Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Bicara Banten Bicara Indonesia - Chudori Sukra

Bicara Banten Bicara Indonesia - Chudori Sukra

Bicara Banten Bicara Indonesia
oleh Chudori Sukra
(Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten)
Bicara Banten Bicara Indonesia - Chudori Sukra

KAWACA.COM | Meskipun secara umum ada karakter generik yang dikenal warga dunia tentang orang Indonesia yang katanya ramah, murah senyum, dan terbuka, tetapi setiap suku dan etnik memiliki karakter khasnya masing-masing. Di sini saya akan memaparkan secara gamlang tentang watak dan karakteristik orang Banten yang saya anggap mewakili tipikal kejiwaan dan kepribadian orang Indonesia dalam banyak hal. Karena itu, artikel ini saya beri judul, “Bicara Banten Bicara Indonesia.

Kebanyakan orang Indonesia mengonotasikan istilah Banten dengan jawara atau pendekar. Orang Banten banyak ditakuti karena identik dengan jago silat atau ilmu gaib (klenik). Tetapi saat ini, terutama setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, sosok jawara sudah tidak banyak terlihat. Meskipun sifat dan perangai jawara dan pendekar tetap masih melekat, seakan-akan diturunkan kepada generasi anak-cucu yang semakin akrab dengan teknologi gawai dan ponsel akhir-akhir ini.

Tidak jarang orang Indonesia memandang masyarakat Banten sebagai “pemberontak”, seturut dengan asal kata Banten sebagai ‘Wanten’ (Jawa: berani). Banyak sejarah pemberontakan kerapkali terjadi di wilayah kesultanan Banten. Wibawa dan harga diri adalah satu hal yang dianggap paling berharga. Jika ada yang bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan, sebagaimana ditunjukkan oleh pemberontakan Kiai Wasid di Cilegon (1888) terhadap kaum penjajah, mereka senantiasa pantang menyerah hingga titik darah penghabisan.

Di sisi lain, tak ada yang meragukan sisi religiusitas orang Banten. Figur Kiai Muhaimin yang tergambar dalam novel Perasaan Orang Banten adalah cermin dari karakteristik tokoh agama di suatu daerah yang terkenal dengan sebutan “provinsi seribu wali”. Di provinsi terbaru ini ratusan pesantren sudah berdiri selama berabad-abad, berikut puluhan ribu santri yang diposisikan oleh orang tua mereka agar menuntut ilmu agama di pesantren-pesantren.

Meskipun provinsi ini didominasi oleh penduduk berbahasa Sunda, tetapi mereka memiliki watak dan kepribadian berbeda dengan orang-orang Sunda Parahyangan pada umumnya. Orang Sunda Parahyangan – seperti Bogor, Bandung, Sukabumi atau Tasikmalaya – cenderung memiliki logat Sunda yang halus, sopan, dan ramah-tamah. Tetapi orang Sunda Banten, yang secara geografis dikelilingi laut, dari jelujur utara, barat hingga selatan, membuat iklim dan suasananya begitu panas. Barangkali itulah alasan yang cukup ilmiah, mengapa orang Banten memiliki watak yang cenderung agresif, temperamental, baik dalam berucap maupun dalam berperilaku sehari-hari.

Selain itu,orang Banten dikenal memiliki sifat seolah-olah yang berlebihan (kelebihan wishfulthinking). Karakter jawara yang dititiskan leluhur itu membuat orang Banten merasa lebih baik dan mulia ketimbang suku-suku dari daerah lain. Hal ini menimbulkan banyak insiden di beberapa tempat akhir-akhir ini, yang berawal dari sikap intoleran, rasialis dan diskriminatif. Semua kendali harus dipegang oleh pribumi, seakan tak peduli apakah orang pribumi itu punya kemampuan mengelola SDM ataukah tidak. Mereka ingin mendominasi segala hal – baik kaum lelaki maupun perempuannya – tanpa punya kemampuan untuk mengukur risiko dengan sebaik-baiknya.

Penyakit Mythomania

Konon orang-orang Banten – sebagaimana orang Indonesia juga – banyak yang mengidap penyakit “mythomania”, yakni suka mengumbar cerita atau retorika politis yang dibuat-buat untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini tak lepas dari upaya-upaya mencari keuntungan ekonomi, kedudukan politik, maupun kenaikan pangkat dan jabatan. Cerita khayalan yang dibuat-buat itu seringkali membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya sepele saja. Hal ini tak beda jauh dengan seniman – baik yunior maupun senior – yang menghindar dari kenyataan riil, lalu mereka-reka cerita yang dianggap relevan. Padahal, kenyataan di lapangan berbeda jauh dengan karangan hasil rekaannya.

Di sisi lain, penyakit mythomania ini kadang membuat penderitanya merasa paling berjasa dalam hidup. Segalanya dianggap berkat hasil perjuangan dan jerih-payahnya. Bahkan, nasib baik pun dianggap hasil dari doa-doanya. Mental merasa memiliki dan menguasai ini membuatnya merasa kesulitan untuk melangkah maju dalam menyongsong perubahan, tetapi merasa nyaman untuk berdiri di tempat, sambil mengembang-biakkan sifat iri dan dengki kepada orang yang lebih sukses dan lebih berprestasi dari dirinya.

 Gejala akut dari penyakit mythomania ini sangat jelas terungkap pada watak dan karakter orang-orang Jombang (kampung kelahiran Walikota Cilegon) yang tergambar dalam novel Perasaan Orang Banten.Di situ disampaikan secara blak-blakan oleh seorang tokoh yang dikenal sebagai “kamus berjalan” (Bi Marfuah), ketika membeberkan orang-orang yang akan melamar janda kaya-raya (Nyi Hindun). Konon, banyak warga kelahiran Banten yang menghampirinya, di antaranya mengenakan setelan batik dan kemeja mahal, lalu mengaku-ngaku sebagai pengusaha, padahal dia hanya tukang ojek yang mangkal di prapatan Pagebangan. Ada juga yang mengaku-ngaku ustad dengan memakai sarung dan kopiah haji, padahal belum pernah berhaji (POB, hal. 61).

Penyakit psikologis terkait kebiasaan membual dan menggombal tersebut, dapat dirasakan dampaknya setelah memasuki era milenial (medsos), terutama di musim-musim politik lalu. Selama beberapa bulan menjelang pemilu presiden, banyak orang Banten yang justru kejangkitan “mythomania liar”, yakni perilaku berbohong bukan hanya ingin menipu pihak lain, tetapi karena ingin mendapat pengakuan publik. Pelakunya tidak memiliki karya dan kreasi apapun sebenarnya, tetapi ia bersikeras membangun citra diri – melalui kekuatan partai dan kelompoknya – agar pihak lain menganggap dirinya “orang hebat” seakan-akan banyak karyanya.

Mengenai hal tersebut, kita sudah saksikan di layar televisi tentang sebagian dari mereka yang berurusan dengan kepolisian hingga saat ini. Di samping kasus hoaks dan ujaran kebencian, ada juga yang mengumbar ajakan pada semangat jihad sesuai dengan penafsirannya sendiri, yang ujung-ujungnya mengarah pada kasus-kasus radikalisme berkelas internasional.

Ciri Pelaku Mythomania

Hal yang bersifat umum pada penderita delusi kejiwaan ini adalah suka membesar-besarkan segala sesuatu yang sebenarnya biasa dan sepele saja. Ia senang menyerang dan menimpali lawan bicaranya, bahwa dirinya yang paling baik dan benar. Pelaku mythomania mampu berkomunikasi dengan menguasai bahasa dan retorika, bahkan pandai berorasi, tetapi hanya memiliki perspektif tunggal, baik bersumber dari referensi yang disukainya maupun dia sendiri yang membikin-bikin realitas untuk dirinya sendiri.

 Dalam novel Pikiran Orang Indonesia dikenal istilah “reifikasi”, suatu upaya membangun imajinasi publik melalui kisah-kisah fiktif yang disusupkan ke dalam iman dan kepercayaan secara kolektif. Melalui sejarah bikinan penguasa, suatu bangsa bisa percaya pada sesuatu yang tak pernah ada. Kisah fiktif itu dibangun bukan untuk mendamaikan dan menyatukan suatu bangsa yang bersengketa, tetapi justru untuk menciptakan sengketa dan permusuhan baru, menebar teror dan ketakutan, yang berujung pada sikap saling membenci dan memusuhi. Kisah fiktif yang dibuat-buat itu sama sekali bukan laiknya karya-karya sastra yang dibangun untuk mencerdaskan dan memberdayakan mental dan jiwa pembaca, melainkan hanya untuk membodohi dan memperdayakan korban-korbannya. Novel ini pernah saya perkenalkan di opini harian nasional Kompas, di antaranya "Membangun Akal Sehat" (Kompas, 24 April 2018), juga "Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani" (Kompas, 21 November 2019).

Seturut dengan itu, mental jawara pada watak orang Banten berkaitan erat dengan ambisi ingin mendominasi dan menguasai. Semangat untuk berkuasa ini sama sekali tidak didukung dengan akhlak dan tabiat yang jujur, bahkan gampang mengkhianati kepercayaan yang diberikan pihak lain. Tidak jarang di antara mereka yang menderita “hyphochondriac”, yakni orang yang mudah mengeluh dan menggerutu, sambil pura-pura sakit agar dirinya memperoleh simpati, atau menjadi pusat perhatian publik.

Selain itu, sifat orang Banten juga dikenal defensif. Meskipun ia menyadari bahwa ucapannya kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya, ia tidak mau mengakui secara fair bahwa dirinya “salah”. Lebih baik mencari padanan kata (eufemisme) yang menunjukkan seolah-olah dirinya tidak salah. Tidak jarang di antara mereka yang jago bersilat-lidah untuk membela diri, memanipulasi, bahkan menganggap dirinya sebagai legenda dan penggenggam dunia.

Setelah mencermati hal tersebut, akhirnya saya menyadari bahwa mental warisan militerisme yang dibangun Orde Baru selama 32 tahun, memang tidak mudah untuk dihapus dan dienyahkan seketika. Ditambah dengan mentalitas orang-orang Jawa Banten (Cilegon) yang masih ada garis keturunan dari tentara-tentara Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.

Tetapi pada prinsipnya, saya ingin menegaskan bahwa klaim atas watak dan karakteristik orang-orang Banten – seperti disebutkan di atas – bukan hanya milik orang-orang Banten saja. Karena bagaimana pun, saya mengkajinya secara sosiologis dan antropologis, ditambah literatur yang sangat membantu dari novel Perasaan Orang Banten. Dalam kesimpulan saya, sebagian besar watak dan karakteristik di atas, oleh karena Banten adalah ahli waris yang sah dari mental yang diwariskan militerisme Orde Baru. Dengan sendirinya, ketika kita bicara Banten, maka kita pun sedang membicarakan, bahkan menertawakan diri kita sendiri. ***

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.