Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Menelisik Cerpen Balada Sang Penyair (Indra Intisa) - Eko Windarto

Menelisik Cerpen Balada Sang Penyair (Indra Intisa) - Eko Windarto

Menelisik Cerpen Balada Sang Penyair (Indra Intisa)
Dari Kumpulan Cerpen Sungai Yang Dikencingi Emas
oleh Eko Windarto

KAWACA.COM | Yang jelas saya tak akan masuk pada ruh ide atawa cerita Sang Cerpenis. Sebab telah mampu mencatat sejarah hidupnya. Oleh sebab itu caci maki yang telah tumbuh subur ternyata juga diberi contoh orang-orang yang seharusnya mengayomi kita sebagai masyarakat biasa. Hidup sebagai masyarakat kelas menengah kebawah memang selalu tak punya pilihan jika berhadapan dengan penguasa. Selalu kalah, dan dikalahkan argumen-argumen yang kelihatannya benar namun sebetulnya salah. Sepertinya kita hidup dalam kubangan kekuasaan salah kaprah. Uang sepertinya sudah dijadikan raja atau malah dituhankan. Jelas dan terang benderang metafora dalam cerpen ini; Beberapa orang berpakaian loreng hijau bersepatu tebal berlapis besi, menarik-narik seorang pria kurus berpakaian camping. Ini jelas bahwa uang telah membutakan nafsu demi mendapat bayaran diluar bayaran dari intitusinya. Istilahnya bayaran luar. Mereka lupa pada yang diperbuatnya itu akan dicacat seluruh anggota tubuhnya, dan itu akan menjadi saksi di akherat.

Mari kita coba membaca salah satu kumpulan cerpen SUNGAI YANG DIKENCINGI EMAS yang berjudul BALADA SEORANG PENYAIR. Ini cerpen cukup menggelitik untuk kita renungi falsafah hidup dari seorang penyair Wiji Tukul yang juga teman saya juga.

BALADA SEORANG PENYAIR 
Oleh: Indra Intisa

Beberapa orang berpakaian loreng hijau, bersepatu tebal berlapis besi, menarik-narik seorang pria kurus berpakaian camping. Dari mulut mereka keluar ludah-ludah yang berisi caci-maki dan tetesan nafsu serupa binatang kelaparan. Seringkali taring-taring menggerutup saat auman yang gelegarnya sampai ke ari-ari, ke ubun-ubun, hanya dianggap enteng serupa embusan angin sepoi oleh pria yang diseret. Sang pria hanya tertawa dengan sesekali mengucap, “Kalian takkan hidup tenang. Jika aku mati, kelak ‘kan tumbuh bibit lagi. Lalu berbunga, berbuah, dan bibitnya kembali menyebar sampai ke sum-sum orang-orang yang kalian bela. Seberapa lama kalian akan hidup di bawah ketiak, padahal nasi yang kalian telan adalah hasil bumi, hasil keringat, dan hasil cucur darah yang mengalir ke tubuh kalian. Nikmatilah jika kalian sudi!”

***
Sejak kejadian tahun ’98, aku tidak pernah lagi melihat muka tirus hati tulusnya. Tinggallah aku sendiri dengan beberapa bagian yang tersebar di dinding-dinding, di koran, di majalah, di mulut orang-orang warung, dan di televisi yang sebagian iba kepadanya. Sebagian besar berbanding terbalik. Ia ditenggelamkan tanpa pernah diketahui di mana ia mati, jatuh, atau dikurung. Namanya seolah mati di telinga banyak orang. Bukan, lebih tepatnya dibuat mati. Bukan, paling tepatnya dipaksa mati, pupus dan lenyap tanpa boleh diungkap.

Keruntuhan sebuah rezim memang memakan korban yang luar biasa. Tentu saja ada orang-orang yang berani berdada besi berdiri di depan penghancur pagar. Pagar yang sejak lama berdiri tanpa pernah pecah, patah atau hanya sekadar goyang. Mereka-mereka inilah yang layak disebut sebagai pahlawan tanpa ingin dikenal selain niat baik-baik terhadap perubahan status—yang perlu diperhatikan oleh rezim pada rakyat kecil—yang sekadar hidup dari hari ke hari, atau tidur di bawah kolong, rumah kardus, dan di mana saja selagi langit biru cerah.

Aku adalah puisinya yang hidup. Aku adalah senjata keduanya selain mulut lantang suara gelegarnya yang mampu memecah langit-langit para pejabat, pemimpin dan orang-orang serakah di luar sana. Melalui rumahnya yang sempit layaknya kardus, ia bisa menulis banyak kalimat protes yang serupa panah berkilat. Kelak ‘kan menancap ke dada-dada orang di sana, ujarnya. Maka jadilah aku. Puisi.

Aku ingat, di tahun ’95, mata tajamnya hampir pecah tatkala tubuh kurus kaki belalangnya terbang menikam orang-orang di PT. Anu. Aksi protes yang terlalu kuat membuat para aparat yang dikatakannya keparat itu menjadi berang bukan kepalang. Ia dijambak, disepak, diarak, dan dibenturkan ke mobil yang terbuat dari besi abadi. 

“Pecah mata kau! Pincang pandangan kau!” Barangkali begitu teriak para aparat yang dikatakannya keparat itu.

“Kau kira bisa menghentikanku saat mataku buta? Mataku bisa saja buta, tetapi mata batinku takkan pernah buta. Kecuali mata kau yang buta oleh kekuasaan dan ketakutan!” Kemudian ia tertawa.

“Kau kira lucu, heh! Kau kira telah menang? Dulu kau boleh selamat. Harusnya kau bisa belajar dari kejadian tahun ’92. Saat itu kau menjadi dalang protesnya, bukan?”

“Tahun ’92, ya? Kau tidak tahu betapa rusaknya negara kita oleh pabrik-pabrik yang mengeruk keuntungan dari alam kita?”

“Kau kira negara kita rugi, heh!”

“Jelas! Pencemaran lingkungan oleh Pabrik Z sungguh-sungguh luar biasa. Tunggulah, tidak lama lagi negara kita akan hidup dalam bayang-bayang kerusakan. Air jernih akan keruh. Tentu buat rusuh. Tidak bisa membasuh. Buat keluh. Udara menjadi kotor. Apa yang bisa dihirup oleh orang-orang kecil seperti kami ketika mereka di sana hidup dalam ruangan yang penuh dengan oksigen?”

“Kau jangan berpuisi di sini. Omongan kau penuh kalimat puitis itu takkan bisa membuat kenyang. Lihatlah, tubuh kau yang hanya terdiri dari beberapa daging tipis. Hanya tulang saja yang mampu membuat kau berdiri dan berjalan. Hahaha.”

“Yang perlu ditertawakan itu adalah kau, aparat keparat! Kau yang jadi sampah masyarakat. Tubuh besar tetapi hati kecil. Aku sungguh kasihan dengan hidup kau layaknya belatung. Makan bangkai saudara kau!”

“Kurang ajar!”

***
Tahun 2000-an, istrinya yang cantik luar dalam itu, akhirnya melaporkan juga ke komisi orang hilang atas korban tindak kekerasan. Kontras segera mencatat, mengingat dan ikut berbaur mencari tahu ke mana pria bertubuh kurus itu menghilang. Sayang, ia hilang layaknya angin. Tak jumpa jika dilihat. Tak ada warna dan baunya selain aura dan kekuatannya yang masih terasa menggelegar di setiap sudut—di hati—orang-orang kecil yang selalu ia cuil. Dan di hati orang-orang besar yang selalu geram.

Sekarang, ia hidup melalui aku yang terpaku di dinding-dinding masyarakat. Bahkan beberapa praktisi sastra seolah latah mengaji seberapa kuat hikmah, pesan, amanat, dan tentu saja diksi yang dianggap bagian terpenting dari sebuah puisi dituturkan, diolah dan diramu. Beberapa dari mereka bisa saja mencemooh aku yang hidup tidak lebih karena rasa iba, rasa jujur, dan rasa perjuangan dari seorang aktivis kurus yang kuat itu, sedangkan aku belum layak disejajarkan dengan puisi-puisi besar para sastrawan lainnya. Jika saja ia masih hidup, tentu saja ia akan berteriak lantang dengan berkata, “Peduli apa aku dengan puisi yang penuh dengan metafor penakut itu. Apa bisa menolong anak-anak yang hidup kembang-kempis, atau bapak-ibu yang selalu menangis melihat keluarganya sakit? Kalian kira, puisi berbunga itu mampu memberikan keharuman di tengah kehidupan yang sangat sulit ini? Atau hidup di bawah ketidakadilan? Takkan. Jadi, tak usah kalian bangga-banggakan!”

Untunglah, semakin menjauh, semakin kekinian, aku mulai hidup dan diperjuangkan sebagai puisi realis yang paling kuat. Melaluiku, ia bisa sejajar dengan sastrawan-sastrawan besar lainnya. Aku mulai digali di sekolah-sekolah, kampus dan di mana saja. Era demokrasi menjadikan aku semakin luwes dan bernyawa. Aku adalah lambang hidup perjuangan dan perlawanan pria kurus yang dibuat mampus itu. 

Walaupun begitu, tetap saja ada orang-orang berjidat licin, berlagak profesor yang menjadikan aku sebagai puisi lemah. Barangkali, ia perlu memeriksa psikologi diri terkait isi sebuah puisi. Atau ada pula anak-anak muda yang lahir di zaman android, hidup melalui google, dan cekikikan melalui video-video youtube, turut serta mengkritisi aku sebagai puisi beku. Katanya, “Es yang mengeras tanpa bisa mencair jika tidak diletakkan di luar pada suhu yang lebih hangat. Aku hidup karena tertolong oleh lemari es, tentu saja listrik. Aduh, adik-adik. Kau saja masih pakai popok untuk “eek” tetapi sudah berani sekali mengkritisi sesuatu di luar jangkauan nalar kalian?”

Namanya memang tidak sebesar Chairil Anwar. Atau sebesar penyair lain seperti Sutardji dan Sapardi Djoko Damono. Jika saja ia hidup lebih lama, maka takkan ada yang bisa menyanggupi perjuangannya dalam membela rakyat kecil. Ia adalah Rendra yang lain dengan suara lantang. “Hancurkan penyair salon!” begitu sindir Rendra. Ia juga Chairil Anwar yang lain sebagai simbol perlawanan.

***

Aku adalah puisi yang hidup dari perjuangan
Aku adalah pikiran yang hidup dari perlawanan
Aku adalah kekuatan yang hidup dari ketidakadilan
Aku adalah bukti dari sebuah rezim yang menekan
Ia boleh saja mati dan lenyap oleh para rayap
Takkan ada yang sanggup membunuh niat dan cita-cita
Selain dari kau, kalian dan mereka 
Kalau sayang, taburlah bunga, harumkan
Tebarkan ke penjuru bumi, biar ia tumbuh
“Jangan ada lagi ia-ia yang lain—yang ditiadakan!”

***
Indra Intisa rupanya mencoba mamainkan metafora-metafora yang menghidupkan jalan cerita. Dia juga menghidupkan bahasa menjadi kata-kata yang hidup. Bahasanya seperti puisi, kadang terlihat prosais sekali. Coba kita renangi dan selami sepenggal kata yang Cerpenis tulis ' Sejak kejadian tahun '98, aku tidak pernah lagi melihat muka tirus hati tulusnya. Sang Cerpenis membayangkan kenangan sejarah di dalam dirinya sendiri. Dia menenggelamkan pada kejadian yang dia rasakan meski Cerpenis sendiri belumpernah ketemu dan merasakan Sang Penyair yang dia ceritakan. Dari situ kita bisa melihat kesaktian seorang Indra Intisa. Sampai sekarangpun kematian Sang Penyair belum terungkap. Mungkin sengaja tak diungkap seperti cerpen ini belum bisa mengungkap kematian misterius Wiji Tukul.

Rezim orde baru memang sulit ditembus, bahkan tak bisa ditembus oleh siapa pun. Kekuatannya melebihi besi apa pun. Gelegar puisi dan suara lantang dianggap sampah yang harus dibersihkan biar tidak mengganggu padangan mata. Kalau bisa gak ada puisi bersuara lantang yang hidup bebas selayaknya manusia yang berketuhanan dan berkeadilan sosial. Zaman itu adalah zaman kotor yang tak terlihat sampahnya. Sebab semua sampah telah dihanyutkan sebelum berbau.

Itulah sekelumit narasi mengenang temanku yang hilang misterius sampai tulisan ini muncul. Dan selesai cemoohan hidup ini. Aku gusar!!!!

Sekarputih, 1772017.
Waktu isya'

Catatan:
Cerpen yang terinspirasi oleh kisah hidup dari penyair kondang Widji Tukul. Sebagai hormat saya terhadap perjuangan hidupnya.



Eko Windarto, lahir 23 April 1962 di Malang. Mulai menulis sejak tahun 80-an. Sejumlah puisinya telah dimuat media dan buku bersama, antara lain: Kronik Sejarah Indonesia di Malang yang ditulis oleh Prof. Suripan Sadi Hutomo,  Antologi PMKNew HaikuHaikuku Melawan KorupsiAntologi TANKA. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Nyiur Melambai.


Kini dia tinggal di Malang sambil terus menulis puisi, esai, dan lainnya.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.