Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Kami Tidak Butuh Darurat Sipil! - Dwi Pranoto

Kami Tidak Butuh Darurat Sipil! - Dwi Pranoto

Rencana Penyusunan Kanon Sastra: Proyek Lancung?

Kami Tidak Butuh Darurat Sipil!
oleh Dwi Pranoto

KAWACA.COM | Beberapa hari lalu di lingkungan RW mengadakan rapat untuk menanggapi pandemi covid-19 dalam skala RW.. Mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak mengadakan kerumunan, rapat diadakan via whatsapp grup RW yang anggotanya disamping ketua dan pengurus RT/RW juga beberapa warga. Rapat berjalan antusias, meski usulan-usulan yang muncul berkisar pada penyemprotan disinfektan dan membuat bilik disinfektan di pintu masuk. Namun, semua usulan berkait penggunaan disinfektan tersebut menjadi mentah karena kas RW terlalu kecil untuk merealisasikannya. Sempat ada usulan untuk hanya membuat spanduk himbauan, tapi rapat RW kemudian menjadi rusuh karena pihak RW merasa dilecehkan sedangkan pihak RT merasa pihak RW melontarkan perkataan kasar. Rapat RW tidak menghasilkan apa-apa, selain pernyataan dari sejumlah pihak RT yang dengan dongkol menyatakan akan melakukan upaya sendiri untuk mencegah penularan covid-19 di lingkungannya masing-masing. 


Gambaran yang terjadi di lingkungan RW di atas relatif mirip dengan apa yang terjadi pada pemerintah Indonesia, bukan mengenai rapat yang rusuh dan tidak menghasilkan apa-apa. Seperti RW, pemerintah Indonesia relatif tidak melakukan penanganan pandemi covid-19 dengan berlandaskan data dan relatif tidak bertolak dari cara penularan virus covid-19. Tanpa data, jika dalam skala nasional tentu yang diperlukan adalah big data yang terkoneksi secara online dengan kementrian-kementrian atau departemen-departemen, pengidentifikasian dan pemantauan/pengawasan tidak dapat dilakukan dengan cermat sampai orang per orang. Sementara cara penularan virus adalah dari orang per orang. Tanpa data yang akurat dan terkoneksi secara online dengan kementrian-kementrian/departemen-departemen yang terkait dengan faktor-faktor resiko penularan, pemerintah tak mungkin menapis secara dini dan mengawasi pergerakan orang-orang yang beresiko menularkan: pendatang dari negara/daerah pusat penularan, tenaga medis, orang yang positif, ODP, PDP. Pemerintah mungkin sudah mendata orang-orang yang beresiko menularkan, terutama yang positif, ODP, dan PDP, tapi disamping terlambat dalam pengidentifikasian juga tidak dapat mengawasi pergerakan dan mengendalikan pergerakan mereka karena pemerintah hanya mencatat tanpa memasukan data yang dicatat dalam jaringan digital yang memungkinkan pemantauan secara jarak jauh. 


Ketersediaan data yang akurat juga memungkinkan untuk melakukan test covid-19 secara tepat sasaran, apalagi jika test dilakukan dengan pertimbangan prioritas bagi mereka yang beresiko. Namun pada kondisi saat ini, ketika mobilitas warga tidak dapat lagi dipantau dan dikendalikan secara ketat, seharusnya test covid-19 harus dilakukan secara massal. Saya kira, salah satu fokus pemerintah saat ini adalah harus melakukan pengadaan alat test covid-19 sebanyak dan secepat mungkin serta sesegera mungkin digunakan. 

Himbauan sosial/physical distancing dan jangan panik tidak akan menjadi senjata ampuh untuk memenangkan perang melawan pandemi. 


Kebijakan lockdown atau karantina wilayah akan menjadi kurang, bahkan, tidak efektif jika tidak dilandaskan pada big data. Mungkin pemerintah-pemerintah daerah (kota/kabupaten) dapat menutup, mengawasi, dan mengendalikan jalur-jalur masuk. Namun mereka tak akan dapat memantau dan mengendalikan secara ketat dan tepat pergerakan orang-orang di dalam kota. Tanpa ketersediaan data yang akurat, pengendalian ketat bahkan dapat menjadi pengekangan umum yang represif. Tanpa ketersediaan data yang akurat, berkait orang-orang yang rentan terpapar dampak ikutan pandemi, penanggulangan ekonomi, sebagai misal pembagian bahan pangan, akan dapat memicu kerusuhan sosial yang dipicu oleh ketidakpuasan akan pendistribusian yang tidak tepat. 


Di lingkungan RW yang gagal menghasilkan keputusan rapat untuk menanggapi penularan covid-19, sejumlah RT sudah melakukan penyemprotan disinfektan di lingkungannya masing-masing. Warga yang bertugas menyemprot, dengan ditemani tiga sampai empat warga lain, berjalan kaki menyemprot sepanjang jalan dalam lingkungan RT. Penyemprotan tidak dilakukan tiap hari dan tidak memperhatikan tempat-tempat yang berpotensi besar disentuh oleh orang seperti gagang pintu pagar, mobil, sepeda motor, warnet, dan gardu jaga. Petugas penyemprot hanya jalan bergegas dengan menggerak-gerakan alat semprot ke kanan-kiri dan atas-bawah. Tanpa adanya data yang dapat merepresentasikan seberapa besar faktor resiko yang membuat lingkungan rentan menjadi tempat penularan, penyemprotan mungkin menjadi sia-sia bila semua warga RT sepanjang masa pandemi tidak melakukan pergerakan ke tempat-tempat pusat penularan dan tidak bertemu dengan orang-orang beresiko menularkan. Bila sejumlah warga pernah mendatangi tempat-tempat pusat penularan dan bertemu orang yang beresiko penularan penyemprotan pun akan sia-sia bila tidak disertai dengan memastikan sejumlah warga yang bersangkutan untuk diam di dalam rumah selama, paling tidak 14 hari. 


Pemerintah, bila mencermati daftar pemilih dalam Pilpres lalu yang amburadul, dapat dipastikan  tidak mempunyai data yang akurat, apalagi terkoneksi secara digital. Pemantauan orang-orang dan pengendalian gerak orang-orang hanya mungkin efektif dengan membentuk kluster-kluster kecil kelompok masyarakat. Penanggulangan dampak-dampak pandemi, seperti pengidentifikasian orang-orang yang rentan sampai pendistribusian bantuan, mungkin menjadi lebih tepat sasaran bila melalui kluster-kluster tersebut. Dan, pemerintah tidak perlu membentuk kluster-kluster tersebut, kluster-kluster kecil sudah ada dalam bentuk RT/RW dan Posyandu. Pemerintah hanya perlu menugaskan pendamping untuk memandu RT/RW dan Posyandu melakukan upaya penanggulangan secara tepat dan tertakar. Tentu terlebih dahulu harus dilakukan pendataan anggota-anggota kluster dan membuat kajian cepat untuk mengetahui tingkat resiko. 


Jadi, kami tidak butuh Darurat Sipil!


___

Dwi Pranoto merupakan seorang esais, penerjemah, pemerhati budaya dan sastrawan kelahiran Banyuwangi. Puisinya dimuat antara lain di antologi bersama Cerita dari Hutan Bakau (Pustaka Sastra, 1994), dan Lelaki Kecil di Terowongan Maling (Melati Press, 2013). Buku puisi tunggalnya Hantu, Api, Butiran Abu (Gress, 2011). Karya terjemahannya Piramid (Marjin Kiri, 2011), novel karya Ismail Kadare. Kini dia tinggal di Jember sambil terus menulis dan mengisi berbagai acara kebudayaan.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.