Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Puisi-Puisi Zen KR. Halil

Puisi-Puisi Zen KR. Halil

Madah Para Masyaikh

(Kiai Syarqawi) 
Kucium aroma lebih harum dari kuntum bunga
Di makammu yang telah renta
Saat sejarah terpiuh dalam sila
Pada sela-sela kupeluk khusyuk dengan dzikir dan doa.
Lalu engkau mengalir deras dalam ingatan
; seorang musyafir yang menyihir belantara
Menjelma belahan surga
Merengkuh tabah seluas samudera.
Hingga dari rahim tanganmu
Terlahir para auliya.

Semogalah jua terdengar olehmu
Geletar debar hatiku
Yang resah menanti barokah
Mengalir bersama sungai Fatihah,
Yasin,Tahlil, Al-Ikhlash, atau segala surah

(Kiai Abdullah Sajjad)
Teruslah tumbuh dalam asaku, Kiai
Agar segala serang mampu kuhadang
Walau tanpa sebilah pedang di tangan
Walau tanpa butuh kugenggam senapan.

Aku akan tetap teguh
Bila ruhmu ke dalam jiwa menyatu
Bila jiwamu ke dalam ruh berlabuh.

(Kiai Ilyas Syarqawi)
Adakah engkau putra sang Malaikat?

Sejauh kisah mengasah namamu
Yang tajam adalah ketaatanmu.
Engkau padi menguning
Ta’dzim dalam bunyi dan hening
Ingin aku hidup sezaman
Untuk belajar menafakkuri hakikat kehidupan
Sebab pituturmu telaga
Mampu menyucikan jiwa
Meluruhkan dahaga
Menyimpan sejuk
Hendak kuteguk
Sampai aku mabuk
Bersama barokahmu.

(Kiai A. Warits Ilyas)
Memancarlah cahaya
Lebih indah tinimbang purnama
Darimu yang taklelah dan resah
Memangku istiqamah.

Kerap kudengar engkau berseru
“Al-Istiqamatu ainul karamah”
Namun aku sungguh tak tahu
Bagaimana cara menyuburkan wejang itu di ladang hati,
Bagaimana cara menindih letih hingga tiada lagi,
Bagaimana cara menjaga sabar agar sukar ‘tuk buyar?

Sudikah kiranya kau ajari aku semua itu, Kiai
Setidaknya satu majelis dalam mimpi?
Sebab dalam dunia nyata
Kita telah tak bisa berpandang mata.

(Kiai Achmad Basyir A.S)
Tinggallah rindu serupa kuda perang
Menghentak-hentak dalam benak
Pada sosok tiada kenal sepi
Menyambung tali
Di batin Kiai-Santri.

Maka, kupetik diksi dari tubuh sunyi
Meski sahaja kutulis puisi
Untuk menghatur madah kepadamu, Kiai.
Annuqayah, 2019 M.

Sajak Kepedihan

/I/
Jalan menuju barat masih tak begitu panjang, Sayang
Yang panjang adalah penderitaanku mencintaimu.
Sungguh! Aku tertatih letih
Menempuh arah penuh duri
Di jalan menuju hatimu
; jalan yang kusebut dengan nama pedih.

/II/
Samudera lepas masih tak luas, Sayang
Yang luas adalah luka dalam cintaku.
Silahkan! Kau lihat sendiri di hatiku
Ombak sangatlah riuh bergemuruh
Mengantar buih bernama pedih
Ke tepi penantianku.

/III/
Badai dan topan masih tak mengerikan, Sayang
Yang jauh lebih mengerikan
Adalah kasih dan setiaku berujung penghianatanmu.

Lubangsa, 2019

Matahari

Seharusnya
Tak ada
Yang meminta cahayaku.
Sebab inginku
Seluruhnya 
Terpancar ke hatimu.

Maret, 2019

Zen KR. Halil adalah santri PP. Annuqayah Lubangsa asal Batang-batang yang mulai menyukai puisi sejak berproses di Komunitas Persi. Karyanya pernah dimuat di sejumlah media, seperti Suara Merdeka, Kawaca.com, dan lainnya. Saat ini turut aktif di RL community dan Komunitas Ngaji Puisi. Buku antologi bersamanya : Tanah Bandungan (FAM:2017), Perempuan yang Tak Layu Merindu Tunas Baru (FAM:2017), Pekerja Kasar Tanjung Luar (TidarMedia:2017), Yang Berlari dalam Kenangan (PERSI:2019).

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.