Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Perspektif Pusai dalam Tiga Puisi Tinjauan Kritis - Eko Windarto

Perspektif Pusai dalam Tiga Puisi Tinjauan Kritis - Eko Windarto

PERSPEKTIF PUSAI DALAM TIGA PUISI: TINJAUAN KRITIS
oleh Eko Windarto

KAWACA.COM | Kalau seorang pelukis melukis dengan warna seperangkat alat-alat lukisan, maka seorang penyair bisa bernyanyi dengan kata-kata.

Kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mencatat kan getaran-getaran pikiran dan gejolak perasaannya. Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menerjemahkan pengalamannya atau penghayatannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksudnya yang sebenarnya.

Dari kenyataan di atas, dapatlah kita memperoleh gambaran betapa pentingnya bahasa bagi seorang penyair. Chairil Anwar, Amir Hamzah menulis kegelisahannya dan kesunyi-senyapnya dengan bahasa, dan dengan bahasa pula mereka menyanyikan kerinduan yang tak kunjung padam. Kiranya tak dapat dipungkiri, bahwa karya sastra yang besar lebih mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi bagi penyair. Bagaimana penyair mempergunakan alat itu tentu saja melalui studi dan latihan yang serius sebagaimana yang disarankan oleh penyair terkenal Rainer Maria Rilke kepada penyair Muda. Tanpa bahasa penyair tak bisa berbuat apa-apa.

Karya sastra yang besar lebih panjang umurnya dari pada penciptanya. Penyair Yunani Kuno Homeros, Odysseus, atau penyair seperti Jalaludin Rumi, Attar, Khalil Gibran, telah lama meninggal dunia tapi sampai kini masih dibaca orang. Demikian pula tentang Mahabarata dan Ramayana.

Semua penyair ingin menghasilkan karya yang besar. Tapi ternyata ciptaan yang besar harus ditunjang pengetahuan dan pengalaman yang besar pula. Sebuah judul karangan puisi atau puisi pusai yang digarap oleh beberapa penyair yang berbeda tingkat pengetahuan dan pengalamannya serta bacaannya tentu akan menghasilkan ciptaan yang berbeda-beda pula tingkatan nilainya. Dari yang kerdil sampai berbobot. Penyair yang banyak membaca buku-buku pengetahuan dan filsafat serta buku-buku yang mempunyai nilai sastra akan menghasilkan ciptaan yang isinya berbeda dengan penyair yang hanya mengandalkan bakat. 

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa penyair atau pemusai adalah mereka yang jatuh cinta kepada bahasa. Bahasa merupakan nyanyian jiwa yang tak henti-hentinya mengetarkan kalbu mereka. Dengan bahasa, pemusai  menemukan tempat untuk mengekspresikan diri melalui pusai yang singkat, padat dan bergizi.

Sebagai pemusai, seharusnya memang menguasai menulis puisi bebas dalam artian menulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Tagore, Muhamad Iqbal, Aristoteles dll. Jika telah menguasai penulisan puisi bebas seperti itu, maka menulis pusai akan lebih mudah karena telah menguasai dasar-dasar menulis puisi. Kenapa saya katakan begitu, karena pusai itu sendiri adalah intisari dari puisi. Pusai adalah singkat, padat, dan mempunyai nilai futuristik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri ketiga pusai di bawah ini.

FUTUR
Karya Sugiono

debur ombak
bentang layar
sayap camar

Sugiono Mpp, 040119

Jika kita membaca dan memahami kata FUTUR yang menjadi jadi judul pusai Sugiono, maka kita seakan di bawa dalam perenungan ke masa depan. Oleh sebab itu, mari kita telusuri isi dalam pusai FUTUR, apakah mempunyai karakteristik atau nilai ke depan, yaitu nilai futuristik.

Kata /debur ombak/ adalah sebuah bahasa metafora yang sederhana dan memiliki makna kehidupan manusia, yang mana dalam perjalanan hidup manusia itu ada yang begitu sulit untuk ditempuh, namun demikian, bagaimanapun juga harus diterima dan ditempuh demi mempertahankan hidup. Hidup ini penuh pilihan, penuh onak dan duri yang harus diterjang untuk mencapai tujuan. Namun, dalam kenyataannya ketika mendapat cobaan yang berat, banyak manusia gelap mata untuk mengambil jalan pintas; ada yang bunuh diri karena gak kuat diterpa cobaan, ada yang memakai pesugihan demi ambisi, ada yang menjadi penyakit masyarakat, ada yang menjadi perampok uang rakyat dll. Dari sinilah, kita sebagai manusia sosial dan beradab merasa miris jika melihat keadaan seperti itu. Padahal kehidupan ini adalah ujian dari Allah SWT semata demi kebaikan manusia itu sendiri.

Pada baris berikutnya, sang pemusai mengajak kita merenung saat naik perahu di atas lautan  kehidupan yang terombang-ambing kehidupan untuk /bentang layar/ demi kebaikan atau keselamatan dalam perjalanan mengarungi lautan kehidupan yang begitu bergelombang. BENTANG LAYAR juga bisa diartikan membentangkan ilmu pengetahuan, membentangkan cakrawala baru dalam perpuisian Indonesia, membuka sejarah baru dalam dunia sastra yang penuh intrik dan persaingan, juga bisa diartikan sebagai suatu proses kelahiran atau kemunculan pengetahuan baru, budaya baru, membentangkan layar pikiran dan perasaan di dalam wilayah sadar dan bawah sadar diri sebagai imbalan terhadap dunia luar diri, atau malah mengalami kerumitan-kerumitan baru yang harus diurai melalui layar kaca sains yang sekarang terus membentangkan wabah begitu mengerikan pada muda mudi kita. Lihat anak-anak muda dan orang-orang tua jika sudah bermain HP lupa pada orang sekelilingnya. HP bisa juga melenyapkan kasih sayang, melenyapkan masa depan anak-anak kita dan bisa melenyapkan waktu berharga.

Pada baris ke tiga, sang pemusai menuliskan kata sederhana dalam bahasa metafora / sayap camar/. Kalau kita simak kata SAYAP CAMAR, maka kita serasa diajak terbang bebas seperti burung camar, juga bisa sebagai pesan untuk mengungkapkan kebebasan berpikir, kebebasan terbang mengasah ilmu pengetahuan, kebebasan berkreasi dalam menciptakan karya sastra atau menggambarkan pesan budi pekerti dalam membuka cakrawala mata batin para pemusai. Kata SAYAP juga bisa kita artikan sebagai meluaskan sayap-sayap pikiran dan hati manusia untuk mencapai tujuan hakiki. Membaca dan memahami pusai Sugiono kita hanya diberi contoh cara membuat pusai yang sederhana dan gampang. Bisa kita lihat idenya Sugiono hanya ketika ia berdiri di tepi pantai melihat ombak berkejaran dan di atasnya burung camar terbang bebas. Tapi yang harus diingat pembaca dan pemusai adalah bahwa sayap itu bisa patah berkeping-keping dan jatuh berserakan menimpa siapa saja. Oleh sebab itu seorang pemusai harus mengerti betul makna kata yang ia tulis. Sebab kata-kata tidak terlahir dari tanya saja. Kata-kata mempunyai kekuatan dan kedahsyatan makna ungkapan di baliknya. Maka dari itu jangan hanya bermain kata-kata jika ingin berhasil menguasai atau mengungkapkan masa depan dengan baik.

Jika membaca pusai Sugiono di atas, maka terlihat konsep pusai yang hemat kata, sarat makna, dan memperhatikan keindahan bahasa, bunyi serta neofuturistik telah tercapai. Memang itulah yang dibutuhkan sebuah pusai, yaitu perpaduan antara kata denotatif dan konotatif terjaga dengan baik dan pekat menyublim.

Sugiono sang pencetus pusai mengungkapkan bahwa teks pusai memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sang pemusai diekspresikan secara unik dan menarik. Terutama masalah kehidupan di masa depan yang harus bisa diuraikan sang pemusai. Keunikan dan daya tarik wacana pusai tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sang pemusai selaku kreator. Pemusai yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana pusai yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Selebihnya, penulis tak melihat kelemahan, karena pusainya Sugiono sudah sangat padat, pekat dan sarat makna serta mempunyai nilai pesan neofuturistik. Meski demikian, sebagai manusia seorang pemusai mempunyai kurang dan lebihnya. Oleh karena itu, banyak hal yang harus dilakukan sang pemusai, yaitu apakah sang pemusai itu sendiri sudah mengerti huruf yang ia tuliskan dalam artian implementasinya pada kehidupannya sehari-hari? Atau mungkin hanya sebagai tulisan yang diciptakan tanpa dilakukan dengan olah laku yang seharusnya dilakukan sang pemusai itu sendiri. Sebab pemusai itu sendiri seringkali lupa pada keadaan lakunya atau penciptaan karyanya sendiri alias cerdik memanipulasi alasan penciptaan.

Memasuki pusai IBU karya Bahasa Qolbu yang sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang secara sederhana bisa juga pusai Bahasa Qolbu kita urai lewat tafsir sastra hermeneutik. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur ( Sumaryono, 1999: 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penelitian atau telaah menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode "tafsir sastra". Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini. Dan kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti atau penelaah untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri pusai Bahasa Qolbu di bawah ini.

IBU
Karya: Bahasa Qolbu

penyibak jalan
merenda ladang
menjadi mawar
juga anggur kehidupan

13 Desember 2018

Ketika kita membaca dan membuka atau menelisik kata IBU dalam judul pusai Bahasa Qolbu, maka kita dihadapkan pada arti yang begitu komplek sekali. Ibu bisa kita artikan ibu kita, ibu anak-anak kita, ibu suri, ibu bangsa, ibu pertiwi, ibu   bahasa, bahasa ibu dll. Kata IBU menjadi simbol sangat bermakna ganda dan luas. Lagi-lagi kata IBU di judul pusai ini menjadi kekuatan tersendiri. Mungkin juga sebagai ide awal dari penulisan pusainya Bahasa Qolbu. Dengan demikian, sebuah judul tidak hanya sekedar tempelan belaka, namun sebuah kekuatan yang tak bisa kita pandang sebelah mata. Oleh sebab itu, sebuah judul sangatlah penting bagi pemusai. Seorang ayah juga bisa menjadi ibu dari anak-anaknya ketika ditinggal istri pergi atau ketika istrinya telah pergi menghadap Khaliqnya. Maka dari itu seorang ayah yang menggantikan posisi istrinya yang telah pergi menghadap Khaliqnya harus hati-hati dalam berbuat di depan anak-anaknya, karena itu bisa menjadi contoh baik buruknya perilaku bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, seorang ayah yang menggantikan posisi sebagai ibu sangat berat. Ia harus bisa memposisikan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. 

Memasuki baris pertama, pembaca diajak merenungkan pesan yang disampaikan malalui simbol / penyibak jalan/ oleh sang pemusainya. Seorang ibu adalah yang paling pertama untuk membuka jalan kegelapan menuju terang, menyibak jalan yang berduri untuk menjadi jalan yang lempang, dan membuka jalan kebaikan bagi anak-anaknya di masa-masa yang akan datang serta penuh rintangan untuk / merenda ladang/ kehidupan mulai dari dalam rahim sampai dewasa. Hingga nantinya anak-anak mereka tidak gagap dalam mencapai tujuan yang sebenarnya. Karena dalam ladang kehidupan segalanya bisa berubah dan berkembang mengikuti arah zamannya seperti yang tertulis dalam diksi / menjadi mawar/. Kalau tidak hati-hati dan berbekal ilmu pengetahuan serta iman yang kuat, maka anak-anak mereka bisa menjadi MAWAR YANG LAYU. Maka dari itu, seoang ibu harus bisa menjadi juru penerang bagi hati dan pikiran anak-anaknya biar bisa menjadi mawar yang merekah, dan / juga anggur kehidupan/ dalam diri anak-anak mereka untuk selalu bergerak membentuk ahklak mulia di dalam kehidupan yang seimbang.

Ketika membaca pusai Bahasa Qolbu di atas, maka, penulis melihat gaya bahasanya telah mempunyai karakteristik tersendiri. Penggunaan metafora, bahasa kias, serta memperhatikan estetika keindahan bahasa dan memperhatikan aspek bunyi pusai. Oleh sebab itu, pusai Bahasa Qolbu lebih terlihat utuh dan multi tafsir, sehingga pusainya lebih mendedahkan aneka multiinterpretasi. Tapi penulis juga ada sedikit ganjalan dengan kata (juga) di baris terakhir. Penulis kira jika tak memakai kata penegasan akan semakin terlihat lebih legit atau wongkol (utuh). Sebab bila kata (juga) dihilangkan, maka atmofsir pusai hemat kata dan sarat makna akan terlihat tercapai dengan cantik.

Tiba saatnya kita memasuki pusai Amiri Kulala yang memasuki dunia sufisme. Rupanya dunia tasawuf menjadi pandangan atau perenungannya yang perlu ia sampaikan lewat pusai. Cukup menarik untuk dikaji lewat perenungan tasawuf.

Sufisme mengajarkan tentang cinta damai, kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih besar.

Di sini jelas menunjukkan bahwa begitu pentingnya tasawuf dalam kehidupan manusia, dimana tugas tasawuf adalah untuk mendisiplinkan watak serta penanaman adab spritual. Dan ini menunjukkan betapa signifikannya sufisme dalam kehidupan manusia. Apalagi zaman sekarang sudah memasuki abad modern.

Dalam perjalanan sejarah spritualisme muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spritual para sufi. Ini dikarenakan jalan itu dirasakan amat relevan dengan kehidupan.

Dalam suasana transendensi, seorang sufi menggali suasana realita yang baru, yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yg dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat, dan rakus. Dengan menempuh perjalan rohani atau spritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan.

Relevansi tasawuf dengan kecenderungan kehidupan modern, antara lain bahwa perkembangan masyarakat modern sudah tidak memadai lagi untuk dipenuhi hanya sekadar ibadah-ibadah pokok. Masyarakat modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens dalam pencarian makna. Kecenderungan ini hanya dapat dipenuhi oleh esoterisme tasawuf yang kini direpresentasikan oleh tasawuf.

Tasawuf bagaikan magnet. Dia tidak menampakkan diri ke permukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial, seperti juga bisa melalui bahasa tulis semacam pusai Amiri Kulala di bawah ini.

ANAK GEMBALA
Karya: Amiri Kulala

Tujuh sumur menggema
Mengalirkan cairan nada

Anak gembala bersandar di batang sunyi
Menghalau jiwa ke peluk matahari

BANGKALAN, 301118

Memasuki dan menelusuri makna pusai ANAK GEMBALA Amiri Kulala, kita diajak merenangi metafora / Tujuh sumur menggema/ Mengalirkan cairan nada/. Seakan kita diajak menelusuri atau mengunjungi TUJUH KEDALAMAN ILMU YANG HARUS TERUS-MENERUS DIGALI agar kelak bisa terpahami untuk bisa diceritakan atau dinyanyikan biar tetap bergema dan didengar anak cucunya, yang mana itu terlihat pada baris berikutnya, / Mengalir cairan nada/. Dari bentuknya nampak pesan tersirat dan tersurat yang futuristik, meski pesannya kurang jelas bagi sebagian pembaca. Namun demikian, sudah mencapai kredo pusai yang singkat, padat, bergizi dan futuristik, yaitu pelajar dunia akhirat yang telah diperdengarkan secara simbolis.

Bait kedua, sang pemusai kembali memainkan diksi dan metafora sebagai berikut, / Anak gembala bersandar di batang sunyi/. Pada baris ini, rupanya sang pemusai menggambarkan para murid mengikuti dan mendengarkan pelajaran atau ilmu pengetahuan tentang agama atau budaya dalam lingkup kehidupan beragama yang baik dengan takzim. Atau mungkin seorang murid yang suka menyendiri untuk merenungkan palajaran yang ia dapatkan dari gurunya. Kemudian sang pemusai kembali melukiskan para murid atau hanya seorang murid yang diarahkan gurunya untuk melangkah atau mempelajari ilmu agama yang hakiki dengan bahasa metafora seperti berikut ini, / Menghalau jiwa ke pelupuk matahari/. Dari situlah kita bisa mengetahui bahwa belajar dan belajar, terutama belajar ilmu tauhid harus terus-menerus didorong, agar supaya kita menjadi manusia yang berguna. Tapi sayangnya sang pemusai tidak mengajak kita atau pembaca memasuki akar Pusai itu sendiri. Ia hanya mengajak kita merenungi sunyi di sebuah batang pohon, padahal batang itu tak akan ada jika tak ada akarnya. Jelas di sini sang pemusai belum mencapai akar-Nya. Dari situlah maqom sufistiknya belum sampai pada tujuan dalam mencapai nilai Futuristik sesungguhnya.

Membaca dan memahami pusai Amiri Kulala di atas, penulis belum menemukan nilai futuristik yang kental. Karena sang pemusai hanya sekedar ungkapan mengajak pada kebaikan. Sang pemusai hanya sekedar menggambarkan pesan seorang guru pada muridnya, belum sampai pada nilai neofuturistik yang ia inginkan. Oleh sebab itu, ia sebagai pemusai seharusnya mampu menuangkan niatnya untuk membuka ruang bagi pembaca bagaimana sih untuk bisa mempraktekkan laku pada kehidupan yang harus ditempuh di masa kini dan masa akan datang, meski meramal masa depan adalah kemungkinan yang niscaya, dan perlu banyak membaca buku-buku serta sering mempelajari keadaan sekelilingnya maupun kehidupan yang sebenarnya sangat luas sekali. Namun demikian, kita tidak bisa minta keterangan pada pemusainya, karena niat pemusai merupakan hal yang abstrak, sehingga mencari niat pemusai sesungguhnya bisa menyesatkan. Oleh karena itu, karya pusai terpisah dari pemusainya sejak ditulis dan pemusai tidak bisa menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya. Maka dari itu, karya pusai boleh jadi merupakan TOPENG atau impian yang menyembunyikan pribadi pemusai yang sebenarnya.

Demikian telah ini saya sampaikan. Ada kurang lebihnya, mohon dimaafkan. Amin.

Sekarputih, 912019

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.