Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Wayang Punya Caranya Sendiri untuk Lestari - Ilham Dar y Athallah

Wayang Punya Caranya Sendiri untuk Lestari - Ilham Dar y Athallah

oleh Ilham Dar y Athallah



Tangannya seakan menari ketika melemparkan Petruk, Gareng, dan Bagong di balik kelir. Membuat para lakon terbang tinggi menghayati perannya dalam Pandhawa Darmasraya. Dengan suara menggelegar Petruk yang baru saja lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala kemudian menantang bertarung Prabu Baka, raksasa penguasa negeri Era Cakra yang gemar membunuh dan memangsa rakyatnya.

“Opo kowe isih pingin iso mangan gudege Yu Djum? Minggato!”
‘Apa kamu masih ingin bisa makan Gudeg Yu Djum? Pergilah!’ tantangnya yang kemudian diakhiri dengan duel seru antarlakon. Lengkap dengan gelak tawa hadirin yang mengiringi aksi dalam pewayangan tersebut yang digelar dalam rangka Dies Natalis UNY ke-53, bertempat di Halaman Rektorat UNY pada Sabtu (13/05/2017) malam.

Sekilas tak ada yang berbeda dari Dimas Hazel Abi Rama Arrafi, sang Dalang yang sedang beraksi dalam pewayangan tersebut dibandingkan dengan dalang lain pada umumnya. Abi menyampaikan pesan penuh makna bahwa kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan dan iri dengki. Dalang juga berhasil menampilkannya dengan ciamik penuh canda sehingga mengaburkan persepsi penonton tentang dalang yang bersuara dalam dan serak menggelegar tersebut sebenarnya sosok bocah yang baru berusia 13 tahun. Dalang seakan berusaha meyakinkan dunia bahwa budaya wayang kita takkan punah layaknya pesimisme banyak pihak dan membuat pemangku kebijakan yang sejak awal memaksakan bahasa Jawa sebagai muatan lokal dengan alasan cemas bahwa generasi muda tidak akan mengenal lagi wayang selayaknya merefleksikan kembali esensi sejati nguri-uri kebudayaan.

Yang Dibutuhkan Bukan Mewajibkan Mulok Bahasa Jawa

Tak bisa dipaksa memang dan selayaknya berasal dari panggilan hati. Layaknya ketika Prof. Sutrisna Wibawa, Rektor UNY yang berstatus sebagai guru besar filsafat Jawa, pertama kali menggemari nilai tradisi dan budaya Jawa termasuk wayang. Panggilan itu memang datang dari sosok guru bahasa Jawanya semasa SMA, Sukardi, bukan datang hanya dari pelajaran bahasa Jawa yang ia peroleh di kelas di tengah tugas bahasa Jawa yang menurutnya cukup sulit dan nilai yang diperolehnya juga tak begitu menonjol. Namun, inspirasi tersebut datang lebih karena sosok Sukardi sebagai individu dalam kehidupan sebagai figur kebapakan dan penuh kasih.

“Karena dari filosofi Jawa yang beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari yang sangat menginspirasi itu, darinya saya mendapatkan bekal untuk menggali budaya Jawa,” ungkap Sutrisna kepada penulis, yang sebagian hasil wawancaranya juga dimuat pada Koran Merapi, Jum’at (28/04/2017).

Hal yang sama juga terjadi pada Abi, sang Dalang Cilik. Ditemui penulis pascapentas dan dikisahkan kembali dalam Majalah Pewara Dinamika edisi Mei 2015. Ia berkisah bahwa dirinya tidak lahir dari keluarga pedalang ataupun budayawan, tidak pula pernah dipaksa oleh orang tuanya, ataupun menyukai pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Akan tetapi, dari ekstra kurikuler karawitan ia kejar sampai harus berpindah sekolah karena sekolah sebelumnya hanya menyediakan pelajaran bahasa Jawa yang diampu oleh guru berusia lanjut dan berlangsung cukup membosankan. Sembari aktif dalam komunitas dalang di sekitar Tulungagung hatinya mulai tergerak.

Dua kisah ini kemudian bisa direfleksikan dalam pertanyaan tentang pembelajaran wayang yang menjadi bagian dari kewajiban mulok bahasa Jawa di sekolah yang pada dasarnya timbul dari persepsi banyak pihak karena semakin lunturnya nilainilai kebudayaan Jawa pada generasi muda. Selain itu, juga memunculkan pertanyaan yang substantif dan fundamental pula. Haruskah semua siswa dipaksa untuk belajar muatan lokal jika hatinya memang tak terpanggil? Ia berada di tengah mereka yang tak menggemari pelajaran tersebut di sekolah bahkan yang tidak bersekolah justru lebih paham dan aktif melestarikan wayang dan budaya Jawa dibanding mereka yang dipaksa belajar dalam kerangka kurikulum pendidikan. Dalang masyhur yang akrab di tengah telinga masyarakat layaknya Ki Nartosabdo, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Anom Suroto justru tak menuntaskan kewajibannya bersekolah formal. Dengan demikian, anggapan kekhawatiran yang kemudian membuat hampir setiap pemerintah daerah beramai-ramai mengaplikasikan kewajiban mata pelajaran muatan lokal untuk mentransfer ilmu pengetahuan menjadi dipertanyakan ketika realita di lapangan justru menyatakan sebaliknya.

Ada beberapa argumen yang perlu ditelaah dalam memahami mengapa mata pelajaran bahasa Jawa pada dasarnya tidak perlu dipaksakan. Aspek psikologi dalam kebebasan memilih ( free-choice learning) menjadi salah satu hal yang paling fundamental dan utama karena anak yang dipaksa tidak akan mencapai hasil belajar yang maksimal. Lebih jauh lagi tekanan psikologis yang timbul dari pergolakan hati atas keterpaksaan belajar menurut French dapat mengakibatkan stres, depresi, keputusasaan, dan mengganggu equibrilium fisiologi normal hingga mengganggu perkembangan kognitif dan mental anak.

French dan Raven telah mengenalkan lima sumber kekuasaan yang memengaruhi perilaku individu: koersif, insentif, legitmasi, ekspertis, dan referensi. Kurikulum saat ini diterapkan oleh pemerintah dengan sumber kekuasaan legitimasi serta koersif. Kemampuan tersebut mampu memengaruhi dan memaksa siswa karena posisi negara lewat otoritas sekolah mampu memberikan hukuman bagi individu yang tidak mau mematuhi kewajiban untuk belajar, baik melalui hukuman di sekolah maupun nilai buruk dalam rapor. Dari kondisi pemaksaan belajar tersebut Weiten mengidentifikasi dua respons yang dapat muncul dari peserta didik: menghadapi (fight), dan menghindar (flight). Dalam kedua proses tersebut Hurlock menjelaskan bahwa minat pribadi dan ketertarikan akan sulit dimunculkan. Apabila ketertarikan itu muncul, hal tersebut dapat memberikan dampak secara psikologis, baik positif maupun negatif. Hal tersebut bergantung pada bagaimana individu terkait menyikapi tekanan psikologis itu. Hasil studi membuktikan bahwa anak yang dipaksa mengikuti suatu pelajaran lebih cenderung menghindar dibanding harus menghadapi.

Hal tersebut juga diperkuat hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Falk, psikolog dari Oregon State University. Dia berpendapat bahwa mereka yang menekuni suatu bidang semasa beranjak dewasa lebih cenderung mendapatkan inspirasinya dari kegiatan ataupun bacaan di luar kelas (73,2%) dan pengalaman hidup (69%) dibanding kewajiban di dalam kelas (62,3%). Rendahnya persentase menurut studi tersebut menunjukkan bahwa dalam tekanan dan keterpaksaan belajar, jumlah anak yang mengalami kegagalan dalam menghadapi tantangan (failure to fight) dan memilih untuk menghindar (flight) lebih signifikan dibanding mereka yang belajar sesuatu secara alami atas kemauan sendiri.
Argumentasi psikologi kebebasan memilih tersebut juga terkait dengan transformasi jikalau bahasa Jawa ataupun pendalaman wayang secara spesifik lebih disorongkan dalam bentuk ekstrakurikuler, mata pelajaran pilihan, ataupun atas kemauan sendiri belajar di luar lingkungan sekolah alih-alih dipaksakan dalam kurikulum. Tanpa adanya kewajiban itu, subjek tersebut akan tetap diminati oleh sebagian siswa sehingga lebih mampu menjadikan pembelajaran secara dinamis dan student-centered secara lebih komprehensif.

Hal itu terjadi karena adanya keterikatan batin (engagement). Keterikatan batin tersebut tidak hanya mendorong anak untuk rajin mengikuti pembelajaran di ruang kelas dan meningkatkan nilai, tetapi juga mendorong untuk gemar mendiskusikannya dan belajar secara mandiri lewat media pembelajaran yang tersedia tanpa diperintahkan sembari berpikir kritis. Studi dari Posner dan Candell menunjukkan bahwa para siswa yang diberikan kesempatan untuk memilih mata pelajaran yang diambilnya memiliki pencapaian akademis yang lebih superior dibanding temannya dari sekolah lain yang tidak diberi kebebasan untuk memilih. Hal tersebut termasuk mencegah kecenderungan siswa untuk melupakan subjek yang telah dipelajarinya karena telah melewati ulangan atau ujian akhir (fenomena summerlearningloss).

Selanjutnya, penempatan ulang bahasa Jawa dari muatan lokal yang diwajibkan dalam kurikulum juga dapat ditilik dari segi pengajar. Guru secara pedagogis akan dimudahkan karena lebih mudah mengintegrasikan para siswa dalam pembelajaran. Hal itu dikarenakan mereka benar-benar berminat. Dengan demikian, waktu yang biasa dihabiskan untuk memaksa inklusivitas pada mereka yang tidak berminat bisa dimanfaatkan. Jika sebelumnya para guru harus menarik perhatian dan meng
ajar seluruh siswa tanpa terkecuali, siswa yang tidak berminat akan cenderung gaduh, tidak memperhatikan, dan sulit untuk diajar. Dengan hanya mengajar siswa yang berminat tugas guru menjadi lebih mudah dan dapat lebih fokus kepada materi serta konten pembelajaran. Siswa kemudian dapat diuntungkan dari pembelajaran yang terfokus karena antara siswa dan guru merasa sama-sama saling membutuhkan pengetahuan tersebut. Argumentasi ini diperkuat oleh studi Heimlich dan Stroksdieck yang menyebutkan bahwa keunggulan dari kebebasan memilih pelajaran juga mampu mendorong pembelajaran bersifat kontinu sebagai life-long education alih-alih sekadar terpaksa belajar dan mengejar nilai ujian. Negara-negara dengan peringkat sistem pendidikan tertinggi di dunia, layaknya Scandinavia, Eropa, ataupun Australia, telah lama memberikan kemerdekaan pada para siswanya untuk memilih pelajaran apa pun yang diinginkannya. Indonesia selayaknya dapat mencontoh atau merefleksikan sistem pendidikan berbasis free-choice learning tersebut.

Selanjutnya, jika menilik kapabilitas sekolah dalam menyediakan pengajaran bahasa Jawa, kurikulum muatan lokal tersebut juga berimplikasi pada rendahnya kualitas pembelajaran karena masih kekurangan guru bahasa Jawa di berbagai daerah dan keterbatasan literatur rujukan. Kekurangan tersebut tecermin dari rilis statistik guru di Jawa Timur. Ironisnya provinsi yang mewajibkan bahasa Jawa diajarkan selama dua jam pelajaran per minggu idealnya memiliki 6.000 guru (dengan mengalkulasi satu orang guru memiliki kewajiban mengajar selama 24 jam) hanya memiliki 2.817 guru.

Hal ini diperparah dengan ketiadaan buku bacaan ataupun LKS yang dapat dijadikan rujukan bagi para siswa. Keputusan itu dapat dicermati sebagai keputusan yang tergesa-gesa tanpa perhitungan matang. Sebaliknya, di luar sekolah ada banyak praktisi budayawan yang membuka pengajaran secara informal yang bisa dirangkul dalam penyeleng garaan pembelajaran dan ekstrakurikuler di sekolah. Namun, hal itu acap dipandang sebelah mata oleh pemerintah, selain kurang pendanaan. Di Tulungagung tempat Abi, sang Dalang Cilik tinggal misalnya, ia telah melalang buana dari berbagai komunitas pendalangan di luar sekolahnya mulai dari Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Tulungagung hingga sanggarsanggar komunitas.

Dari argumentasi menilik kembali kewajiban bahasa Jawa di sekolah tersebut, pertanyaan refleksi kemudian dapat dimunculkan. Apa esensi negara memaksa murid yang tidak berminat belajar bahasa Jawa dengan sanksi yang dapat membuat perkembangan kognitif ataupun mentalnya terhambat, dengan guru ataupun fasilitas yang relatif kurang kompete jika di luar ada komunitas epistemik yang siap membantu pemerintah untuk menggalakkan semangat nguri-uri wayang sebagai kebudayaan luhur Jawa.

Kembali pada Filsafah Hamot, Hamong, Hamemangkat

Menilik kembali apa sebenarnya esensi yang ingin dibawakan oleh pemerintah ketika mengharapkan para putra-putri bangsa memahami wayang sampai membuat pelajaran bahasa Jawa dipaksakan, selayaknya kembali berangkat dari kekuatan hamot, hamong, dan hamemangkat yang ditekankan dalam nilai pewayangan. Mempelajari wayang adalah mempelajari kemampuan untuk terbuka menerima pengaruh luar (hamot), menyaring unsur baru sesuai dengan nilai wayang yang ada (hamong), dan mengangkat sesuatu menjadi nilai baru (hamemangkat). Lebih jauh lagi, semangat akulturasi dan keterbukaan tersebut juga dapat diinterpretasikan sebagai semangat silaturahmi. Negara harus menyadari bahwa ia tidak bisa bergerak sendiri sebagai entitas adikuasa, tapi dalam perjalanan mencerdaskan kehidupan bangsa selayaknya juga mampu menerima dan merangkul para budayawan untuk turut serta dalam misi tersebut. Sejauh ini praktisi budaya kerap dimarginalkan, dipandang sebelah mata, dan kurang dukungan dana dari pemerintah.

Pemangku kebijakan dalam bidang pendidikan juga dapat berkaca dari tembang “Ngidamsari”. Dalam tembang tersebut dikisahkan nahkoda tidak bisa berlayar jika tidak memiliki prau (perahu lengkap dengan krunya), sasaddarat (bulan-bintang) denpepetri (sebagai acuan). Perahu dan kru tersebut diinterpretasikan sebagai negara yang tidak hanya seorang diri, tetapi lengkap dengan komunitas masyarakat di dalamnya sebagai sebuah kesatuan bangsa. Adapun sasaddarat dapat dimaknai sebagai target terukur atas pencapaian pemerintah di bidang pengembangan karakter yang tetap harus dikembangkan melalui kritik dan saran dari budayawan.

Dalam tataran praktis esai ini percaya bahwa menjadi penting untuk memahami pemerintah selayaknya tidak mengintervensi lewat kewajiban menekuni bahasa Jawa dalam kurikulum. Seyogyanya pemerintah memberikan ruang lebih bagi mereka yang terpanggil hatinya melalui penyediaan studi wayang secara lebih komprehensif dalam kegiatan ekstrakurikuler ataupun di luar sekolah. Hal itu dimaksudkan agar pembelajaran tersebut dapat berjalan beriringan dan saling berkolaborasi membentuk anak bangsa. Jika diagendakan dalam intrakurikuler, bahasa Jawa dapat dipertimbangkan untuk dijadikan mata pelajaran pilihan dan dibuat lebih beragam, mendalam, dengan opsi mengambil jam pelajaran yang lebih panjang termasuk menyediakan mata pelajaran pilihan khusus pewayangan ataupun mata pelajaran lain seperti gamelan dan seni tari. 

Adapun untuk memenuhi kebutuhan pengajar, para budayawan dapat diundang ke sekolah untuk berbagi pengetahuannya sembari menyokong kekurangan pengajar yang dimiliki sekolah. Sebaliknya, pengiriman para siswa ke sanggar budaya tempat para budayawan berkarya juga dapat dilakukan, baik dengan dana dari pemerintah, siswa secara mandiri maupun kemampuan finansial komite sekolah secara gotong royong dan sukarela.

Kerja sama antarsekolah layaknya yang dilakukan dalam fenomena saling pinjam komputer ketika Ujian Nasional CBT, juga dapat diterapkan dalam pengajaran wayang. Ketika menggelar kelas dalang misalnya, suatu sekolah dapat membuat kelas tersebut terbuka. Jadi, kelas tersebut dapat diikuti oleh siswa dari sekolah lain dengan mengeluarkan nilai yang diakui antarsekolah dan dapat dicantumkan di rapor. Selain meringankan beban finansial dan memaksimalkan inklusivitas keilmuan bagi mereka yang berminat, kooperasi antarsekolah tersebut akan mampu menjadikan antar siswa saling mengenal sehingga mengurangi tawuran. Peran aktif dan terobosan Disdik Kabupaten/ Kota untuk SD dan SMP ataupun Disdik Provinsi untuk SMA sederajat menjadi penting untuk mewujudkan integrasi tersebut.

Selain itu, penting pula bagi sekolah untuk memberikan apresiasi bagi mereka yang menekuni minat belajar wayang di luar kerangka pembelajaran sekolah layaknya di sanggar budaya. Apresiasi tersebut dapat dilakukan, baik melalui pengakuan kredit nilai luar sekolah, pemberian insentif beasiswa bagi yang berprestasi, mengurangi atau memampatkan pelajaran wajib lainnya, dan memastikan bahwa pelajaran itu berlangsung menarik dan interaktif. Hal ini sudah dilakukan SMA 3 Semarang dengan mewajibkan pembelajaran hanya berlangsung lima hari kerja sejak tahun 2011 dengan sistem SKS discontinue dan apresiasi kredit bagi mereka yang bersedia mendalami keilmuan yang diinginkannya pada hari Sabtu, baik mendalami ekstrakurikuler sekolah, belajar seni bela diri ataupun beragam seni kebudayaan di luar sekolah, atau bahkan menjadi volunteer, dan mencari pengalaman bekerja. Semua hal tersebut kemudian dicantumkan dalam rapor peserta didik atau dengan pemberian surat keterangan. Dengan demikian, hal itu dapat bermanfaat, baik sebagai acuan para siswa untuk belajar lebih giat maupun sebagai pertimbangan administratif atas pengakuan keahlian yang dimiliki untuk mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi.

Program Belajar Bersama Maestro di tingkat nasional pada tahun 2016 telah menghadirkan dalang I Made Sidia. Hal itu dapat menjadi salah satu refleksi bagaimana negara bisa ikut serta berperan menghadirkan budayawan di tengah-tengah masyarakat untuk mempelajari wayang. Terbukti pendaftaran Belajar Bersama Maestro berlangsung cukup sukses dengan tingginya jumlah peserta dan antusiasme yang hadir di rumah ataupun tempat sang Maestro berkaya untuk mengasah pengetahuannya. Di tingkat daerah Dinas Kebudayaan Surabaya telah secara rutin menghadirkan festival dan pembelajaran ludruk secara bergiliran di sekolah-sekolah. Hal tersebut dapat direfleksikan bahwa kerja sama antara budayawan dan negara dalam mendidik masyarakat tanpa melalui paksaan telah terbukti berhasil dan selayaknya dikembangkan dengan melibatkan masyarakat secara lebih luas.

Tentu solusi yang diusulkan esai ini tidak akan lepas dari kritik ataupun pengembangannya. Pihak yang mendukung kewajiban mata pelajaran dalam kurikulum akan menekankan pentingnya bahasa Jawa dikenalkan sebagai mata pelajaran di kelas, di tengah masyarakat yang terekspos budaya modern secara masif dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang hidup di perkotaan akan relatif sulit mencari rujukan untuk belajar bahasa Jawa. Namun, yang perlu digarisbawahi dalam memahami manusia sebagai makhluk sosial yakni manusia secara genetik akan selalu memiliki rasa penasaran yang secara genetik atas hal apa pun yang belum diketahuinya. Pandangan pertama terhadap suatu keilmuan menjadi penting untuk melakukan transformasi pemikiran pribadi ataupun lingkungan guna mengaplikasikan pemahaman dan minat atas suatu ilmu yang secara psikologis tidak bisa dipaksakan.

Dengan demikian, rasa penasaran, pertanyaan, dan eksplorasi dari entitas atas suatu fenomena dapat memunculkan ketertarikan pribadi serta motivasi mendalami lebih lanjut jika kita memberikan kesan yang baik kepada kebudayaan Jawa alihalih paksaan untuk mempelajarinya. Kesan-kesan indah tersebut dapat terpatri lewat ajakan persuasif dan kebebasan memilih jalannya sendiri. Kemampuan studi tersebut dipelajari di luar kelas dengan berguru kepada siapa saja yang dirasa kompeten dan menarik, serta mampu memberikan insentif kredit ataupun penghargaan atas free-will yang dipilihnya. Jika menekuni pelajaran tersebut, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan lebih mudah dicapai. Layaknya yang telah digambarkan wayang, ia menjelma sebagai wewayanganing ngaurip ‘gambaran kehidupan’ dan akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk senantiasa lestari. Jalan kebebasan yang sama, layaknya Pandhawa yang dibiarkan menentukan nasibnya sendiri tanpa terikat oleh Kerajaan Hastinapura, tetapi akhirnya tetap meneruskan nilai luhur kerajaan tersebut dan senantiasa hamemayu hayuning bawana ‘menyebarkan kebaikan dan memperindah dunia’ alihalih terjerumus kejahatan. Hanya dengan jalan kebebasan nan damai pelestarian wayang bisa dicapai dengan menjadikan semua orang di dalam perjuangan nguri-uri tersebut merasa ikhlas dan terpanggil hatinya.


___

Sumber: Menyelamatkan Bahasa Indonesia (Antologi Esai Karya Pemenang dan Karya Pilihan Lomba Penulisan Esai bagi Remaja Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017), Penyunting: Dwi Atmawati, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.