Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Inspirasi Jakarta - Maman S. Mahayana

Inspirasi Jakarta - Maman S. Mahayana

Oleh Maman S. Mahayana

KAWACA.COM | Siapa penyair yang pertama kali menulis tentang Jakarta? Tidak ada yang tahu. Karena memang belum ada penelitian tentang itu. Namun –menurut Ajip Rosidi dalam Djakarta dalam Puisi Indonesia (1972)- puisi Teluk Jakarta yang ditulis oleh Amir Hamzah adalah puisi pertamanya yang dia tulis sejak merantau ke tanah Jawa. Walau tidak banyak hal mengenai Jakarta yang dia tulis penyair dalam sajak tersebut. Namun segala kerinduannya terhadap kampung halaman dan segala yang berada di sana itu timbul justru saat dia melihat Jakarta.

Meski begitu, sangat mungkin kita akan menemukan sejumlah syair atau pantun yang mengangkat perkara Jakarta—Betawi, Batavia, Jacatra, jika kita menelusuri koran-koran awal yang terbit sebelum tahun 1900-an. Dalam koran-koran itu, syair dan pantun dimuat nyaris dalam setiap edisi. Rupanya, koran-koran itu sengaja memuat syair, pantun, hikayat, dan cerita-cerita lainnya untuk menambah jumlah pembacanya. Penelusuran lebih jauh tentang pemuatan syair dan pantun di koran-koran itu, sangat mungkin kita menemukan, bagaimana posisi Jakarta (: Betawi) saat itu yang berperan sebagai kota pelabuhan tempat pertemuan masyarakat berbagai bangsa, berbagai etnik, seperti yang juga terjadi sekarang.

Apa menariknya Jakarta bagi sastrawan? Ajip Rosidi menulis dalam pengantarnya: “Apabila seorang penyair menyebut atau menyanyikan tentang suatu kota atau tempat dalam sajaknya, niscaya karena ada atau pernah terjadi hubungan, paling tidak pertemuan antara si penyair dengan kota atau tempat itu. Suatu kota, suatu tempat, yang suatu kali menyentuh hati si penyair atau seniman lainnya, membangkitkan inspirasinya untuk menulis puisi atau membuat lagu, akan tercatat dalam khazanah sastra dan seni. Banyak kota-kota kecil atau tempat-tempat terpencil yang hampir tak dikenal karena tak tercantum dalam peta manapun juga, menjadi termasyhur karena ada penyair atau seniman yang menulis atau mencipta karya seni tentangnya.”

Kedudukan kota Jakarta dalam sastra Indonesia sangatlah istimewa. Jakarta tidak hanya masuk atau disebut dalam sebuah atau dua sajak yang ditulis oleh seorang penyair. Hampir dalam setiap generasi ada penyair Indonesia yang menunjukkan dengan jelas bahwa sajak itu lahir lantaran Jakarta yang memberi inspirasinya. Jakarta bagi penyair seperti memunculkan jalinan ikatan batin yang mendalam. Hal itu bukan hanya disebabkan oleh kenyataan bahwa Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia, melainkan lebih karena pentingnya peranan Jakarta dalam pembentukan kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, Jakarta memang laksana merepresentasikan Indonesia. Dengan kata lain, Jakarta ibarat miniatur Indonesia.

Pada tahun 1953 –kata Ajip Rosidi- Asrul Sani pernah mengemukakan bahaya berpusatnya seniman-seniman di Jakarta dan ia menganjurkan agar para pengarang kembali ke desa. Tahun 1958 pengarang Idrus pun menganjurkan para pengarang muda agar jangan berkumpul di Jakarta. Sementara Ramadhan K.H. juga dalam romannya Royan Revolusi (1971) menyuruh tokoh utamanya pergi meninggalkan Jakarta dan hidup di daerah. Itu artinya, Jakarta sebagai ibu kota kita, sudah banyak dipuji atau dicaci, didamba atau dikutuk oleh para sastrawan. Jakarta laksana sebuah paradoks.

Pada awal tahun 1970-an, misalnya, muncul istilah mudik sebagai pulang ke kampung halaman. Pada awalnya, istilah mudik ini digunakan sebagai sindiran—yang agak mencemooh—pada penduduk Jakarta yang merasa menjadi orang penting ketika ia memamerkan dirinya sebagai “orang” Jakarta. Penduduk asli Jakarta  (: Betawi) menyebut mereka sebagai orang udik. Meskipun pada awalnya cemoohan itu lebih ditujukan pada pendatang musiman yang dating ke Jakarta, kini fenomena mudik malah dianggap sebagai tradisi budaya orang kampung yang mencari nafkah di kota-kota besar. Kembali, sihir Jakarta memang mempesona.

***
Kini, di tahun 2019 ini, terbit buku tentang Jakarta dalam karya sastra, yakni: Kota Kata Kita. Sebuah buku yang berisi 44 karya pemenang dalam Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019 yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi. Buku ini boleh jadi memantik pembaca berkenaan dengan peranan Jakarta dengan segala daya tariknya. Setidak-tidaknya, ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini: (a) Menghadirkan karya terbaik para peserta Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019. Artinya ada proses seleksi ketat dalam pemilihan naskahnya; (b) Menghimpun karya sastra puisi dan cerpen yang ditulis para sastrawan Indonesia dari berbagai kota di Tanah Air. Maka, sudut pandang di dalamnya tentang Jakarta jadi lebih beragam; (c) Menampilkan seputar Jakarta terkini, baik dari sisi eksotisme maupun problematikanya; (d) Menghimpun karya para penulis lintas generasi yang terdiri dari pelajar sebagai ‘pemula’ dan sastrawan yang sudah ‘jadi’. Melalui buku ini, kita bisa membaca bagaimana kabar puitik Jakarta terkini melalui karya sastra.

Dengan terbitnya buku ini, rampunglah penyelenggaraan lomba cipta cerpen dan puisi 2019 yang bertema Jakarta ini. Terima kasih yang sebesarnya kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta yang memberi kepercayaan pada Yayasan Hari Puisi untuk menangani peyelenggaraan lomba ini. Terima kasih juga kepada dewan juri dan semua pihak yang terlibat. Semoga lomba seperti ini dapat dilaksanakan setiap tahun sebagai bentuk tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dalam ikut membangun kesusastraan Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Tentu saja dengan tema-tema yang lebih inspiratif, seperti wisata, kuliner atau kearifan lokal.

Jakarta, 17 Juli 2019

Maman S. Mahayana
Ketua Yayasan Hari Puisi

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.