Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Tiang Kokoh Peradaban - Samsudin Adlawi

Tiang Kokoh Peradaban - Samsudin Adlawi

Tiang Kokoh Peradaban
oleh Samsudin Adlawi
oleh Samsudin Adlawi

SEPAKAT.

Kita dukung.
Bergerak bersama-sama.

Tekad itu muncul spontan. Di grup WA terkemuka: Ruang Sastra dan Hari Puisi Indonesia. Kebetulan saya ditarik di dalamnya. Menjadi anggota aktif. Dua grup beranggota penyair dan penulis terkemuka Indonesia.

Kami sepakat mendukung surat terbuka. Kepada calon presiden. Ditulis oleh Tere Liye. Penulis buku. Yang datang ke Banyuwangi. Tahun lalu. Tere Liye penulis produktif. Buku karyanya sudah 34. Diterbitkan dua penerbit mainstream. Penerbit Gramedia Pustaka Utama dan Republika.

Intinya, Tere memberi masukan. Untuk program kerja. Pemerintahan kelak. Siapa pun presidennya. Masukan soal literasi. Tentu saja bukan masukan asal-asalan. Yang ditulis dalam surat terbuka. Tapi berdasar fakta. Dia tampilkan semua datanya. Apa adanya. Tapi akurat.
Seperti data ini. 98% penduduk Indonesia bisa membaca. Itu betul. Kita sangat hebat dalam capaian itu. Tapi jangan bangga dulu. Sejatinya, itu hanya angka ”bisa membaca”.

Kita tengok data World Bank’s Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018. Disebutkan di situ, 55% penduduk Indonesia mengalami ”buta huruf secara fungsional”. Jangan keburu kaget. Baca dulu kelanjutannya. Setelah itu silakan kaget berjamaah.
Begini penjelasannya. Dari enam level kemampuan membaca, penduduk Indonesia ternyata hanya mentok di level 1. Kita ”hanya bisa membaca”. Sekali lagi: ”hanya bisa membaca”. Tapi tidak mampu memahami bacaan. Tidak bisa membuat kesimpulan. Tidak mampu mencari ide pokok tulisan. Bahkan, tidak bisa membedakan. Apakah tulisan yang dibacanya mengandung kebenaran atau hoax. Gawat, bukan. Sekarang silakan Anda terbelalak berjamaah. Betapa sangat memprihatinkan. Kondisi kita saat ini.

Kita tengok data ke belakang lagi. Data World's Most Literate Nations tahun 2016. Yang disusun oleh Central Connecticut State University. Kali ini Anda harus siap-siap lagi. Untuk terkejut lagi. Ini dia datanya: Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Persis di atas Botswana. Yang ranking paling buncit. Data yang seharusnya membuat kita malu. Ketika berada di tengah-tengah pergaulan dunia. Betapa rendahnya kebiasaan membaca bangsa kita. Sangat bisa dimengerti. Ketika menyaksikan acara debat atau talk show di teve. Kita melihat narasumbernya lebih mengutamakan adu otot leher. Daripada adu isi otak. Saling mengeyel tapi miskin data. Asal jeplak saja. Tak peduli. Apa yang disampaikan dimengerti atau tidak. Anehnya, mereka tidak merasa malu. Justru pemirsa yang malu. Saya dan Anda. Dalam hati kita nggerutu: kelihatan sekali kalau malas membaca.

Sekali lagi. 98% penduduk Indonesia bisa membaca. Itu tidak terbantahkan. Tapi mari kita urai lebih dalam lagi. Dengan pertanyaan sederhana ini: apakah anak-anak SD, SMP, dan SMA kita suka membaca buku. Berapa buku yang mereka baca dalam setahun. Berapa persen dari mereka. Yang ”tahan” membaca tulisan panjang. Sepanjang 5.000 kata, misalnya. Hasilnya silakan dijawab sendiri.

Terutama oleh para guru. Dari hasil pengamatan saya. Hasilnya sangat mencemaskan! Mudah-mudahan begitu juga hasil pengamatan guru!

Kondisi itu memprihatinkan. Sekaligus ”ilmu”. Kita jadi tahu jawabannya. Kenapa terjadi kegaduhan di media sosial kita hari ini. Ketika hoax. Berita-berita bohong. Informasi-informasi dusta. Bisa beredar luas. Dalam sekejap. Ditelan mentah-mentah. Bukan hanya mereka yang ”buta huruf secara fungsional”.

Bahkan yang terdidik juga. Padahal mereka punya kemampuan membaca tinggi. Tapi tetap tetap bisa tertipu. Atau malah menjadi pelaku hoax. Itu fakta. Realita. Yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.

Wa ba’du. Saya sepakat ajakan Tere. Kita harus meningkatkan kemampuan membaca bangsa Indonesia. Caranya? Generasi muda harus mulai banyak membaca buku. Wajibkan anak SD, SMP, dan SMA membaca. Minimal sekian buku dalam setahun. Buku apa saja. Sekaligus meningkatkan kemampuan literasi mereka. Itu cara ampuh. Mencegah mereka hanya menghabiskan waktu dengan gadget-nya. Kita harus cegah ini. Anak-anak lebih sering membaca Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Dibanding membaca buku.
Anda boleh beda pendapat. Bahkan tidak setuju. Dengan tulisan ini. Bisa jadi, yang Anda amati berbanding 180 derajat dari pengamatan saya. Walakin, saya yakin tiada investasi paling berharga selain masa depan anak. Dan jembatan masa depan itu adalah literasi. Literasi itu tiang kokoh peradaban. Sebab, lewat literasi kita wariskan pengetahuan, nilai-nilai luhur, dan teknologi. (*)

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.