Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Feminisme dan Maya di Mata Garin - Sofyan RH. Zaid

Feminisme dan Maya di Mata Garin - Sofyan RH. Zaid

oleh Sofyan RH. Zaid


"Perempuan kadang suka membuat hal yang sederhana menjadi drama."
Elektra Queen

Pembuka
29 April 2018, saya pernah menjadi moderator untuk diskusi perihal “Puisi dan Film” bersama Garin Nugroho dan Hasan Aspahani di Banyuwangi. Dari diskusi seru tersebut, ada tiga pernyataan Garin yang saya ingat: (1) "Semua film saya terinspirasi dari karya sastra.” (2) “Buat apa membuang uang dan tenaga untuk membuat film yang biasa saja atau mengulang yang telah ada.” (3) “Keyakinan adalah modal utama untuk sebuah karya."

Dari pernyataan Garin tersebut, mari kita lihat film “Perempuan dalam Gerbong” (PDG) karya Maya Azeezah (Maya) ini. Namun sebelum itu, penting untuk kita kupas satu demi satu hal yang tampak dari film tersebut, seperti “Perempuan”, “Gerbong”, Hitam Putih”.

Kenapa “Perempuan” bukan “Wanita”?
Apa bedanya perempuan dengan wanita? Perempuan -dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia- bersifat umum yang menunjukkan jenis kelamin manusia yang memiliki rahim, sehingga dia bisa hamil, melahirkan dan menyusui. Sementara itu, wanita lebih khusus menunjukkan perempuan yang telah dewasa. Kedewasaan dalam hal ini bisa kita lihat pada tiga faktor utama, yaitu umur, tubuh, dan pikiran.

Benarkah definisi perempuan dan wanita sekaligus perbedaannya hanya sebatas itu? Tidak banyak yang tahu bahwa kata “wanita” dalam bahasa Indonesia sebenarnya diserap dari bahasa Jawa “wanito” sebagai semi akronim dari “wani ditoto” atau “berani ditata”. Kemudian, kata “perempuan” berasal dari kata “empu” yang mendapat imbuhan “per – an”. Empu –paling tidak- memiliki dua pengertian, yakni: orang ahli membuat senjata pusaka seperti keris, dan kepala. Jadi, perempuan di sini bisa berarti orang yang ahli dalam membuat dan mendidik anak yang ampuh seperti keris pusaka.

Inilah barangkali alasan kenapa Maya memilih menggunakan kata “Perempuan” daripada “Wanita”.

Kenapa “Gerbong” bukan “Kabin”?
Kata “kabin” bisa dipakai untuk ruangan di dalam kapal (udara atau laut) dan mobil, sedang kata “gerbong” hanya merujuk pada ruangan dalam kereta api.  Ada apa dengan kereta api? 

Secara filosofis, kereta api merupakan simbol dari kesuksesan hidup seorang manusia. Jadi, untuk menjadi sukses, kita harus meniru kereta api. Apa itu? (1) Kereta api berjalan di atas rel. Rel menunjukkan jalan yang tepat, benar, dan fokus. Sejauh apapun jarak, kereta api tetap melaju di atas rel. (2) Kereta api memiliki satu lokomotif. Satu kekuatan yang menarik serangkaian gerbong. Gerbong bisa berkurang atau bertambah, lokomotifnya tetap satu. Hanya satu kekuatan; (3) Janji kereta api lebih pasti. Ia berangkat dan tiba pada waktu yang telah ditetapkan. Ia selalu tepat waktu; dan (4) Mencapai stasiun akhir secara bersama seluruh gerbong. Bersama dalam mencapai tujuan.

Barangkali itu alasan kenapa Maya lebih memilih “gerbong’ daripada “kabin”.

Kenapa “Hitam Putih” bukan “Merah Putih”?
“Hitam dan putih” bukanlah warna, setidaknya bukan warna primer. Hitam putih merupakan situasi dan kondisi dalam teori cahaya. Hitam menunjukkan ketiadaan sempurna cahaya, dan putih adalah adanya sempurna cahaya. 

Namun walau hitam putih bukanlah warna, ia tetaplah warna dalam sebutan kita atau warna subtraktif. Dalam kehidupan sosial, kita telanjur berpikir bahwa hitam adalah buruk atau “najis”, dan putih adalah baik atau “suci”. Benarkah demikian?

Dalam filosofi warna, hitam bermakna suram, misterius, tetapi elegan, sedangkan putih berarti bersih, steril, terbuka, tetapi bisa menyakitkan mata atau kepala. Terlepas dari apapun makna hitam dan putih, keduanya adalah warna kontras, klasik, dan universal.

Barangkali itulah alasan Maya memilih warna “hitam putih” daripada “merah putih”, atau setidaknya ia tidak akan dicurigai sedang kampanye pilpres.

Feminisme dalam Konteks Film
Kita bisa merasakan, adanya “Perempuan Hitam” dalam film Maya seperti membenarkan sebuah slogan feminis "perempuan tanpa lelaki ibarat ikan tanpa sepeda." Sebuah slogan yang sering dikaitkan dengan Gloria Steinem, padahal slogan tersebut dibuat oleh Irina Dunn pada tahun 1970. Atau juga mengamini ucapan Kate Beckinsale kalau "orang harus menyadari perempuan bukanlah soal pelacur atau keperawanan, tetapi perempuan harus dipandang sebagai manusia."

Sementara itu, “Perempuan Putih” seolah membenarkan Socrates bahwa "kebutuhan perempuan dari seorang laki-laki adalah untuk dicintai." Atau juga pernyataan Lois G. Forer kalau pun "ada kaum wanita bekerja bukan untuk berusaha menyamai atau melebihi kaum pria, melainkan hanya untuk menjadi manusia yang mandiri." 

Pertentangan hitam dan putih sebagai dua unsur dalam satu tubuh  perempuan di atas mengingatkan kita pada aforisme D. H. Lawrence bahwa "perempuan memang tidak pernah puas akan berbagai kemewahan. Namun perempuan yang mencintai seorang lelaki bisa tidur dengan berbantalkan papan saja."  Kita juga mungkin akan mengamini ucapan seorang pendidik dari Mesir, Yasmin Mogahed, kalau “nilai seorang perempuan tidak diukur dari ukuran pinggul atau jumlah pria yang menyukainya. Nilainya sebagai manusia diukur pada skala yang lebih tinggi: skala kebenaran dan kesalehan, atau dengan kata lain adalah sesuatu yang lebih luhur daripada hanya terlihat baik untuk pria.”

Itulah kenapa Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1994:275) menuliskan bahwa masalah profesi sebenarnya tidak untuk dipermasalahkan. Sebagaimana kaum pria, kaum perempuan pun juga diperbolehkan berkarya atau bekerja jika memang diperlukan selama pelaksanaannya berada dalam garis yang benar, sesuai, dan tidak sampai lupa diri atas tugas dan kewajiban dasar sebagai perempuan. Apa tugas perempuan? Salah satunya itu tadi, menjadi empu.

Penutup
Lantas, bagaimana film Maya tersebut ketika dibenturkan dengan pernyataan Garin di awal: 

1. Apakah film Maya terinspirasi dari karya sastra? Iya, film ini diadaptasi dari puisi berjudul “Perempuan dalam Gerbong” sebagaimana Garin punya film –salah satu- berjudul “Bulan Tertusuk Ilalang” yang terinspirasi dari puisi D Zawawi Imron “Bulan Tertusuk Lalang”.

2. Apakah film Maya ini hanya membuang uang dan tenaga karena filmya biasa saja dan mengulang yang telah ada. Saya pribadi, belum pernah nonton film yang isinya hanya dialog dalam gerbong kereta, kecuali film Maya ini. Entah kalian? Apakah film Maya ini biasa-biasa saja? Saya belum bisa menilainya sekarang, karena baru menontonnya sekali.

3. Apakah film Maya ini lahir dari modal keyakinan semata? Hanya Maya dan Tuhan yang tahu.

Pertanyaannya sekarang, kenapa saya melihat film Maya ini berdasarkan kacamata Garin? Sebelum Garin sukses sebagai sutradara dengan segudang prestasi, film pendek pertama yang dia buat berjudul: “Gerbong Satu, Dua” tahun 1984. Ada diksi yang sama dengan Maya: “Gerbong”. Semoga Maya pun!

Bekasi, 25 Maret 2019

____
Disampaikan dalam Diskusi & Nonton Bareng dari Buku ke Film “Perempuan dalam Gerbong” karya Maya Azeezah, Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Utara, Aula Sudin Pusip JU, 25 Maret 2019.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.