Junaidi, sastrawan, Dekan FIB Unilak)
  
”Membaca puisi-puisi Musa Ismail dalam buku ini, imajinasi menyeret hati dan pikiran pembaca untuk mengenal diri lewat sejarah, masa kini, kekuasaan, dan kesetiaan. Tiada yang paling bertanggung jawab selain diri sendiri dalam menjalani hidup ini. Tubuh manusia adalah kerajaan, yang masing-masing anggota tubuh saling paut-berpaut menciptakan kemerdekaan diri dan segala tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban. Inilah eksistensialisme Melayu yang identik dengan Islam; keberadaan manusia menuju sumber yang paling hakiki, yaitu Sang Maha Pencipta. Musa Ismail mampu menyulam eksistensi Melayu itu dalam buku puisinya ”Tak Malu Kita Jadi Melayu” 
(Hang Kafrawi, sastrawan, pegiat teater, penyair, dosen FIB Unilak)

”Puisi-puisi Musa Ismail penuh pesan-pesan religi, moral, dan kehidupan yang universal. Berbagai peristiwa penting dan sejarah selalu mengetuk hatinya yang paling dalam untuk menuangkannya dalam karya puisi yang indah. Melalui sajak-sajaknya kali ini, Musa Ismail sebagai penyair betul-betul ingin mengajak pembaca agar ikut bersama menyelami ragam peristiwa dan kehidupan yang selalu datang dan terbentang di depan mata” (Marzuli Ridwan Al-Bantany, penyair dan cerpenis, aktif bergerak di Rumah Sastra Bengkalis)

”Puisi-puisi Musa Ismail dalam antologi ini, bagi saya, sebagai sesuatu yang penting ketika periodeisasi sejarah wujud dalam suatu kesatuan kisah dengan tantangannya masing-masing. Tetap saja ada harapan dalam bandingan dulu dan kini untuk meraih masa depan yang gemilang, betapa pun prosesnya tidaklah mudah. Syabas!"
(Taufik Ikram Jamil, sastrawan).

”Puisi-puisi Musa Ismail dalam kumpulan Tak Malu Kita Jadi Melayu adalah puisi-puisi gelisah seorang Melayu yang mencari celah untuk keluar, menerabas segala hempangan kesunyiannya. Keterpencilan kulturalnya. Lihatlah pasukan kata-katanya bagai balatentara yang berbaris menuju medan perang, mencabut keris untuk membebaskan kegelisahan kultur Melayunya yang dikepung oleh cungkup keterpencilan. Gelisah sosial, politik, juga ekonomi. Puisi-puisi itu ditulis dari bilik puisi sunyinya di Pulau Bengkalis, salah satu pulau bersejarah tempat kultur Melayu membangun kuasa dan jatidirinya. Pulau perbancuhan roh kemelayuan sejak ratusan tahun di lintasan Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Debur ombak, pekik angina, dan gemuruh badai seakan mengantar pasukan kata-kata puisinya ke mana-mana. Menerabas dan mencari celah bagaimana gelisahnya sebagai penyair Melayu menemukan arah untuk melawan hempangan keterpencilan dan keterasingan itu. Tanjak, keris, dan sultan merupakan simbol kemerdekaan sebagai penyair dalam mencari ruang untuk bertukar resa dan kegelisahan. Suatu laut kata-kata Melayu yang mencari ruang makna. Makna hidup, makna kesunyian seorang penyair. Sabas Musa!"
(Rida K Liamsi, penyair)

______
DAFTAR ISI

APA KATA SASTRAWAN iii
TEPAK SIRIH PENYAIR ix
P R O L O G xiii

LELAKI MATAHARI 1
Airmata Istana 3
Cinta dan Setia 4
Lelaki Matahari 5
Menunggu 6
Nasihat Diri: Pikiran 7
Nasihat Diri: SULTAN 8
Nasihat Diri: Langkah 9
Nasihat Diri: Pandangan 10
Nasihat Diri: Gapai Amalan 11
Sultan 12
Ziarah Sejarah 13
Air Laut, Rumah Masa Depan 14
Airmata Merbau 15
Batubatu yang Mengalir Air Sungai di Bawahnya 16
Bencana di Rakhine 17
Batam 18

ISTANA CAHAYA 19
Bunga Api Rohingya 21
Dari Palestina ke Rohingya 22
Di Depan Selat Melaka 23
Hijrahlah! 24
Indonesia 25
Istana Cahaya 26
Jakarta 27
Kabut Selat 28
Karimun 29
Kota Tua 30
Lempeng Sagu 31
Sejuk Padang Panjang 32
Ngilu Rohingya 33
Samak, Tanjung Gundah 34
Sampan Percung 35
Pulang ke Kampung 36
Selatpanjang 37
Sri Laksamana, suatu Persinggahan 38

SIAK BERTANJAK 39
Semangkuk Lendot 41
Sepiring Laksa 42
Siak Bertanjak 43
Sungai Selari 44
Sultan, Tanjak, Keris: 45
Tenggelam 48
TMII 49
Ya Allah, Rohingya 50
Ahad 51
Di Manakah Kita? 52
Harga Mati! 54
Jiwa Layu 56
Ke Jalan Lurus 57
Malam Kemerdekaan 58
Nikmat yang Banyak 60

MANUSIA API 61
Para Pendusta 63
Punah! 64
Rabb, Lindungi Aku 65
Manusia Api 66
Sembilu di Pulau Seberang 67
Air Laut, Rumah Masa Depan 68
Air Mata 69
Belajar 70
Dari Rahim Ibu 71
Di Sini, Kami Labuhkan Jiwa 72
Di Telaga Kasih 73
Guru, Suluh di Setiap Keluh 74
Harga Diri 77
Kebun di Musim Dingin 78
Kota Burung 79
Niat untuk Berubah 80
Purnama 15 81
Segumpal Tanah 82
Taman Kota Layu 83
Kita 84

KENANGAN OKTOBER 85
Bong San Ting 87
Barelang, Tangisan Khianat yang Belum Terurai 88
Bukitbarisan, Panas Merimbun 89
Airputih, Daun Kering 90
Kenangan Oktober 91
Negeri Berkabut Azab 92
Negeri Para Penipu 93
Sungaipakning, Pelabuhan Peluh 95
Sungai Siak, Lumpur Gelisah 96
Pekanbaru: Asa yang Rebah 97
Kepada Orang-Orang Terdidik 98
Luka yang Dalam 99
Mesuji 100
Sepotong Luka di Selat Bengkalis (1) 101
Sepotong Luka di Selat Bengkalis (2) 102
Suara Alam 103
Embun 104

PESAN DALAM PEDANG105
Terbanglah, Anakku Sayang 107
Dalam Setangkai Bunga 109
Ingin seperti Musa 111
Lohong 112
Merajut Rindu-Mu 113
Kita 2 114
Kita 3 115
Pelaut yang Karam Dihempas Waktu 116
Tanah Air 117
Asin Peluh dari Cangkir Lelah 118
Doa Musim Kerontang 119
Kepada Pewaris Masa Depan 120
Kiamat 121
Kita! 122
Makna Merdeka 123
Pelabuhan Tangis 124
Pesan dalam Pedang 125
Rinduku pada Rasul 126
Anakku Bertanya tentang Allah 127
Senyuman Bunda 128

KEPADA LANGIT 129
Bendera Airmata 131
Karena Kau 133
Ketika Petang di Seberang Selat 134
Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Pertama 136
Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Kedua 138
Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Ketiga 140
Setangkai Melati di Hati 142
Laksana Bendera yang Berkibar 143
Kelepak-Kelepak Kupasang Kembali 144
Mengejar-Mu dalam Kerinduan yang Panjang 145
Kepada Langit 147
Malam-Malam Ramadan 148
Mengejar Huruf-Mu 149

TENTANG PENYAIR 151


________
TENTANG PENYAIR

Musa Ismail dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen Sebuah Kesaksian (2002), esai sastra-budaya Membela Marwah Melayu (2007), novel Tangisan Batang Pudu (2008), kumpulan cerpen Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut (2009), kumpulan cerpen Hikayat Kampung Asap (2010), novel Lautan Rindu (2010), kumpulan cerpen Surga yang Terkunci (2015), dan novel Demi Masa (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemangku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi Setanggi Junjungan (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI Menderas sampai ke Siak (2017), Mufakat Air (2017), Jejak Air Mata: Dari Sitture ke Kuala Langsa (Jakarta, 2017), Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi (Jakarta, 2017), Dara dan Azab (Malaysia, 2017), Kunanti di Kampar Kiri (Pekanbaru, 2018), Jazirah (Tanjungpinang, 2018).

Sastrawan ini merasa tidak pernah bermimpi menjadi penulis. Sejak SD, SMP, dan SPG, tidak ada keistimewaannya dalam menulis. Bahkan, menurut pengakuannya, ia merasa kesulitan merangkai kata-kata untuk dijadikan karangan. Aktivitas menulisnya dimulai ketika mendapat tantangan dari dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Riau, pada dekade 90-an. Ketika itu, dosen bernama U.U. Hamidy (budayawan Riau) menawarkan nilai A kepada mahasiswa asalkan karyanya dimuat di koran. Ketika itu pula, Musa Ismail berupaya menulis dengan harapan dimuat di media massa dan memperoleh nilai A.

Ternyata, tantangan sebagai motivasi dari dosennya itu telah menempa dirinya menjadi penulis. Meskipun tidak memperoleh nilai A karena tulisannya dimuat setelah proses kuliah dengan dosennya selesai, Musa Ismail mengaku sangat bersyukur. Tantangan dosen tersebut telah membentuk karakternya sebagai penulis. Seingat saya, sekitar 17 hingga 20 tulisan, saya kirimkan ke Riau Pos. Setelah melewati proses, akhirnya dimuat juga. Sejak itulah, saya terus menulis. Tulisan awal saya berbentuk artikel atau esai. Tantangan dan proses itu sangat berharga. Sastrawan ini menamatkan SD di kampung halaman, SMPN 3 Tanjung Balai Karimun, SPGN Tanjungpinang (1990), dan Universitas Riau, FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1994). Kemampuan menulisnya semakin terasah setelah bergabung menjadi wartawan di Riau Pos pada akhir 1994 hingga akhir 1996.***




Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.