Live KAWACA TV
Tonton
wb_sunny

Seputar Pusai Pro Jasmine Paramitha - Sugiono MPP

Seputar Pusai Pro Jasmine Paramitha - Sugiono MPP

SEPUTAR PUSAI
(Pro: Jasmine Paramitha)
oleh Sugiono MPP



KAWACA.COM | Sungguh, saya baru tahu kalau ada opini tentang pusai (puisi bonsai) yang dimuat di kawaca.com edisi 27/03/2020 berjudul Pusai: Sebuah Kritik oleh Jasmine Paramitha. Artikel tersebut pernah muncul di laman face book dan saya telah melakukan klarifikasi dalam beberapa tulisan baik di beranda fb saya (akun Sugiono Mpp) maupun di grup Sastra Pusai dan beberapa grup sastra fb. Namun demikian, kehadirannya di kawaca.com ini perlu mendapat tanggapan karena pembaca media ini tidak serta merta mengikuti unggahan tulisan di fb.
 
Menurut Jasmine, “... ide (pusai-pen) ini bagus jika didukung oleh dasar teori sastra yang kuat”. Ya, benar adanya. Dasar teori akan memberi dukungan yang kuat terhadap munculnya sebuah ide. Tapi, adakah larangan untuk seseorang beride, sepanjang tidak destruktif? Saya bukan akademikus. Bukan teoritikus. Hanya praktisi. Praktik bergumul dengan kata-kata itulah yang memunculkan ide kelahiran ‘puisi bonsai’ karena melihat realitas yang ada, terutama maraknya tulisan di laman gawai yang mereka sebut sebagai puisi, jauh berbeda dengan apa yang selama ini saya anggap sebagai puisi (sastrawi). Jadi, silakan pihak akademisi, para ahli puisi, para pakar, menteorikannya. Saya hanya memberi sumbangan penegasan, bahwa pusai itu puisi yang hemat kata dan sarat makna. Saya ulangi sebagai ‘penegasan’ karena dewasa ini nyaris lentur penegasan tersebut. Adapun bentuk riilnya, silakan menyimak pusai-pusai yang beberapa kali ditayangkan di kawaca.com ini. 

Selanjutnya Jasmine menulis, “Seorang sastrawan tidak akan mencantumkan sebuah puisi hemat kata dan sarat makna sebagai prasyarat utama menulis puisi. Karena dari banyaknya arti ‘puisi’ dari banyak penyair ‘hemat kata’ dan ‘sarat makna’ telah implisit terkandung dalam kata ‘puisi’ bersama ‘ungkapan hati/jiwa’ dan ‘keindahan bahasa’.” Ya, itu pun benar. Tetapi ‘pusai’ mencantumkan, karena ia pusai, bukan puisi yang dikenal seperti lazimnya. Pencantuman itu sebagai penegasan yang merupakan jawaban solutif dari perkembangan mutakhir keberadaan puisi terutama di laman gawai. Mohon dicatat kehadiran pusai itu di tengah meruahnya literasi gawai, pada medio 2018. Penegasan ini sebagai reoeientasi prasyarat pada puisi yang selama ini tidak secara eksplisit. Jadi penegasan hemat kata sarat makna itu ‘hanya’ untuk pusai. Nyatanya, dari publik pusai tidak keberatan.
“Dengan kata lain kita tidak akan dapat membedakan ‘Pusai’ dengan Non Pusai’ hanya berdasarkan ‘Hemat Kata’ dan ‘Sarat Makna’ , seperti Pusai dengan Haiku, atau Pusai dengan Stanza atau bahkan Pusai dengan Pantun,” lanjutnya. Ya, oleh karena itu ada syarat ketiga, yakni neofuturistik. Akan tetapi secara kasat mata, untuk bisa membedakannya, silakan mengamatai pusai-pusai di kawaca.com ini, juga di beranada fb saya, di grup fb Sastra Pusai, dan beberapa grup sastra fb lainnya. Termasuk juga ulasan-ulasan dan telaah-telaahnya.

Lebih lanjut dikatakan, “Kategori ketiga yang menjadi syarat Pusai adalah Nro-Futurism. Entah apa maksud awal dari syarat ini, tapi sewaktu Jasmine bertanya di mana letak Neo Futirism sebuah Pusai, jawaban pencetus Pusai masih berputar-putar  pada pengertian  masalah problem masa depan meskipun akhirnya ditampilkan juga pengertian Neo Futurism versi arsitektur.” Sebetulnya kalau mau megikuti perkembangan pusai sejak awal (jadi tidak hanya sepintas lalu), hal-hal itu sudah dijelasakan di dalam dua buku yang sudah diterbitkan, yakni Documentan Poetica 1 Tembang Pusai dan Documenta Poetica 2 Tentang Pusai (Pustaka Suco, Bogor, 2019).

Akan tetapi, baiklah saya akan jelaskan lagi. Nofuturisme (penulisannya bukan Neo Futurism) pada sastra belum ada. Baru pusai yang mengenakan. Yang selama ini dikenal adalah ‘futurisme’ yang dideklarasikan oleh para seniman Italia dimotori penyair Filippo Tommaso Marinetti pada 1909. Aliran ini berpendapat bahwa masa depan lebih baik dari masa lalu dan hari ini maka perlu dipercepat kehadirannya. Aliran inlah yang melahirkan gerakan fasisme di Italia. Futurisme pada seni arsitektur melakukan revitalisasi dengan menyebut sebagai Neo-Futurism yang diplopori oleh perancang Vito Di Bari dalam “The Neo-Futuristic City Manifesto”, 2007, di Milan. Baik Marinetti maupun Bari mengacu pada pandangan bahwa masa depan lebih baik.

Pusai yang semula menyebut futuristik (beroreientasi ke masa depan), karena melihat sisi negatif pemikiran Filippo (dalam praktik), yang juga masih dianut oleh Neo-Futurism dunia arsitektur, maka pusai menamakan orientasi masa depannya sebagai ‘neofuturistik’. Perbedaannya, tentang memaknai masa depan. Pusai berpandangan bahwa masa depan tidak lebih baik atau lebih buruk dari masa lalu dan masa kini, akan tetapi setiap masa punya problem baru dan juga solusinya (kasus mutakhir covid-19), maka yang penting adalah solusi atas problema yang akan datang. Jadi neofutiristik pada pusai adalah menjawab kemungkinan problem baru pada masa depan. Apakah hal itu sulit? Dengan lahirnya futurologi, hal itu bukanlah suatu kemustahilan. Contoh pesan solutif atas problem masa depan silakan membaca pusai-pusai saya yang dipublish di kawaca.com ini. Ketiga azas pusai (jika diterapkan dalam kehidupan sosial) dan juga pusai berjudul Wabah adalah contoh riil jawaban atas problema corona dewasa ini. Selakan dibaca.

Pada bagian lain juga ditulis, “... Sugiono Mpp dalam menjawab pertanyaan Jasmine mensyaratkan beban yang lebih berat lagi pada penulis Pusai, yaitu mampu mensimulacra-simulacrumkan Jean Baudrillard dan menampilkan hyperrealitas”. Mohon maaf, saya tidak bermaksud begitu. Jika terpersepsi demikian, boleh jadi karena kealpaan saya (maklum, manusia tak terlepas dari kealpaan) atas ketidakmampuan menjelaskan sehingga hal seperti itulah yang tertangkap oleh Jasmine. Tentang teori sosial sumlacra-simulacrum dan hyperrealitas itu sudah dengan sendirinya menempel pada karya puisi, pun karya apa saja produk manusia dewasa ini. Teori sosial Baudrillard itu kan tentang realitas hidup dewasa ini. Dan sastra, juga puisi (termasuk pusai) tanpa diharuskan pun tekah dengan sendirinya berada dalam dinamika kehudupan yang ada, yang mau tak mau termasuk dalam realitas berdasar teori Baudrillard tersebut. Dan jika dibahas, hal ini mememrlukan ruang tersendiri.

Agaknya, sampai di sini, semoga bisa membantu mengurai ketidakjelasan. Oh ya, tentang puisi Life on Mrs karya David Bowie, bukan pusai. Saya pernah menjelaskannya di laman fb. Terima kasih.

Tags

GRATIS BERLANGGANAN

Dengan berlangganan, kamu tidak akan ketinggalan postingan terbaru Kawaca setiap harinya.