Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Mengeja Pusai Amiri Kulala - Sugiono MPP

Mengeja Pusai Amiri Kulala - Sugiono MPP

MENGEJA PUSAI AMIRI KULALA
oleh Sugiono MPP



KAWACA.COM | Lima buah pusaI karya Amiri Kulala lolos kurasi Redaksi Kawaca com dan dipublish di media on line tersebut. Ini adalah terbitan perdana karya pusai di media itu. Semoga secara berkala akan muncul pusai-pusai dari para pemusai lain.

Bagi yang belum kenal, perlu diketahui bahwa pusai akronim dari puisi bonsai. Ia muncul di media gawai mulai pertengahan 2018. Sudah ada 3 buku terbit 2019 yakni "Documenta Poetica 1 Tembang Pusai", "Documenta Poetica 2 Tentang Pusai", dan "Indonesia dalam Pusai". Intinya, pusai adalah puisi yang hemat kata, sarat makna, dan neofuturistik.
Perihal hemat kata dan sarat makna itu sudah lazim di perpuisian. Sebab, hemat bukan berarti pendek, melainkan efektif efesien dalam menyampaikan pesan. Sedang sarat makna berarti maknawiah. Umumnya puisi memang demikian kecuali genre puisi nihilis yang menganut paham bahwa hidup ini adalah kosong.

Sebagai ilustrasi hemat kata bukan berarti pendek, bisa kita sebut puisi karya Homer, penyair Yunani pada pertengahan abad ke-18,  berjudul "Iliad" terdiri dari 15.000 kata, pernah dibacakan secara maraton selama 15 jam oleh 60 aktor di London pada 14/8/2015. Ya hemat kata pada zamannya, karena Homer berkisah tentang Perang Troya. 

Akan tetapi pada abad ke-21 ini di mana kehidupan bergerak supercepat sehingga bisa dibilang melompati kenyataan yang nyata, hiperrealitas (Jean Baudrillard), ruang dan waktu bisa dilipat, membuat perilaku manusia lebih praktis, pragmatis, realistis, pun pada pola komunikasi. Orang tak punya banyak waktu untuk bertele-tele. Maka kecenderungan hemat kata menjadi keniscayaan dalam dunia komunikasi literer. Pun dalam puisi.

Namun adalah kenyataan juga bahwa dengan merebaknya karya-karya tulis di laman gawai yang mengorona dan disebut sebagai "puisi" (walau tipis kadar estetika dan ambang makna), maka penegasan 'hemat kata sarat mekna' itu menjadi relevan. Hal itu perlu di-bolt-kan demi menjaga agar puisi sastrawi tidak terdistorsi.

Perihal neofuturisme (futurisme baru) sebagai visi pusai, berawal dari aliran seni masa depan (futur) yang dideklarasikan penyair Italia, Filipo Tommaso Marinetti cs, 1909, bahwa masa depan lebih baik dari masa lalu dan masa kini oleh kemajuan teknologi (revolusi industri), maka percepatan gerak menjadi ciri dari aliran ini. Dampak negatif dari aliran pemikiran ini di ranah sosial melahirkan gerakan fasisme. Di seni disain dan arsitektur futurusme melakukan revitalisasi dengan menamakan diri sebagai neo-futurism yang dinyatakan oleh disainer Vito Di Bari dalam "The Neo-Futuristic City Manifesto", 2007, yang intinya bahwa neo-futurism adalah penyilangan seni dan teknologi untuk kehidupan yang lebih baik.

Baik Marinetti maupun Vito berpandangan bahwa masa depan lebih baik. Sedangkan neofuturisme pusai melihat masa depan tidak lebih baik atau lebih buruk dari masa lalu dan kini, namun setiap masa muncul problem baru dan solusi barunya, maka yang penting adalah menyiapkan solusi atas problem tersebut. Jadi visi pusai senantiasa pada pengentasan masalah yang mungkin muncul di esok hari.

Dengan penjelasan seperti itu mari kita masuki karya Amiri Kulala dengan mengenyampingkan masalah estetika. Jadi fukus pada visi neofuturistiknya. Kenapa demikian? Karya-karya ini telah lolos kurasi estetik. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan layak puitika sudah rampung. Namun demikian, karena citarasa estetika itu personal, sekiranya ada yang merasa perlu didiskusikan, kami membuka ruang. Nah, kita mulai dari pusai ini:

PERJALANAN SUNYI

Diam adalah gerak
Pada dingin yang puncak
Kutemukan kehangatan

BANGKALAN, 200320

Perjalanan sunyi, gerak yang diam (zikir?) atau diam yang gerak (inerlife?) kan menemukan kehangatan pada (meski) dingin yang memuncak. Latar belakang penyair sebagai santri mengindikasi bahwa pengalaman spiritual dalam bertahanuz merupakan inspirasi lahirnya pusai ini. Meski diksinya tak teragukan cekau cekamnya, namun tidak membawakan visi neofuturistik seperti yang tersebut pada uraian sebelumnya, harus menyampaikan solusi atas kemungkinan problem masa depan. Problem masa depan secara futurologi.

Kita lanjut ke pusai berjudul "Arisan": Berhutang  nasib/ Keringat di dinding botol/ Menyulam jari-jari retak/ Memasak denyut keyakinan//. Arisan adalah kegiatan untuk mendapat unduhan rizki secara bergilir berdasar oportuniti. Adakah ini korelatif dengan 'berhutang nasib' (keberuntungan) sehingga tunggu-tunggu penuh harap (Keringat di dinding botol/Menyulam jari-jari retak/) -- bayangkan orang yang menangkupsilangkan jari-jemari kedua tangannya dan digerak-gerakkan, ekspresi kegelisahan menanti -- sehingga: Memasak denyut keyakinan.

Pesan neofuturistik apakah yang tersurat atau pun tersirat pada pusai ini? Ada siratan bahwa menunggu (berhutang pada) nasib adalah mematangkan (memasak) keyakinan? Justru pesan yang disampaikan itu (jika memang  benar demikian) berarti bertolak belakang dengan visi pusai.

Pada pusai "Romantika": Mata rantai/ Gelombang waktu/ Baca tulis/ Batu mengembun/ Menetes hampa// juga belum memberi solusi problematika masa depan. Demikian pun pada "Selisih" (Dua mata/Memandang kasih sayang/ Hati dan otak/ Menuju perjamuan/ Bulan di aras meja//). 

Jika toh ada pesan tipis berupa siratan justru pada "Wasiat" yang judul memang padanan dengan kata 'Pesan' dengan susunan diksi: Aku  membaca/ Engkau memecah/ Di atas garis/Berbaris/ Sinergi dua arah/ Nafas artefak/ Nadi zaman//. Siratan pesan untuk generasi masa depan adalah perlu sinergi dua arah untuk menyambung rantai artefak sejarah dan nadi (kehidupan) zaman.

Kesimpulan dari kelima karya Amiri Kulala ini bahwa sang penyair memiliki kelenturan bahasa yang menggigit, mencekau, tanda jam terbang penulisan puisi telah menapak. Namun penyair ini belum paham (apalagi benar-benar paham) tentang inti pusai, yakni neofuturistik. Saran saya pelajarilah apa itu futurologi. Salam sastra.

240320

_
Sugiono MP/Mpp adalah wartawan, penulis biografi, memori, dan histori yang lahir di Surabaya, 9 Desember 19530. Sempat meraih Hadiah Junarlistik Adinegoro untuk metropolitan (1984) dan Penulis Pariwisata Terbaik (1984). Bukunya yang sudah terbit: Belajar dan Berjuang (1985), Srikandi Nasional dari Tanah Rencong (1987), Sang Demokrat Hamengku Buwono IX (1989), Jihad Akbar di Medan Area (ghost writer, 1990), Menjelajah Serambi Mekah (1991), Ketika Pala Mulai Berbunga (ghost writer, 1992), Melati Bangsa, Rangkuman Wacana Kepergian Ibu Tien Soeharto (1996, Persembahan Wiranto),  Pancaran Rahmat dari Arun (1997), Biografi Seorang Guru di Aceh (2004, biografi Prof. DR. Syamsuddin Mahmud), Anak Laut (2005, biografi Tjuk Sukardiman), Selamat Jalan Pak Harto (2008), Pengabdi Kemanusiaan (2010), dan Aceh dalam Lintasan Sejarah 1940-200 (2014).  Dia pernah bekerja di beberapa penerbitan, antara lain: Sinar Harapan (s/d 1984), Majalah Sarinah (1984-1988), Majalah Bridge Indonesia (1990-1995), Harian Ekonomi Bisnis Indonesia (1996), dan Komunikasi (1998). Kini dia sebagai Pemimpin Redaksi majalah online NEOKULTUR. 

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.