Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Aku Tak Bahagia, Jika Ada yang Menderita - Ema Afriyani

Aku Tak Bahagia, Jika Ada yang Menderita - Ema Afriyani

Ema Afriyani - KAWACA.COM
Oleh Ema Afriyani

Terlahir dalam keadaan apa pun, itulah yang terbaik untuk kita menurut Allah. Hal yang senantiasa dilakukan adalah bersyukur. Jika kita terlahir dari keluarga yang tidak berkecukupan, itu tandanya Allah ingin kita berusaha, bekerja keras, serta tidak berhenti untuk berdoa. Meminta agar sebuah penderitaan segera diganti dengan kebahagiaan yang lebih baik.

"Pulang sekolah, makan bakso di warung dekat alun-alun, yuk?" ajak Gischa memulai obrolan diwaktu istirahat pertama.

"Boleh juga, tuh. Udah lama nggak makan bakso di sana," sambar Diana.
"Apalagi cuacanya lagi dingin-dingin begini," tambah Laila.

Semua sudah mengutarakan persetujuan. Tinggal Rassy yang belum. Gadis itu tampak tidak peduli dengan rencana sahabatnya. Dia sibuk dengan kalimat-kalimat rapi dibuku bacaannya. Bibirnya terlipat rapi. Tidak menandakan akan mengeluarkan suara.

"Semua udah setuju, tinggal satu orang aja nih, yang belum memberikan persetujuan atau penolakan," ucap Diana sambil bola matanya tertuju pada Rassy yang masih membeku.
Kalau soal ini, Rassy memang tidak suka nimbrung. Tiba-tiba dia akan berubah menjadi seorang yang tuli.

"Mau dong, Ras?" pinta Laila dengan wajah memelas. "Kapan lagi kita makan beremoat? Keburu lulus nanti," lanjutnya.

Rassy mengembuskan napas keras. Diangkat kepalanya dari buku bacaan. "Aku nggak bisa ikut," katanya datar.

"Kenapa sih Ras, kamu nggak pernah mau ikut kita? Katanya sahabat, tapi makan bareng aja nggak pernah?" tuntut Gischa.
"Iya nih. Selama kita sahabatan, cuma kamu yang paling anti menjemput kesenangan."
"Aku lagi nggak punya uang. Bukannya nggak mau, ada keperluan lebih penting dari sekedar makan. Lagian, kita kan sering makan bekal bareng? Sama aja, kan?"

Diana memutar bola mata jengah. "Nggak punya uang atau pelit?" sindir Diana.
Tiba-tiba mata Rassy menatap tajam sahabatnya itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata, gadis itu meninggalkan halaman kelas.

Ada satu hal yang membuat Rassy tidak suka makan di luar.

***

Pukul 08.30 di hari Jumat, kegiatan Rohis telah selesai dilaksanakan di lapangan SMA Nusantara. Ceramah dari perwakilan murid kelas XI IPA 1, sangat memberikan oencerahan untuk murid lain. Kegiatan rohani ini sangat disukai Rassy. Karena dapat menambah pemahaman tentang Islam.

"Kantin yuk beli air?" ajak Laila.
"Yuk. Kebetulan tenggorokan aku kering banget," sahut Diana sambil memegangi leher.
"Yuk Ras, ke kantin," kata Gischa sambil menyenggol lengan Rassy.
Rassy tersenyum kecil. Lalu memberi gelengan.
Diana mengembuskan napas keras. "Ya elah Ras. Beli minum cuma seribu doang, pelit amat, sih?"
"Aku lagi berhemat, Di," sela Rassy tenang.
"Berhemat atau memang karena pelit?" Diana memberi sentilan.
Rassy mengembuskan napas dengan teratur. Sudah biasa baginya menghadapi ini semua.
"Memang kamu mau beli apa, sih? Sampai rela nabung dan nggak pernah jajan di sekolah? Memangnya orangtua kamu nggak bisa biayain kamu lagi?"

Rassy menatap Diana dengan ekspresi datar. "Terserah kalian mau berpresepsi aoa tentang aku. Yang jelas, selagi bisa tidak merepotkan orangtua, kenapa harus memberikan mereka beban?"

Rassy berlalu mrninggalkan lapangan tanpa menunggu tanggapan dari sahabatnya.
Cuaca yang mulai memanas, hanya akan membuat perasaannya semakin panas, jika terus berhadapan dengan sahabatnya itu.

***

Tiiitttt...

Bel pulang berbunyi nyaring. Rassy bergegas mengemas buku pelajaran di atas meja. Setelah selesai berdoa, gadis itu menjadi yang paling utama meninggalkan ruang kelas.
Melihat tingkah Rassy, ketiga sahabatnya merasa ada yang aneh. Mereka pun memutuskan untuk membuntuti Rassy.

Dengan sepeda kesayangannya, Rassy menyusuri sepanjang jalan yang lumayan lengang. Hari yang dinantinya tiba juga. Setiap minggunya, hari Jumat adalah hari yang selalu gadis itu nentikan.

Di pertigaan, Rassy berbelok ke jalan pahlawan. Setelah mengayuh seratus meter, dia berbelok di sebuah rumah makan. Gadis itu masuk.

Hampir sepuluh menit dia menunggu pesanannya, dan akhirnya pesanannya selesai. Setelah membayar, Rassy menuju sepedanya yang terparkir. Meletakkan 10 kotak nasi di keranjang sepeda.

***

Kayuhan Rassy berhenti di sebuah gubuk kecil. Di atasnya terdapat plang dengan tulisan "Rumah Harapan". Rumah harapan bagi 10 anak yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak dapat melanjutkan pendidikan.

Di sana ada seorang guru yang mrngajar dengan sukarela. Merawat serta mendidik 10 anak itu dengan sabar dan penuh kasih sayang. Karena itulah yang mereka butuhkan saat ini.

Pukul 16.00, Rassy pemit. Sangat bahagia rasanya ketika dapat berbagi kebahagiaan, walau itu hanya kecil. Bukankah akan meringankan mereka?

"Kalian ngapain di sini?" tanya Rassy pada tiga sahabatnya yang berada di halaman Rumah Harapan.
"Kami ngikutin kamu, Ras," jawab Laila.
"Untuk apa?"
"Maafin aku, Ras. Udah menuduh kamu yang enggak-enggak. Nggak seharusnya aku mengklaim begitu aja, tanpa memberikan bukti," sesal Diana.
Rassy tersenyum tulus.
"Lagian kamu nggak pernah bilang ke kita. Kami kan, merasa nggak sah jadi sahabag kamu," kata Gischa sedikit sebal.

Rassy kembali tersenyum. "Aku cuma mau, biarkan tangan kananku memberi, tanpa tangan kiriku mengetahui. Apalagi jika mulutku membicarakannya pada orang lain. 

Jadinya bukan memberi dengan keikhlasan. Tapi jatuhnya jadi pamer," jelas Rassy.
"Kenapa sih kamu lakuin semua? Sampai rela nggak jajan?"
"Selagi bisa, selagi mampu, kenapa harus ditunda?" Rassy mengela napas pelan. "Aku nggak bisa bahagia, kalau masih ada saudara-saudara kita yang menderita. Ya ... mungkin aku cuma bisa menolong sepuluh orang saja, setidaknya dapat mengurangi penderitaan. Aku berharap sih, apa yang aku lakukan, dapat menjadi contoh untuk orang lain. Satu uluran tangan kita, dapat meringankan beban mereka."

Bahagialah dengan membuat orang yang kurang mampu dapat tersenyum. Kurangi penderitaan mereka dengan uluran tangan kita. Biarlah kebaikan apa yang kita lakukan, cukup diketahui Tuhan. Jangan biarkan mulut membukanya. Karena kebaikan yang kita lakukan akan menjadi tidak berkah. Malah mencerminkan sebuah rasa pamer.
***

Biodata Penulis
Ema Afriyani lahir di Kendal, bulan Mei 2001. Seorang remaja Jawa yang berdomisili di tanah Melayu—Bintan, Kepulauan Riau. Sedang menempuh pendidikan tingkat atas di SMK Negeri 1 Bintan, dengan bidang studi TEI (Teknik Elektronika Industri). Hobi menulis sejak kelas 3 SMP. Beberapa puisi dan cerpennya pernah termuat dalam berbagai antologi. Selain hobi menulis, dia juga sangat suka berolahraga sepak bola. Memiliki cita-cita, dapat menjadi pemain sepak bola Timnas Putri di Indonesia.

Kontak:
Email: emaafriyani11@gmail.com
Facebook: Ema Afriyani
IG: @Emafryani
Whatsapp: 0857-6305-7368.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.