Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Typus Dan Cacing Tanah - Nisa Ayumida

Typus Dan Cacing Tanah - Nisa Ayumida

Typus Dan Cacing Tanah
oleh Nisa Ayumida*

KAWACA.COM | Pada mulanya dahak yang keluar dari tenggorokannya terlihat biasa. Seperti dahak orang yang menderita penyakit batuk pada umumnya. Kendati itu membuat para sepupu dan tetangganya enggan bermain. Ia pun tetap menikmati kesendiriannya.

“Ia jorok!. Suka berdahak disembarang tempat” ucap Wati suatu ketika, disambut anggukan kompak seluruh bocah yang bermain tanah dan pelepah pisah siang yang terik itu.

Sementara dari seberang jalan Rani termangu di balik jendela. Hangat di matanya sama sekali tak dapat diajak kompromi. Ia lumer satu-satu menciumi dagunya. Ia sungguh ingin bermain seperti mereka.
###

Rani adalah putri satu-satunya yang ditunggu-tunggu sekian tahun oleh Sumiati dan Satnawi. Mereka mengurusi sawah hingga petang menjelang. Sumiati, sudah melakukan segala upaya yang ia mampu agar perutnya buncit. Mulai ke dukun kandungan, konsultasi ke bidan dan menitip beras pada tetangga yang akan berangkat ke tanah suci, lalu ditabur di salah satu titik di tanah Mekkah agar dimakan merpati kemudian sisanya dibawa pulang dan dimakan Sumiati. Hal itu atas saran para tetangganya. Namun tak berhasil jua hingga pak Nihwan yang sudah berhaji mau berumrah lagi.

Di usia pernikahan yang ketiga puluh tahun, seminggu setelah Sumiati kembali menyuruh Satnawi agar beristri lagi dan itu ditolak. Ia oleh bidan kandungan yang didatangkan kepala desa setiap minggu dinyatakan hamil empat bulan. Ia bergeming. Ia tak pernah muntah, tak pernah sakit pinggang dan gejala hamil lainnya seperti para tetangga. Akhirnya digelar syukuran kecil-kecilan di rumah itu.

Saat siang hari ia mengeluh sakit hendak lahir. Seorang dukun yang sudah tua didatangkan. Tetangga dan sanak saudara menunggu di emperan rumah, sambil komat-kamit membaca syahadat dan salawat. Semenjak detik-detik yang mengerikan itu akhirnya tangis bayi lahir dari rahim Sumiati. Bayi yang menjatuhkan purnama di wajahnya dan Satnawi.

Pertumbuhan dan bau pesingnya cepat hilang. Pada hari keempat puluh dari kelahirannya. Ia dibacai salawat bergantian dan di aqiqah. Agar luhur budinya, sopan tingkahnya, santun tuturnya atau bahkan baik tulis tangannya. Kendati ia dilahirkan dari keluarga sederhana yang bila dipikir-pikir rumahnya mirip poliklinik di bali desa, ia berbahagia. Sering membantu ibunya.
###

Lama bergulir waktu. Daun jati yang berguguran berserak sepanjang jalan selalu lembab dan basah. Hingga angin tak berdaya membawanya pergi. Saat mendung terus saja menggantung. Dan daun-daun bernasib busuk itu diam-diam menguarkan aroma tanah basah. Hujan berderai-derai. Pada malam yang tak diinginkan itu, saat usia Rani menginjak empat belas tahun. Tubuh rampingnya bergetar hebat di atas ranjang. Poni di dahinya ikut basah. Kulitnya yang bening tanpa kosmetik semakin pucat. Hujan yang berderai-derai dan gema petir di langit membuat Sumiati meringkuk memeluknya. Sedang Satnawi yang berkulit legam dan bau tembakau mengompresnya dengan air panas. 

Sejak musim kemarau turun tidak pada waktunya, ibu-ibu sering mengeluh wabah penyakit demam dan typus yang menyerang anak-anak hingga remaja. Dan Rani menurut keterangan pak mantri termasuk dalam daftar sakit typus. Ia terbaring berhari-hari di atas ranjang coklat dengan obat disampingnya yang ia minum tepat waktu. Dengan bubur tawar yang menjejali mulutnya untuk mengusir lapar.

Saat teman-teman Rani berseragam lagi memasuki sekolah, Rani tertinggal dan masih terbaring sakit. Tubuhnya pasti panas menjelang maghrib dan selalu dingin selepas Subuh. Itulah gejala typus kata pak mantri. Guru-guru dan teman-teman menjenguknya turut prihatin.

“Kalau kamu terus-terusan begini, ibu mana bisa bekerja, Ran. Bapakmu melarang” ucapnya suatu ketika. Semenjak Rani sakit ia tak lagi dibolehkan berjualan kue, dan  disuruh menunggui Rani saja oleh suaminya. Dan ia kesal karena penghasilannya berkurang. Padahal orang sekampung juga pada mengakui, semenjak kelahiran anak itu, sawah dan taninya selalu mujur, selalu terlewat dari rugi saat panen. Kendati nyaris sekampung padi orang-orang tak pernah merunduk disebabkan hama. Ia untung. Rani hanya memeluk bantal dan meneteskan air dari sudut matanya satu persatu. Begitulah Tuhan menguji kesabaran keluarga itu selama berhari-hari. 

Suatu ketika, pagi datang dengan wajah lusuh. Air terlihat menggenang di beberapa ruas jalanan desa. Hujan begitu deras mengguyur bumi menjelang Subuh turun  di pelepah pisang. Sumiati itu tiba-tiba keluar tergopoh-gopoh. Entah kemana aku tak tahu. Beberapa saat kemudian ia masuk dengan membawa wajan dan ribut di dapur terdengar begitu ragu-ragu. Nyala kompor yang dipetiknya terdengar ketakutan. Ia keluar masuk kamar Rani dan dapur. Sesekail melongokan kepalanya ke luar jendela, takut suaminya tiba-tiba pulang. Iya. Aku tahu. Air yang dibawanya itu, yang warnanya kecokelatan, bukanlah air susu kambing seperti apa yang ia bilang barusan pada anaknya. Bukan. Air itu, air yang diteguk ragu-ragu oleh Rani. Air yang dilarang oleh suaminya telah benar-benar dikasih pada anak semata wayang yang ia tunggu belasan tahun. Air itu, air yang dilarang itu. Bagaimana cara aku menyampaikan pada satnawi?

Ia percaya, dahulu, para leluhurnya percaya bahwasanya penyakit yang tak kunjung sembuh tentulah ada obatnya dari alam. Dan ia memberikan air yang direbus dengan cacing tanah itu, yang tadi pagi diambilnya ke belakang rumah. “Kalau Rani sembuh, aku bisa jualan kue lagi”. Ucapnya girang. Laki-laki yang telah belasan tahun menemaninya dalam sepi turut berkelebat. “Habiskan!” ungkapnya berulangkali sebab Rani meneguknya secara pelan dan ragu. Setelah tandas segeralah dicuci gelas itu. 

Berlangsung satu minggu. Rani masih tak menunjukkan gelagat akan sembuh. Ia terus saja berbaring, bahkan bertambah berdahak-dahak dan berbatuk sesak. Satnawi mulai menaruh curiga. Sedang Rani selalu mengeluarkan dahak berwarna coklat. Sumiati heran, dulu, sehabis diberikan air yang direbus dengan cacing oleh emaknya, setelah setengah bulan typusnya tak kunjung pergi, akhirnya ia berangsur pulih. Namun, Rani anak satu-satunya tidak menunjukkan gelagat itu.

“Besok kita bawa lagi ke mantri” dan asap rokok dikepulkan ke udara.
“Jangan pak, habiskan dulu obatnya.” Tegur si istri menyayangkan. 
“Kalau begitu kita ke spesialis di kecamatan” putusnya. 

Saban menjelang pagi, saat ibunya sedang merecoki piring dan bumbu di dapur, rani terlihat selalu hendak memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya. Tapi selalu gagal hingga air matanya merembes jatuh di ujung bantal. Begitulah selalu. Melihat itu, bapaknya gelisah. Tidak ke ladang ia seharian. Ditungguinya anak semata wayang itu di atas kasur. 
Besoknya, bukan hanya Satnawi yang terkejut. Sumiati terlihat berlipat kerut di keningnya. Rani yang mendengar keluh itu segera menyeka air matanya yang menyembul tiba-tiba. Sakit apakah aku. Batinnya. Dirumah, sepasang suami istri itu kemudian bercakap, keluar dari kamar anaknya. Satu plastik berisi obat jatuh dari genggaman Satnawi.

“Bagaimana bisa kamu mempercayai hal itu, mak” dia mengeluh, lesu. Sumiati hanya menunduk terdiam. Turut jatuh air matanya melihat anak dan suaminya. 
“Aku menyesal, pak” ungkapnya sesenggukan.

Tapi, penyesalan tiada guna bagi Satnawi. Seumur hidup, ia tak pernah mendengar ada penyakit begitu. Tapi apalah daya, orang yang membuat anak dan hatinya mengamuk itu adalah Sumiati, istri yang begitu dicintainya. Ia membayang, cacing tanah itu hidup dan berkembnag biak dalam tubuh Rani. Ia membayang tubuhnya akan semakin ringkih, berbagi makanan dengan hewan dalam tubuh sendiri adalah suatu hal yang mengerikan. 

Ia keluar membuang ludah. Isi perutnya terasa bergolak ingin muntah. Ia membayang, bukan tidak mungkin, esok, lusa dan seterusnya, bagaimana cacing-cacing itu hidup dan meliliti tulang rusuk Rani, meliliti lambung Rani, usus rani dan urat-urat Rani. Bagaimana pula ketakutan dalam diri Rani. Ia membayang segalanya. Seluruhnya berkerumun dalam kepala. Ia meludah. Meludah lagi. Meludah lagi. Jatuh air matanya tiba-tiba. 

Bagaimana bila orang kampung tahu? Betapa rasa jijik itu terus menggebu. Ia tak tahu apa yang hendak diperbuat pada anak gadis itu. Ia juga tak tahu apa yang akan diperbuat pada Sumiati, istrinya. Sebab telah lalai dan tak sabar dalam merawat titipan Tuhan. Ia tidak tahu apa yang akan diperbuat pada dirinya yang telah lalai menjadi kepala keluarga. Ia tidak tahu bagaimana memohon maaf kepada Tuhan atas kelalaian itu, atas ide istrinya karena ingin segera jualan kue. Ia tidak tahu, bahkan sampai adzan bersahutan dan senja menghilang, ia tetap tidak tahu dan memeluk lutut di atas kursi rotan. Mencari-cari jawaban yang terus mengepungnya. Telah puluhan puntung rokok berserakan di kolong meja. Namun ia tetap tidak tahu. Ia meludah. Satu kali, dua kali, merah matanya dan jatuh air mata itu berlinang. Mendadak, orang yang selalu gagah dipandanganku menjadi dungu dan layu. Di sana, aku tahu, aku dapat melihat dari tempatku merayap, Sumiati meringkuk. Basah bantal yang ditidurinya sebab air mata. Di sebelahnya, anak semata wayang yang ayu itu memunggungi ibunya dengan perasaan gugup juga bantalnya yang basah. [*]

Annuqayah, Lubangsa Putri, 23 Maret 2019



Nisa Ayumida*
*Nama Pena dari Roydatun Nisa’. Mahasiswa semester akhir di Prodi HES Syari’ah Instika Guluk-guluk. Juga nyantri dan ngaji sastra di Forum Literasi Santri (Frasa) PP. Annuqayah Lubangsa Putri.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.